Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Kata “Omnibus Law” mulai ramai diperbincangkan – terutama dikalangan pemerintahan dan oleh para ahli hukum dan praktisi hukum setelah diucapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden pada 20 Oktober 2019.
Dikatakan oleh Jokowi bahwa Pemerintah akan membuat sebuah konsep hukum perundangan-undangan yang disebut “Omnibus Law”. Melalui Omnibus Law, akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Dan untuk itu, DPR diajak untuk menggodok 2 (dua) UU besar. Pertama; UU Cipta Lapangan Kerja, dan Kedua: UU Pemberdayaan UMKM. (www.mediagaruda, 17/11/2019)
Sementara itu, yang dimaksud dengan istilah “Omnibus law” itu sendiri , bisa didefinisikan sebagai berikut. Menurut Audrey O” Brien (2009), Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Sementara Barbara Sinclair (2012) berpendapat bahwa, Omnibus Bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.
Jadi, dapat dikatakan Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act). Dan ketika peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut beberapa aturan hasil penggabungan dan substansinya selanjutnya dinyatakan tidak berlaku, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.
Salah satu omnibus law yang sedang mendapat reaksi keras adalah, Omnibus Law yang akan merevisi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Diperkirakan sebanyak 100 ribu massa dari seluruh provinsi di Indonesia akan turun dalam aksi menolak omnibus law tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan aksi unjuk rasa akan berlangsung pada 16 Januari 2020 mendatang di depan Gedung DPR/MPR RI. Salah satu tuntutan KSPI adalah terkait wacana perubahan sistem upah menjadi per jam. Bila aturan ini diterapkan, Pemerintah secara tidak langsung berencana menghapus prinsip upah minimum.
Padahal, menurut KSPI, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU 13/2003. (Detik.com, 28/12/2019)
Melalui upah per jam artinya gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Misal dalam sebulan bekerja selama 40 jam, gaji yang diperoleh tinggal dikalikan saja 40 dengan gaji per jamnya. Jumlah tersebut adalah upah yang akan diterima setiap bulannya. (CNBC Indonesia, 29/12/2019)
Kebijakan ini memang sangat zalim dan realitasnya lebih mendengar aspirasi pengusaha dibanding harapan kaum buruh. Apalagi bila dikaitkan dengan omnibus lain soal regulasi pajak, yaitu pengusaha akan mendapat banyak insentif pajak. Jelas menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat.
Bayangkan, pemerintah banyak memenuhi tuntutan pengusaha untuk mengurangi biaya produksi agar keuntungan mereka maksimal, bila tidak pengusaha dan investor akan hengkang pindah usaha ke negeri lain.
Sementara kaum buruh makin tercekik dengan harga-harga membumbung tinggi akibat inflasi, bersaing dengan buruh asing di lapangan kerja yang makin sempit, pajak di semua lini, dan makin tak terjangkaunya kebutuhan rumah, pendidikan berkualitas, dan kesehatan bagi seluruh keluarganya.
Buruh menolak rencana pemerintah menetapkan upah berdasar jam kerja, karena secara logika itu akan menurunkan pendapatan mereka. Sementara, tanggungan hidup buruh berat sekali dan makin berat di tahun depan.
Sandang pangan papan dikapitalisasi sehingga makin tak terjangkau. Belum lagi transportasi, energi/BBM dan listrik. Buruh juga menanggung bersama pengusaha biaya kesehatan, pendidikan, dan jaminan hari tua. Belum lagi pajak yang makin menjerat di seluruh lini.
Dalam Islam, ada dua model pengupahan: upah berdasar manfaat kerja dan manfaat (kehadiran) orang. Pada model manfaat kerja, dimungkinkan upah dihitung berdasar jam kerja. Bila sebentar bekerja, tentu lebih sedikit upahnya dibanding yang jam kerjanya lebih lama.
Tapi buruh maupun pengusaha dalam sistem Islam tidak perlu terbebani biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan karena semua ditanggung negara yakni Khilafah. Bahkan tidak ada pajak mencekik.
Dalam sistem islam, negara haram memungut pajak kecuali dalam keadaan yang dibolehkan syariat. Hanya ada zakat untuk mereka yang memiliki harta sejumlah nishab. Juga kehidupan ekonomi relatif stabil karena tidak ada inflasi permanen yang membuat harga barang meroket. Di dalam sistem inilah nampak keadilan penguasa baik terhadap pekerja maupun pengusaha.
Wallhua’lam bi ash showab