Omnibus Law, Menyederhanakan atau Menyengsarakan ?



Oleh : Rantika Nur Asyifa

Awal kemunculan gagasan mengenai Omnibus Law ini, hadir setelah Presiden Joko Widodo resmi dilantik pada Oktober 2019 lalu. Menurut Jokowi, Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang saat ini berbelit. Sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi akan dipangkas. Ia mengajak DPR untuk memantangkan 2 UU besar, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.

“Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU” kata Jokowi. (tirto.id, 20/01/2020).

Akhir Januari 2020 ini, para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan demonstrasi di depan gedung DPR untuk menolak Omnibus Law dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurut mereka, buruh akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan jika Omnibus Law disahkan.

Presiden KSPI sekaligus Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal mengatakan, buruh KSPI sepakat dengan keberadaan investasi. Namun, mereka menolak jika nasib buruh menjadi korban akibat Omnibus Law. Sebab, menurut Said Iqbal, Omnibus Law cipta lapangan kerja menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, membebaskan buruh kontrak dan outsoursing (fleksibilitas pasar kerja), mempemudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA), menghilangkan jaminan sosial, serta menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.

“ Jika pemerintah serius ingin menghilangkan hambatan investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, maka pemerintah jangan keliru menjadikan masalah upah, pesangon, dan hubungan kerja menjadi hambatan investasi” kata Said Iqbal, Senin 20/01/2020. Ia juga mengutip hasil World Economi Forum yang mengatakan dua hambatan utama investor enggan datang ke Indonesia adalah masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi. Said meminta masalah tidak melebar ke nasib para pekerja. “ Jadi jangan menyasar masalah ketenagakerjaan, ” tegasnya.

Sementara itu, Omnibus Law sendiri berasal dari kata omnibus dan law. Kata omnibus berasal dari bahasa latin (omnis), yang berarti “untuk semuanya” atau “banyak”. Dan kata law sendiri artinya “hukum”, maka Omnibus Law dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua. Di dalam Black Law Dictonary Ninth Edition, karya Bryan A Garner disebutkan “Omnibus artinya berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus, termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan”.

Jadi, Omnibus Law memiliki konsep atau metode yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai semacam “ undang-undang payung hukum “. Ketika peraturan semacam payung hukum itu diundangkan, maka konsekuensinya akan mencabut beberapa aturan tertentu dimana norma atau substansinya juga bukan tidak mungkin akan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun secara keseluruhan.

Itulah mengapa para buruh yang tergabung dalam beberapa gerakan, mengadakan demonstrasi mengenai penolakan Omnibus Law diterapkan di beberapa UU besar yang dapat menyengsarakan dan merugikan mereka dan kaum pekerja lainnya. Ada beberapa point yang menjadi sorotan para buruh dalam rancangan UU Cipta Lapangan Kerja tersebut.

Pertama, terkait wacana mempermudah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui pengurangan besaran pesangon.
Kedua, perluasan jenis pekerjaan kontrak atau outsourcing.
Ketiga, rencana pengupahan yang berdasarkan jam kerja.

Menurut mereka, ketiga hal tersebut membuat keinginan buruh mendapat upah dan kehidupan yang layak semakin jauh dari kenyataan. Kurangnya kepastian bagi tenaga kerja juga berdampak pada pelajar dan mahasiswa yang akan bekerja di masa yang akan datang. Sebab, mereka berpotensi bekerja sebagai buruh kontrak bertahun-tahun tanpa ada kepastian. Dampak lain pun akan muncul akibat tidak adanya kepastian dan perlindungan hukum adalah hilangnya kebebasan buruh untuk berekspresi dan berpendapat menuntut haknya.

Semua permasalahan tersebut, membuktikan bahwa rapuhnya sistem yang ada sehingga mencari solusi dengan menumpukkan dasar hukum dan mengurangi hak-hak masyarakat. Tidak ada jalan lain kecuali mengganti sistem sekular  ini dengan sistem Islam yang kokoh dan telah terbukti keberhasilannya. Ketakwaan menjadi landasan dalam setiap langkah kehidupan bukan hawa nafsu sesaat. Wallahu a’lam



Bogor, 31 Januari 2020

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak