Ibu Rumah Tangga & Pendiri. Ibu Hebat
Sistem Islam Bisa Mengatasi Banjir
Jakarta kembali diguyur hujan lebat tanggal 31 Desember 2019 sekitar pukul 17.00 WIB sampai 1 Januari 2020 sekitar pukul 11.00 WIB. Curah hujan yang mengguyur tercatat 377 mm per hari. BMKG menyebut curah hujan ini tertinggi sejak 1996. Banjir di Jakarta dan sekitarnya masih menyisakan kesedihan mendalam, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat, bertambah menjadi 60 orang.
Rentetan banjir besar Jakarta telah berlangsung lama bahkan bencana itu sempat terjadi tahun 1600-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC.
Banjir besar terjadi menerjang Jakarta tahun 1918 saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, Stirum mencanangkan Kanal Banjir Barat.00-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC.
Usai Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, masalah banjir kembali menjadi perhatian tahun 1965. Saat periode yang sama, pemerintah membentuk Komandao Proyek Pencegahan Banjir dan berganti nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya tahun 1972.
Menurut pakar planologi dan tata kota Dr. Waluyo Sakarsono, sebenarnya untuk tangani banjir sudah ada rencana tata air Jakarta sejak zaman Belanda. Tahun 1923, rencana itu disusun oleh Prof Van Breen, kemudian Prof W.J Blommestein 1949, terus lembaga komando proyek banjir tahun 1960, master plan pengendalian banjr tahun 1973, proyek pantura tahun 1995, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta 2005, Rencana Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta tahun 2030, dll. (mediaumat.com, 21/2/2013).
Sungguh aneh memang, persoalan banjir ini terus menerus berulang. Ganti gubernur berkali-kali, Jakarta tetap tak berubah. Apakah tidak ada ahli yang mampu mengatasi masalah ini? Ataukah ada faktor lain yang membuat masalah ini tidak pernah beres?
Dalam mengurai masalah banjir yang terus berulang ini. Prof Fahmi Amhar (mediaumat.com, 21/2/2013), beliau nyatakan jika banjir itu hanya insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi jika banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik. Banjir sistemik dapat selesai dengan proyek bendungan baru, pompa baru, kanal baru dll, ini berkaitan sistem-teknis.
Namun, jika masalahnya menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan investor yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran pemerintah yang tidak sesuai mengatasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dsb, maka itu sudah terkait dengan sistem-non teknis. Sistem non teknis ini, jika saling terkait dan bermuara pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar diserahkan kepada mekanisme pasar sistem ekonomi kapitalis dan proses demokratis, maka persoalannya sudah ranah ideologis atau pandangan hidup.
Mekanisme pasar berarti menyerahkan semuanya pada hukum permintaan dan penawaran. Misalnya, kepemilikan tanah sepenuhnya tergantung pasar. Akibatnya, banyak orang yang tadinya punya lahan resapan air, akhirnya lahan itu dijual karena perlu uang. Dan demi profit, oleh investor lahan itu diubah menjadi real estate. Sedangkan demokratis, artinya semua peraturan diserahkan pada ‘kehendak rakyat’, padahal rakyat hanya legitimasi saja, sebab sejatinya wakil-wakil rakyat lebih mewakili kepentingannya sendiri. Bahkan, proses demokratis juga membuat para politisi hanya berpikir pendek 5 tahun kedepan, dan kadang hanya memikirkan bagaimana agar balik modal, dan bagaimana nanti bisa terpilih lagi.
Terbukti menurut Prof Amhar, mekanisme pasar ini hanya menghasilkan kerusakan lingkungan yang luar biasa dan menimbulkan masalah kemiskinan yang serius. Ini terjadi karena kebijakan penguasa dinilai tidak bisa melihat persoalan sebenarnya, tapi hanya memperhatikan sisi materi belaka apakah menguntungkan atau tidak. Rakyat hanya dijadikan obyek, sementara pemerintah sendiri bertindak laksana korporasi atau perusahaan, bukan pelayan dan pengayom.
Karena itulah harus ada perubahan ideologi agar berbagai permasalahan negeri ini, termasuk banjir, bisa terselesaikan. Sudah tidak layak Indonesia mempertahankan ideologi kapitalisme yang terbukti destruktif ini. Sebagai negeri dengan mayoritas berpenduduk Muslim, tentu tidak ada pilihan lain kecuali perubahan menuju ideologi Islam.
Untuk mengatasi banjir dan genangan, Khilafah Islamiyyah tentu saja memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir. Kebijakan untuk mencegah terjadinya banjir dapat disarikan sebagai berikut;
Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut;
Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir. Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan. Di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah. Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter. Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah. Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak. Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris. Pada abad ke 13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan. Di wilayah Afghanistan, kini terdapat tiga buah bendungan yang dibangun oleh Sultan Mahmud Ghaznah (998-1030 Masehi). Satu di antara tiga bendungan itu dinamakan dengan Bendungan Mahmud, dengan tinggi 32 meter dan panjang 220 meter. Bendungan ini terletak di 100 km dari Kabul.Model bendungan yang dibangun oleh insinyur Muslim pun beragam. Bahkan, model-model bendungan modern banyak mengadopsi model bendungan yang diciptakan oleh kaum Muslim. Bendungan dengan model bridge dam(bendungan jembatan) dapat ditemukan di daerah Dezful, Iran. Bridge dam digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan Dezful mampu menyuplai 50 kubik air untuk kepentingan warga Dezful. Bendungan seperti ini juga dibangun di kota-kota Islam lainnya.Bendungan pengatur air (diversion dam) juga berhasil dibangun oleh sarjana-sarjana Muslim. Bendungan ini difungsikan untuk mengatur atau mengalihkan aliran air. Bendungan pengatur air pertama kali dibangun di sungai Uzaym, di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan model ini dibangun di daerah-daerah lain di negeri Islam. Pada tahun 970 Masehi, orang-orang Yaman berhasil membangun bendungan Parada dekat Madrid, Spanyol. Hingga kini, bendungan-bendungan yang dibangun pada masa keemasan kekhilafahan Islam, masih bisa dijumpai di Kota Kordoba. Di antara bendungan masyhur di Kordoba adalah bendungan Guadalviqir yang diarsiteki oleh al-Idrisi. Bendungan ini didesain sedemikian rupa hingga bisa difungsikan untuk alat penggilingan hingga sekarang. Di daerah Spanyol, kaum Muslim juga berhasil membangun bendungan di sungai Turia, yang mana, kehebatan konstruksinya mampu membuat bendungan ini bertahan hingga sekarang. Bendungan ini mampu memenuhi kebutuhan irigasi di Valencia, Spanyol tanpa memerlukan penambahan sistem. Pada tahun 370 H/960 M, Buwayyah Amir Adud al-Daulah membuat bendungan hidrolik raksasa di sungai Kur, Iran. Insinyur-insinyur yang bekerja saat itu, menutup sungai antara Shiraz dan Istakhir, dengan tembok besar (bendungan) sehingga membentuk danau raksasa. Di kedua sisi danau itu dibangun 10 noria (mesin kincir yang di sisinya terdapat timba yang bisa menaikkan air). Dan setiap noria terdapat sebuah penggilingan. Dari bendungan itu air dialirkan melalui kanal-kanal dan mengairi 300 desa. Di daerah sekitar 100 km dari kota Qayrawan, Tunisia, dibangun dua waduk yang menampung air dari wadi Mari al-Lil.Waduk kecil difungsikan sebagai tangki penunjang serta tempat pengendapan lumpur. Sedangkan waduk besar memiliki 48 sisi dengan beton penyangga bulat di setiap sudutnya berdiameter dalam 130 meter, kedalaman 8 meter.
Khilafah akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain), dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Adapun daerah-daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun karena sebab-sebab tertentu terjadi penurunan tanah, sehingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu, dan jika tidak mungkin Khilafah akan mengavakuasi penduduk di daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka.
Khilafah membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, Khilafah juga akan melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau.
Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan menggariskan beberapa hal penting berikut ini:
Khilafah membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan sebagai berikut; (1) pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, Khilafah mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.
Khilafah akan mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik rumah, toko, dan lain sebagainya, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut. Hanya saja, Khilafah tidak menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan. Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi, dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi siapa saja yang hendak membangun bangunan. Hanya saja, jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, bisa mengantarkan bahaya (madlarah), maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Ketetapan ini merupakan implementasi kaedah ushul fikih al-dlararu yuzaalu(bahaya itu harus dihilangkan). Khilafah juga akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu.
Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain dilengkapi dengan peralatan canggih, petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (search dan rescue), serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat, dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
Khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Ketetapan ini didasarkan ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Khilafah juga mendorong kaum Muslim untuk menghidupkan tanah-tanah mati (ihyaa’ al-mawaat) atau kurang produktif, sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.
Ketiga,dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.
Kebijakan Khilafah Islamiyyah mengatasi banji, kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga disangga oleh nash-nash syariat. Dengan kebijakan ini, insya Allah, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas.