Ngawur, Negara Theokrasi Bukan Warisan Nabi


Oleh: Ida Royanti
Founder Komunitas Aktif Menulis, aktif di Forum Lingkar Pena Sidoarjo.


Heboh. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD kembali membuat pernyataan kontroversi. Dia menegaskan bahwa hukum meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad Saw adalah haram. Pernyataan itu disampaikan pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu, 25 Januari 2020.


Menurut Mahfud, pemerintahan Nabi Muhammad menggunakan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad Saw sendiri. Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah Swt. Adakah umat Islam yang bisa memerankan ketiga-tiganya seperti Nabi Muhammad? Menurut dia, umat Islam tidak mungkin lagi ada yang menyamainya. Oleh karena itu, dilarang mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi (Republika.co.id, 25/01/2020).


Menanggapi pernyataan Mahfud MD tersebut, Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah mengaku heran. Seperti yang dilansir dalam BAKINUPDATE.COM, Aton Tabah meminta agar mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu segera memperbanyak doa. Mahfud MD sering sekali keseleo lidah, ujar Anton Tabah, Minggu (26/01/2020).


Tidak terlalu mengherankan. Sesungguhnya apa yang diucapkan oleh Mahfud MD tersebut tidak lepas dari propaganda terselubung dari pengusung ide Islam Moderat. Kita mengetahui bahwa tujuan dari Islam Moderat ini adalah ingin menjadikan Indonesia berada di tengah-tengah. Artinya, masyarakat diharapkan tetap beragama, tapi tidak menggunakan aturan agama tersebut untuk mengatur urusan kehidupan. Atau yang lebih dikenal dengan istilah Sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).


Bagi pengusung moderasi Islam, nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam lebih utama dibandingkan penerapan aturan Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Mahfud MD dengan istilah Negara Islami. Negara mana pun yang di dalamnya ada nilai-nilai Islam, maka negara tersebut bisa dikatakan sebagai Negara Islami, meskipun bentuknya berbeda-beda. Misalnya Jepang, Malaisya, Indonesia, New Zealand dan sebagainya.


"Saya tak mengatakan mendirikan Negara Islam, tapi nilai-nilai Islam. Sebab itu saya sering menggunakan istilah kita tak perlu Negara Islam tapi perlu Negara Islami. Islami itu kata sifat, jujur, sportif, bersih, taat hukum, anti korupsi, pokoknya yang baik-baik itu Islami. Sehingga seperti New Zeland bukan Negara Islam tapi Negara Islami," kata Mahfud.


Ini adalah pandangan yang menyesatkan yang dapat merusak keimanan kaum muslimin. Pasalnya, apa yang diucapan oleh Mahfud MD tersebut sama sekali tidak berlandaskan pada dalil Syari alias ngawur. 


Padahal sebagai seorang muslim, sudah menjadi keharusan untuk senantiasa ittiba af' alu Rasul (mengikuti perbuatan Rasul). Semua hal yang terjadi pada Rasulullah merupakan sunnah nabi yang harus diikuti baik perkataan, perbuatan, keputusan, bahkan diamnya pun merupakan petunjuk bagi kaum muslimin.


"Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bidah adalah kesesatan". (HR. Muslim).


Dalam hadits tersebut jelas, bahwa sesungguhnya Rasulullah adalah sebaik-baik teladan (uswah hasanah) dalam semua keadaan beliau, kecuali dalam hukum-hukum yang memang dikhususkan bagi beliau semata. 


Allah berfirman di dalam Al Quran surat al-Ahzab 32:21 yang artinya:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".


Jangankan masalah besar seperti bernegara, masalah yang mengatur kehidupan individu pun semua harus sesuai dengan tuntunan Rasul tersebut. Dalam masalah ibadah ritual, tidak ada seorang pun di dunia ini yang sholatnya lebih baik dari Rasulullah, tetapi kaum muslimin tetap harus melaksanakannya karena sholat adalah perintah Allah. Demikian juga dengan puasa, berakhlakul kariimah, bermuamalah dan juga bernegara.


Negara Khilafah Itu Negara manusiawi, Bukan Negara Theokrasi


Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di dunia. Khilafah didirikan untuk melaksanakan hukum-hukum Syariat Islam di seluruh aspek kehudupan serta untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jihad di jalan Allah.


Jabatan Khilafah merupakan jabatan duniawi, bukan jabatan ukhrawi. Secara pasti, Khilafah bukan kenabian karena kenabian merupakan jabatan ilahiah. Allah memberikannya kepada siapa yang dikehendaki. Dalan kenabian, Rasulullah menerima syariat dari Allah melalui wahyu. Sedangkan Khilafah adalah jabatan manusiawi. Di dalamnya, kaum muslimin membaiat orang yang mereka kehendaki.


Rasulullah Muhammad SAW memangku jabatan kenabian dan kerasulan. Pada waktu yang sama, beliau juga memangku jabatan kepemimpinan atas kaum muslimin dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam Quran surat Al-Maidah 5: 49 yang artinya: "Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan".


Sedangkan Khalifah yang memangku jabatan Khilafah adalah manusia dan mereka bukan nabi. Karena itu, Kholifah bisa saja melakukan kesalahan, kekeliruan, kelupaan, kemaksiatan ataupun lainnya. Hal ini karena Kholifah adalah manusia biasa yang tidak masum (terpelihara dari dosa).


Rasulullah memberitahukan bahwa bisa saja terjadi kufran bawahan (kekufuran yang nyata) dari Iman atau Kholifah. Dalam keadaan ini, ia tidak boleh ditaati, bahkan harus diperangi. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi, bahwasanya Beliau pernah bersabda:

"Imam/Kholifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya. Karena itu, jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla dan berbuat adil maka ia akan memperoleh pahala, dan jika ia memerintahkan selain itu maka ia akan mendapatkan dosanya". (HR. Muslim).


Dari sini jelas bahwa Khilafah adalah sistem kenegaraan yang bersifat manusiawi yang bisa jadi terdapat kesalahan di dalam pelaksanaannya. Di sinilah pentingnya ada muhasabah atau koreksi terhadap Kholifah agar sedapat mungkin tidak melenceng dari Syariat.


Ini berbeda dengan Negara Theokrasi. Dalam sistem ini, agama dijadikan pembenar atau legalitas terhadap semua tindakan dan keputusan penguasa. Baik keputusan itu merugikan rakyat atau tidak, baik keputusan itu benar atau salah menurut pendapat masyarakat. Asalkan dibenarkan atau dilegalkan oleh agama, maka keputusan itu menjadi benar.


Seorang kepala Negara bertindak sebagai wakil tuhan atau didukung oleh seseorang yang dianggap sebagai wakil Tuhan ketika memerintah. Wajar, jika pada praktiknya, banyak terjadi ketimpangan dan kedholiman terhadap rakyat. Ini seperti yang terjadi di Eropa pada masa kegelapan.


Dimana agama dijadikan alat untuk membenarkan tindakan raja dan rohaniawan yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dalam kondisi tersebut, wajar kalau mereka menuntut untuk memisahkan antara kehidupan dunia dan agama, atau yang lebih dikenal dengan istilah sekularisme.


Merujuk dari sini jelas, bahwa pernyataan tentang haramnya mendirikan Khilafah karena tidak ada seorang pun yang bisa menyamai nabi adalah ngawur dan menyesatkan. Seruan seperti ini dan yang sejenisnya harus diwaspadai oleh kaum muslimin.


Perlu diingat, sistem sekuler telah menjerat setiap muslim untuk berfikir sekuler dan menentang ketaatan sempurna pada syariat Allah. Padahal, mencontoh (ittiba) semua perilaku Rasulullah termasuk dalam membentuk Negara Islam adalah bukti sempurnanya iman setiap muslim. Cukuplah menjadi pengingat bagi kita, Quran surat an-Nur 24: 63 yang artinya:
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul)takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". Wallahu alam bi ash-showab.




Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak