oleh : Zai (aktivis mahasiswi)
Sekilas pemberitaan tentang menurunnya angka kemiskinan membuat kita lega. Namun, jika ingin membenarkan pemberitaan itu rasanya tidak adil. Karena melihat fakta di lapangan masih saja kita saksikan kepiluan hidup akibat kemiskinan. Misalnya saja di Ponorogo. Pada pemberitaan media online, di akhir tahun 2019 menyebutkan angka kemiskinan turun sebesar 10 persen.
BUPATI Ponorogo Ipong Muchlissoni memastikan kinerja Pemkab Ponorogo selama empat tahun terakhir membaik. Hal ini terbukti dari penurunan tingkat angka kemiskinan yang cukup signifikan. Pada 2019 ini, angka kemiskinan di Ponorogo sudah beradadi bawah 10 persen.
Hal ini diutarakan Bupati Ipong di depan para pejabat Pemkab Ponorogo yang baru saja dilantik dalam Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan Tinggi Pratama, Administrator, Pengawas, dan Fungsional di lingkungan Pemkab Ponorogo, Selasa (31/12/2019). Disebutkannya, indikator utama kinerja Pemkab Ponorogo sudah baik adalah penurunan angka kemiskinan menuju satu digit atau di bawah 10 persen pada 2019 ini. (Kominfo Ponorogo, 31/12/19).
Sayangnya, angka kemiskinan di Ponorogo turun, patut untuk ditelisik apakah fakta dilapangan masyarakat semakin sejahtera atau malah semakin menderita?Potret pemberitaan tentang kisah bocah yang rela menjadi pemulung untuk jajan adiknya mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Berbekal karung bekas dan tekad kuat, bocah berusia 12 tahun ini menyusuri jalan mencari rongsokan. Ia bernama Exel Aditya Putra.
Aktivitas itu rutin ia lakukan selepas pulang sekolah. Sejak Agustus 2019, ia sengaja meluangkan waktu untuk mencari uang. Ia ingin membantu perekonomian keluarganya.
Detikcom kemudian mendatangi rumahnya yang sederhana di Kelurahan Surodikraman, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo. Di rumah berukuran 42 meter persegi tersebut, Exel tinggal bersama nenek dan kakeknya, pasangan Surip dan Suraji. Pun bersama kakaknya Ayu serta dua adiknya Dhea dan Dhipa.
"Biasanya berangkat setelah jam 12.00 WIB, pulang sekolah langsung berangkat cari rongsok," kata Exel saat ditemui detikcom, Kamis (9/1/2020).
Exel berjalan kaki ke perumahan bahkan hingga ke Alun-alun Ponorogo yang berjarak lima kilometer dari rumahnya untuk mencari rongsokan. Ia pantang pulang sebelum karungnya penuh.
"Kalau sudah penuh saya bawa ke daerah Sinduro. Biasanya dapat Rp 3 ribu hingga Rp 10 ribu," imbuhnya.
Menurutnya, tidak ada yang memaksa dirinya untuk mencari rongsokan atau menjadi pemulung. Namun itu terpaksa ia lakukan demi memenuhi kebutuhan sekolahnya sekaligus memberi uang jajan pada kedua adiknya
Disinggung soal keberadaan kedua orang tuanya, Exel mengaku tidak tahu. Sebab, kedua orang tuanya menelantarkan mereka sejak bercerai 2 tahun lalu.
"Saya cari rongsok ini uangnya untuk adik jajan. Kadang separuhnya saya tabung untuk bayar sekolah," pungkas Exel. (Detik.com 09/01/19)
Sungguh sangat memprihatinkan. Mungkin pernyataan tentang menurunnya angka kemiskinan di Ponorogo benar adanya jika menggunakan standar kemiskinan yg diterapkan oleh Indonesia. Padahal kita ketahui bersama bahwa standar tersebut berada dibawah standar dunia. Di Indonesia, orang dikatakan cukup/tidak miskin jika mendapatkan pendapatan 401.000/bulan atau 13.000/hari. Sangat jelas tak akan mencukupi ditengah naiknya kebutuhan hidup yang semakin menggila.
Mudah ditebak, pemberitaan prestasi Pemkab terutama masalah kemiskinan hanya untuk mendongkrak nama bupati mengingat Ponorogo akan pilkada dan petahana akan mencalonkan kembali. Sekali lagi, sistem kehidupan sekarang hanyalah sistem materialistik penuh kepalsuan dan ketidakadilan. Maka kita tidak bisa berharap dengan kehidupan kapitalistik saat ini. Jika ingin kesejahteraan dan keadilan sudah selayaknya kita kembali dengan pengaturan dari sang Maha Pencipta Allah SWT.
Dengan penerapan Islam secara Kafaah akan tercipta keadilan dan kesejahteraan sebagaimana dicontohkan oleh umat terdahulu yang telah menerapkan Islam secara kaaffah. Kesejahteraan itu bukan wacana, karena Islam mengatur sangat detail untuk masalah perekonomian, politik, dll. Sehingga jika diterapkan akan terwujud keadilan dan kesejahteraan itu. Saatnya kita kembali menerapkan Islam secara kaaffah dalam kehidupan dan mempelajari bagaimana Islam mengatur kehidupan.