Negara Mati Rasa, Mencabut Subsidi Bagi Rakyat namun Mengobral Insentif Bagi Konglomerat

 

Oleh : Ummu Aqil (Guru dan Pemerhati Kebijakan Publik) 

Masyarakat miskin dan pedagang kecil kembali dibuat ketar-ketir oleh pemerintah lantaran subsidi LPG 3 kg alias gas melon rencananya akan dicabut pada pertengahan tahun ini. Bagaimana tidak, dengan dicabutnya subsidi LPG ini beban hidup mereka tentunya akan semakin berat.  Dimana setelah subsidi dicabut, nantinya harga jual gas 3 kg akan disesuaikan dengan harga pasar. Diperkirakan sekitar Rp35 ribu. 

Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto seperti dikutip dari tirto.id mengatakan, nantinya gas melon akan dijual dengan harga normal di toko maupun pasar. Subsidi diberikan terbatas hanya bagi mereka yang berhak menerima dan terdaftar. 

Dikutip dari Merdeka.com, Jumat 17 Januari 2020, salah satu alasan pencabutan itu karena subsidi akan dialokasikan ke kalangan yang lebih berhak atau masyarakat yang kurang mampu sehingga dana subsidi akan dialihkan untuk pembangunan. 

Penerapan penyaluran subsidi elpiji tertutup rencananya akan diterapkan pada pertengahan 2020 setelah pemerintah menetapkan mekanisme penyaluran subsidi elpiji ini.

Namun demikian, ternyata kebijakan ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah terhadap korporasi yang dimiliki para konglomerat. Seperti dilansir dari cnnindonesia.com, lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari—September 2017.

Lima perusahaan sawit itu terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Berdasarkan data yang diperoleh CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp4,16 triliun.

Kebijakan kebijakan yang di ambil oleh pemerintah ini menunjukkan kepada kita bahwa negara ini tengah berada dalam cengkeraman korporasi.  Negara memanjakan para konglomerat di saat mereka mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Negara lepas tangan dari kewajibannya untuk mengurusi urusan rakyat. 

Pemberian subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu hanyalah akal bulus dari penguasa yang lahir dari sistem kapitalisme saja,  karena sejatinya kapitalisme tidak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh. Janji kesejahteraan di dalam sistem kapitalisme hanya pepesan kosong yang tidak akan pernah terwujud. 

Kondisi seperti ini tentu sangatlah jauh dari gambaran kehidupan saat dikuasai peradaban Islam. Dalam sistem Islam, seluruh manusia memiliki peluang untuk mendapatkan level kehidupan yang tinggi dengan sebuah mekanisme yang sesuai fitrah penciptaan. Berbekal keyakinan bahwa Allah Al Khaliq telah menganugrahkan rezeki bagi setiap makhluk bernyawa, manusia juga diberi potensi hidup yang sama, baik berupa akal, naluri maupun kebutuhan fisiknya. Dan sebagai aturan main, Allah juga datangkan petunjuk hidup berupa Islam ideologi sebagai problem solver persoalan-persoalan kehidupan yang dipastikan akan membawa manusia kepada kebahagiaan.

Islam mewajibkan para bapak atau para wali bekerja dengan reward pahala luar biasa. Di saat yang sama, Islam mewajibkan negara menciptakan lapangan kerja sekaligus menciptakan kondisi kondusif sehingga persaingan berjalan fair dengan menerapkan sistem kepemilikan sesuai tuntunan syara. Apa yang ditetapkan syara sebagai milik umat, seperti sumber daya alam yang melimpah ruah, terlarang dikuasai oleh individu apalagi negara asing. Bahkan negara, diwajibkan mengelola sumber-sumber alam itu untuk mengembalikan manfaat seluruhnya demi semata kepentingan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sehingga terbayang, negara akan punya banyak modal untuk menyejahterakan rakyatnya. Jangankan memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan layanan publik akan diperoleh dengan mudah dan murah dari milik mereka yang dikelola negara. Setiap penyelewengan terhadap ketetapan Allah ini, ditutup celahnya dengan rambu-rambu syariat yang ketat dan intoleran terhadap praktik kecurangan maupun kezaliman yang justru lazim di sistem sekarang, baik yang dilakukan oleh individu rakyat maupun oleh para penguasa, melalui penerapan sistem sanksi yang luar biasa kerasnya sekaligus dengan budaya amar makruf nahi munkar yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya.

Inilah yang digambarkan oleh banyak penulis barat tentang level kesejahteraan masyarakat Islam saat peradabannya ditegakkan secara sempurna oleh sistem pemerintahannya, yakni al-Khilafah. Belasan abad, umat Islam hidup dalam kemudahan, ketentraman dan kesejahteraan. Kondisi inilah yang memicu berkembangnya sains dan teknologi, berikut produk-produk fisik yang merepresentasi tingginya level kesejahteraan sebuah masyarakat.

Jadilah umat Islam saat itu sebagai mercusuar peradaban dunia. Di mana iptek, seni dan budaya berkembang sedemikian rupa. Maka kebenaran Islampun terpancar dan menarik begitu banyak bangsa-bangsa di dunia untuk masuk ke dalamnya, baik dengan menerima akidahnya, maupun sekedar memilih hidup di bawah naungan kekuasaan Islam dengan kompensasi menyerahkan dzimmah yang jumlahnya tak seberapa.

Seluruh rakyat yang menjadi warga negara mendapat jaminan kesejahteraan yang sama. Negara memberi jaminan publik secara maksimal, dengan bukti-bukti yang tak bisa disangkal. Rumah sakit, tenaga medis, obat-obatan semua gratis. Begitupun untuk pendidikan. Negara menyediakan fasilitas terbaik dengan guru-guru dan dosen terbaik yang digaji superlayak oleh negara. Perpustakaan dan jaminan beasiswa dan riset tak ada duanya. Dan semua bisa diakses rakyat secara cuma-cuma. Begitupun dengan keamanan, transportasi dan fasilitas publik lainnya.

Negara dan para penguasa paham betul bahwa memenuhi hak dasar dan hak publik umat adalah sebuah kewajiban syara. Karena kedudukan negara dan penguasa dalam Islam adalah sebagai raa-in (pengurus) sekaligus junnah(pelindung) bagi umat.

Justru apa yang hari ini terjadi, dimana negara justru menjadi pelayan para konglomerat dipandang sebagai kezaliman yang nyata. Maka para pemimpin dan sistem negara atau pemerintahan yang demikian sudah saatnya diganti dengan sistem negara atau sistem kepemimpinan yang sesuai tuntunan syara dan tegak di atas keimanan kepada Allah Ta’ala.
Wallahu'alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak