Oleh : Mia Fitriah Elkarimah
Cina dihujani berbagai kritik dari masyarakat dunia, karena menindas suku Uighur, kelompok minoritas Muslim negeri itu.
Bencana kemanusiaan
itu menuai banyak aksi, baik dalam maupun luar negri, disinyalir dari liputan 6 Warga mengenakan topeng bendera Turkestan Timur saat menggelar Aksi Save Uighur di Jakarta, Minggu (22/12/2019).
Senada dilaporkan VOA Indonesia, (18/12/2019), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo angkat suara mengecam kebijakan Partai Komunis China (PKC) pada Muslim Uighur.
Di Indonesia, isu Uighur mengemuka di media sosial dan menjadi salah satu trending topic di Twitter. Dan memunculkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan.
Ada yang mengecam keras, ada yang membela, ada yang menganggap itu hoax, bahkan ada yang bersikap biasa saja.
Viralnya Ozil perihal tweetnya tentang kaum minoritas Uighur di Xinjiang yang dipersekusi oleh pemerintahan Cina.
berimbas pada batalnya siaran langsung pertandingan sepak bola Liga Premier Inggris antara Arsenal dan Manchester United oleh Jaringan televisi pemerintah Cina.
Tidak hanya itu, Klub sepak bola tempatnya bergabung juga tidak luput dari serangan Cina. Akhirnya Arsenal memberikan tanggapan bahwa klub nya tidak memiliki keterlibatan dengan pendapat Ozil.
"Konten yang dia ungkapkan sepenuhnya adalah pendapat pribadi Ozil," tulis akun resmi Arsenal dalam sebuah posting di platform Weibo, sebagaimana dikutip tempo.com
(24/12/2019).
Berbeda dengan tulisan
Novi Basuki seperti dikutip dari situs mojok.com. Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo ini
menuliskan bahwa Muslim Uighur sebenarnya tidak perlu dibela. Sepengamatannya, sebagian dari mereka masih bisa beribadah dan berbisnis dengan biasa saja. Namun memang sebagian dari mereka, yang masuk dalam kelompok separatis dan ingin memerdekakan diri dari Cina sedang dibidik oleh pemerintahan China (21/12/2018).
Tulisan ini juga diaminkn oleh Imam Brotoseno dalam blogspotnya. "berita berita tentang penindasan kaum muslim tidak seluruhnya benar, bahkan Islam bisa berkembang dalam masyarakat Tiongkok yang majemuk. Lupakan soal ideologi palu arit. Komunisnya Tiongkok adalah kapitalisme yang memikirkan pembangunan, investasi dan kemakmuran. Juga komunis yang memikirkan kampus kampus agama Islam, dan pengelolaan berhaji (4/6/2017)
Di tweetnya juga mengatakan Hoax muslim di Xinjiang disiksa. Boleh punya jenggot. Bisa sholat puasa, tarawih. Ada 24 ribu masjid, ada pesantren (29/6/2017).
Kalau Xinjiang Cina sedang baik-baik saja, tidak ada penindasan maupun ketikadilan terhadap muslim Uighur kenapa banyak fakta dan data disodorkan ke khayalak umum. Apakah sekaliber situs bbc online, terpapar hoax?, apalagi jelas melalui lamannya yang bertema "China melarang warga Xinjiang pelihara janggut panjang dan jilbab diruang publik ditahun yang sama (7/4/2017), diperkuat juga situs republika olnine dengan tema yang sama pula 31/3/2017.
Berbanding terbalik apa yang ditegaskan oleh Ruth seorang peneliti yang telah banyak menulis untuk publikasi Asia Tengah-Kaukasus, Institute of War and Peace Reporting, surat kabar Guardian Weekly, dan publikasi lainnya.
Dikutip matamatapolitik.com melalui lamannya dengan judul "
Uighur dan Han Cina: Kehidupan di Dua Alam yang Berbeda di Xinjiang"
Warga Han dan Uighur mendiami tanah yang sama, Xinjiang di China barat, tetapi mereka bagai hidup di dua alam yang berbeda. Mayoritas Han hidup layaknya kehidupan yang umum bagi umat manusia, sedangkan masyarakat Uighur menghadapi serangan luar biasa pada kemanusiaan mereka, hak mereka untuk menjalani kehidupan, dan eksistensi mereka sendiri diintimidasi.
Senada dengan pernyataan Abduh, seorang pemuda Uyghur, lulusan Xinjiang University. Yang dikutip dari detik.com, bahwa salahnya mereka adalah mereka terlahir dari etnis Uighur.
Abduh menyatakan bahwa mereka membunuh ribuan orang Uighur, tidak memberikan kemerdekaan dan keadilan.
Ia justru memosisikan Islam sebagai alibi saja yang digunakan oleh RRC untuk menuduh orang-orang Uighur sebagai teroris. Alasan yang sesungguhnya menurut Abduh adalah karena orang Uighur di Xinjiang itu ingin lepas dari RRC, menuntut kemerdekaan, karena dulunya mereka memang cuma dianeksasi oleh RRC.
Begitulah merangkum semua penjelasan dari Abduh (28/12/2018).
Sedangkan Zuhairi Misrawi seorang cendekiawan Nahdlatul Ulama. Sebagaimana dikutip dari detiknews.com.
Bahwa Isu Uyghur sudah terlalu jauh menjadi isu geopolitik. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa telah menjadikan isu Uighur sebagai instrumen untuk merusak citra Cina yang sedang menjadi primadona dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan. Hal tersebut terlihat dari narasi-narasi yang digunakan oleh media Barat dalam memojokkan Cina.
Pernyataannya "memang betul ada masalah yang dialami oleh Muslim Uighur, tetapi hal tersebut harus digambarkan secara berimbang". Cina mempunyai kedaulatan untuk menyikapi masalah separatisme dan terorisme. Tapi harusnya dengan prosedur yang manusiawi.
Dari opini-opini yang dibentuk, bahwa tidak semua etnis Uighur menganut Islam, Cina memberikan kebebasan semua warga untuk melakukan aktifitas keagamaan masing-masing, tetapi yang dianggap "normal" untuk etnis Uighur berbeda dengan yang lain, sepakat dengan salah satu opini yang menyatakan salahnya adalah ketika ia terlahir menjadi etnis Uighur; yang tidak lepas dari persekusi pemerintahan Cina.
Kasus UYM lalu bisa dijadikan pelajaran. Atas nama kemanusiaan banyak yang geram ketika muslim Uighur di Xinjiang, dianggap baik-baik saja.
Banyak yang meradang, ketika kita iyakan ketidakpedulian kita atas nama kemanusian.
Ini adalah sebuah representatif bahwa tragedi kemanisaan ini benar adanya dan Pemerintahan Cina sangat sangat represif.