Mewujudkan Generasi Sehat Dengan Teladan Islam



Sumber gambar: Dakta.com


Oleh: Arin RM, S.Si

Stunting tengah melanda banyak wilayah. Beberapa kota di Indonesia tercatat memiliki angka penderita stunting yang cukup besar. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, prevalensi stunting balita umur 0-59 bulan di Jawa Timur mencapai 32,81 persen. Angka ini lebih tinggi dari prevalensi stunting nasional, yakni 30,8 persen. Sementara itu, berdasarkan Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM), per 20 Juli 2019 prevalensi stunting balita di Jawa Timur sebesar 36,81 persen. Adapun tiga daerah tertinggi prevalensinya adalah Kota Malang sebesar 51,7 persen, Kabupaten Probolinggo 50,2 persen, dan Kabupaten Pasuruan 47,6 persen. [1] 

 Stunting perlu mendapat perhatian serius agar prevalensinya segera turun. Sejalan dengan inisiatif Percepatan Penurunan Stunting, pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gernas PPG dalam kerangka 1.000 HPK. Selain itu, indikator dan target penurunan stunting telah dimasukkan sebagai sasaran pembangunan nasional dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 2017-2019 [2]. 

Lebih lanjut dipaparkan, mengacu pada “The Conceptual Framework of the Determinants of Child Undernutrition”, “The Underlying Drivers of Malnutrition”, dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia” penyebab langsung masalah gizi pada anak termasuk stunting adalah rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Penurunan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan). 

Penyebab tidak langsung masalah stunting dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting, diperlukan prasyarat pendukung yang mencakup: (a) Komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan; (b) Keterlibatan pemerintah dan lintas sektor; dan (c) Kapasitas untuk melaksanakan. [2]

Nampaklah bahwa pemicu stunting saling berkaitan satu sama lain. Sehingga penyelesaiannya harus menyentuh seluruh prasyarat pendukungnya. Terlebih faktor di atas dikuatkan oleh data lain, yakni menurut kerangka yang dikembangkan oleh Unicef tahun 1998 dalam State of the World’s Children, akar masalah terjadinya stunting berupa daya beli, akses pangan, akses informasi, akses pelayanan, kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, pendidikan, pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya [3].  

Sayangnya saat ini, kebijakan politik saat ini dinilai pro kapital, beberapa layanan bagi rakyat terlihat dijalankan oleh swasta. Sehingga demi mendapat layanan, tak jarang rakyat harus merogoh kocek sendiri. Rakyat pun sulit mendapatkan pangan berkualitas, kesehatan yang baik dan kesulitan akses penting lainnya. Sebab daya beli rakyat juga relatif rendah karena  kemiskinan.

 Konsep ini tentu berkebalikan dengan Islam, yang memandang bahwa hajat publik, termasuk akses bahan pangan halal dan thayib beserta ketesediaannya dalam jumlah berlimpah dan murah sebagai tanggung jawab penguasa. Kesadaran tanggung jawab inilah yang menjadikan negara berupaya memberikan pelayanan terbaik dengan kebijakan pro rakyat.
Dari aspek politik pangan, Islam berupaya mewujudkan negara berkedaulatan pangan tanpa menggantungkan pada impor. 

Peran negara terlihat dari kehadirannya secara utuh dalam pengelolaan pangan. Berupa tanggungjawab untuk menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan. Negara  juga bertanggungjawab atas aspek distribusi dan stabilisasi harga hasil pertanian hingga pemenuhan pangan rakyat terjadi secara merata, mencukupi dan terjangkau. Bila masih ada yang tidak mampu membeli pangan, akan disediakan negara. Contoh riilnya adalah Khalifah Umar yang masyur memanggul sendiri ransum makanan untuk rakyatnya yang diketahui tengah dilanda kelaparan.

Dari sisi kesehatan, negara menyediakan fasilitas kesehatan terbaik lagi gratis, pelayanan rumah sakit dengan memperhatikan kebersihan ruang kualitas makanan yang diberikan kepada pasiennya. Majalah sejarah dan kebudayan AramcoWorld, Arab Saudi pernah menuliskan surat seorang pemuda Prancis dari rumah sakit Kordoba, yang menceritakan kesan-kesannya saat dirawat di rumah sakit Islam. Di antara kutipannya: …“Ayah terkasih, semua tempat di rumah sakit ini sangat bersih, tempat tidur dan bantal ditutupi dengan kain putih Damaskus yang halus. Bed coverterbuat dari bahan mewah yang lembut. Semua kamar di rumah sakit ini dilengkapi dengan air bersih. Air ini dibawa ke kamar melalui pipa yang terhubung ke sum ber. Tidak hanya itu, setiap kamar juga dilengkapi dengan kompor pemanas.  Mengenai makanan, ayam dan sayuran selalu disajikan, sehingga beberapa pasien tidak ingin meninggalkan rumah sakit karena mereka ingin terus menikmati makanan lezat ini.....[4].

Dari sisi pendidikan, pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas pun mampu melahirkan output yang piawai seputar gizi makanan. Salah satunya adalah Ibnu Sayyar al-Warraq. Ia seorang juru masak yang sangat populer di ibu kota pemerintahan Islam, Baghdad, Irak. Ia membukukan resep-resep hasil kreasinya dalam sebuah buku berjudul Kitab at-Tabikh wa Islah al-Aqhdiyah al-Ma’kulat. Dari teks klasik inilah, diketahui kekayaan tradisi kuliner di tengah masyarakat Arab Muslim. Geliat tradisi kuliner ini juga mempunyai keterkaitan erat dengan bidang sains dan ilmu pengetahuan saat itu [5]. Salah satu produk bergizi lainnya yang masih hits hingga kini adalah kebab. Pada abad ke-8 (masa kekhalifahan Abbasiyah), kebab diperkirakan menyebar dari Persia ke seluruh Timur Tengah. 

Di sisi ekonomi, terbukti penerapan ekonomi Islam melahirkan komunitas masyarakat yang sejahtera lagi merata. Sebagai contoh adalah apa yang dikatakan Will Durant seorang sejarawan barat. Dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dia mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka” [6].

Semua itu tentu karena dukungan dari penguasa saat itu menjalankan sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh.  Sehingga bukan sekedar kemajuan dan kegemilangan peradaban yang dihasilkan, tapi generasi pengisinya terjamin dari sisi kesehatannya sekaligus pemenuhan gizinya. Walhasil jika mau beralih dari belenggu kapitalisme menuju penerapan Islam, niscaya cita-cita mewujudkan generasi bebas stunting bisa diwujudkan. 

Referensi:
1.
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4709297/khofifah-sebut-pernikahan-dini-sebabkan-tingginya-stunting-di-jatim
2. http://tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis%202018/Pedoman%20Pelaksanaan%20Intervensi%20Penurunan%20Stunting%20Terintegrasi%20Di%20Kabupaten%20Kota.pdf
3. http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-04/S55589-Maya%20Adiyanti 
4. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/pp9uz7313/pemuda-prancis-terkesan-dengan-bimaristan
5. https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/08/21/pdsveh313-mengenal-ibnu-sayyar-alwarraq-ahli-kuliner-dari-baghdad
6. https://mediaumat.news/bukti-bukti-kesejahteraan-di-era-khilafah/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak