Oleh : Fatimah Arjuna (Aktivis Dakwah Kampus)
Manusia seharusnya menyadari hakekat mereka diciptakan. Sehingga tidak lagi mempersoalkan yang maha pencipta. Sejatinya menjadi muslim sejati haruslah mengetahui hakekat hidupnya Siapa yang menciptakan mereka, untuk apa mereka diciptakan, dan akan kemana mereka setelah kematian.
Mungkinkah pertanyaan tersebut mampu dijawab tanpa ada bukti di sekitarnya? tentu tidak. Sebab pertanyaan tersebut hanya akan mampu di jawab ketika ada arah dari setiap pertanyaan tersebut.
lihatlah bagaimana engkau di ciptakan apakah dengan sendirinya ada. Atau dari hubungan ayah dan ibu kemudian ayah dan ibu siapa juga yang menciptakan kakek dan nenek begitu seterusnya hingga pertanyaan tersebut menimbulkan titik jawaban yang pasti.
Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"(Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku).(QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56).
pengertian dalam ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan kenyataan, bahwa orang-orang kafir tidak menyembah-Nya. Karena sesungguhnya tujuan dari ayat ini tidaklah memastikan keberadaannya. Perihalnya sama saja dengan pengertian yang terdapat di dalam perkataanmu, Aku runcingkan pena ini supaya aku dapat menulis dengannya. Dan kenyataannya terkadang kamu tidak menggunakannya."
Satu ayat dihadapkan kepada kita belum dengan ayat yang lain apakah menimbulkan keimanan ini semakin meninggi atau bahkan sebaliknya.
Tidakkah aku ciptakan Jin dan manusia melainkan mereka hanya untuk beribadah kepada -Ku. Sudahkah setiap perbuatan kita selama ini memang Lillah karena Allah taala atau bahkan sebaliknya untuk makhluk nya atau untuk kepuasan semata.
Sudahkah kita menjadi Muslim sejati?
Tidak sedikit orang mengaku muslim sebatas tampilan, atau karena dilahirkan dari orang tua yang muslim, atau karena mengikuti lingkungannya yang mayoritas muslim. Tidak cukup seseorang mengaku sebagai muslim, ia harus memahami arti pengakuannya sebagai muslim.
Ada hal yang harus ada pada diri seseorang agar menjadi seorang muslim yang sejati, bukan pengakuan tanpa bukti, dan agar pengakuannya sebagai muslim itu pengakuan yang jujur dan dapat dipertanggung jawabkan.
Fathi Yakan dalam bukunya ‘Komitmen Muslim Sejati’ menjelaskan, agar pengakuan seseorang sebagai muslim itu benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan, maka ada hal yang harus dilakukan sebagai konsekuensi atas pengakuannya sebagai muslim.
Pertama, mengislamkan akidah. Pengakuan sebagai muslim yang harus dilakukan adalah mengislamkan akidah, yaitu akidah yang benar (salimul aqidah) sesuai dengan Alquran dan Sunah. Mengimani apa yang diimani oleh kaum muslimin pertama, salafussaleh dan para imam yang telah diakui kebaikan, kesalehan, ketakwaan, dan pemahaman yang lurus tentang Islam.
Kedua, mengislamkan ibadah. Ibadah merupakan puncak ketundukan dan kesadaran mengenai keagungan Allah. Ibadah sebagai penghubung antara makhluk dengan Sang Pencipta, dan berpengaruh dalam interaksi antar sesama makhluk. Sehingga, dalam diri seseorang akan terinternalisasi adanya hablum minallah dan hablum minannas.
Ketiga, mengislamkan akhlak. Tujuan utama dalam Islam adalah agar kaum muslimin memiliki akhlak yang mulia. Agar dapat mengislamkan akhlak, konsekuensinya harus menghiasi diri dengan sikap wara (hati–hati) terhadap syubhat, menahan pandangan, menjaga lidah, malu, pemaaf dan sabar, jujur, rendah hati, menjauhi prasangka, ghibah, dan mencari cela orang lain, dermawan dan pemurah, dan menjadi teladan bagi orang lain.
Keempat, mengislamkan keluarga dan rumah tangga. Tidak cukup menjadi muslim seorang diri, karenanya seorang muslim yang sejati hendaknya dapat mengajak (berdakwah) dan berjuang agar masyarakat yang berada di sekitarnya juga menjadi masyarakat muslim yang sejati. Dan, masyarakat terdekat itu adalah keluarga.
Kelima, mengendalikan hawa nafsu. Pergulatan melawan nafsu akan terus terjadi selama menjalani kehidupan. Sebagai seorang muslim hendaknya selalu berjuang untuk mengalahkan nafsu. Karena itu, sungguh beruntung orang yang mau menyucikan jiwanya dan merugi orang yang mengotori dirinya.
Ada tiga tipe orang dalam melawan nafsu. Yaitu, tipe orang yang mampu mengalahkan hawa nafsu; yang selalu kalah melawan nafsu, dan yang kadang menang dan kadang kalah dalam melawan nafsu. Nah, termasuk tipe yang manakah kita?
Sepuluh pintu masuk yang dijadikan setan sebagai sarana melalaikan manusia agar selalu kalah melawan nafsu. Yaitu: ambisi dan buruk sangka; kecintaan kepada hidup dan panjang angan–angan; keinginan untuk santai dan bersenang–senang; bangga diri; sikap meremehkan dan kurang menghargai orang lain; dengki; riya dan keinginan dipuji; kikir; sombong; dan tamak.
Dan, sepuluh sarana menutup pintu masuk setan: sikap percaya dan menerima; rasa takut terhadap datangnya kematian yang tiba–tiba; menyadari akan hilangnya nikmat dan keburukan hisab; mengingat karunia dan takut akan akibat yang menimpa; mengenali hak dan kehormatan orang lain; sikap menerima dan rela pemberian dari Allah kepada makhluk-Nya; keikhlasan; sadar akan sirnanya semua yang ada di tangan makhluk dan kekalnya pahala di sisi-Nya; rendah hati; percaya dengan apa yang ada di sisi-Nya; dan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia.
Keenam, yakin masa depan adalah milik Islam. Keberadaan Islam sebagai agama yang berasal dari Allah menjadikannya lebih layak dan dapat mengatur kehidupan, mengendalikan dan memimpin umat manusia. Kepercayaan kepada Islam harus mencapai tingkat keyakinan bahwa masa depan adalah benar-benar milik Islam.
Jika seseorang dapat melakukan hal di atas, maka akan dapat menjadikan hidupnya hanya untuk Islam, sebagaimana ikrar yang selalu diucap ulang.
Allah SWT berfirman:
قُلْ اِنَّ صَلَا تِيْ وَنُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَمَمَا تِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۙ
"(Katakanlah, Sesungguhnya sholatku, ibadahku) amal ibadahku, yaitu ibadah haji dan lain-lainnya (hidupku) kehidupanku (dan matiku) meninggalku (hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam)."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 162).
Semoga Allah membimbing kita kaum muslimin agar menjadi seorang muslim yang sejati.
Rasulullah SAW bersabda, ''Orang beriman (bergaul) bersama dengan manusia dan mereka merasa tenang bersamanya. Tidak ada suatu kebaikan pada orang yang tidak (bergaul) bersama manusia dan dengannya mereka tidak merasa tenang.''
Dalam menjalin pergaulan, umat hendaknya mencontoh apa-apa yang dilakukan Nabi SAW dengan berperilaku yang baik kepada sesama. Nabi amat ahli melembutkan hati mereka dan mengajak mereka mengikuti dakwahnya dalam kata maupun perbuatan.
Ada beberapa hal yang patut menjadi teladan, antara lain bersikap ramah, memudahkan persoalan, memperlakukan tiap orang dengan sama, rendah hati dan sebagainya. Dr Muhammad menambahkan ada empat sikap yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW dalam berhubungan dengan orang lain.
Keempat karakter itu antara lain: tidak suka berdebat, tidak suka bicara terlalu banyak serta tidak suka turut campur persoalan yang bukan urusannya. ''Rasulullah juga tidak pernah mencela seseorang,'' ujar al-Hasyimi menegaskan.
Menurut al-Hasyimi, satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam pergaulan atau menjalin persahabatan adalah mengedepankan saling tolong menolong. Nabi menganjurkan agar seorang Muslim tidak segan membantu sahabatnya yang membutuhkan bantuan. Muslim sejati, lanjut Dr Muhammad, akan mengikuti tuntunan Nabi dalam menjalin hubungan antarsesama, apakah mereka baik atau jahat, sehingga ia bisa diterima semua orang.
Persahabatan yang akan saling menyebarkan rasa kasih sayang juga ditekankan dalam Alquran. Seperti tertera dalam surat Ali Imran ayat 103, ''Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai''.
Teman sejati bukan terbina atas dasar kepentingan semu, melainkan yang bisa saling memahami. Ia ada dalam suka dan duka. Pepatah menyatakan, lebih mudah mencari musuh ketimbang sahabat sejati.
berfirman yang artinya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ ٨
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allahdan Hari Kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah:8)
Agar seorang Muslim diterima dan diakui keimanan serta keislamanannya oleh Allah. Maka dia harus melekatkan dengan sesungguh hati karakteristik atau ciri-ciri khas pribadi Muslim dalam kepribadiannya.
Paling tidak, ada lima karakteristik pribadi Muslim sejati yang harus lekat dalam kepribadian kita.
Pertama, bertakwa kepada Allah. dengan sebenar-benarnya takwa (haqqa tuqatih). Tilawah dengan sebenar-benar tilawah (haqqa tilawatih). Berjihad dengan sebenar-benar jihad (haqqa jihadih). Hal ini diperlukan karena takwa merupakan kunci kemudahan seseorang, sehingga bagi Muslim yang sejati akan terus memperkukuhnya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, setiap jumat kita selalu mendapat wasiat dari para khotib untuk terus meningkatkan takwa. Manakala takwa telah berhasil diperkukuhnya dalam hidup ini, niscaya seorang Muslim selalu siap menghadapi kematian dalam keadaaan tunduk serta patuh kepada Allah. Keadaan inilah yang memang diharapkan Allah Subhanahu Wata’ala ada kita sebagaimana terdapat dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS: Ali- Imran:102).
ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ١٢١
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS: Ali Imran: 121)
وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’aladengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” [QS: Ali Imran: 78]
Takwa sebagaimana dalam pengertian yang telah disepakati oleh para ulama adalah, “Takwa”: melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wata’ala dan meninggalkan larangan-Nya baik dalam keadaan sunyi maupun ramai.”
Merujuk pendapat Ibnu Abas, takwa adalah Alloh selalu ditauhidkan dan tidak disekutukan, Allah Subhanahu Wata’ala disyukuri nikmat-Nya dan tidak diingkarinya, Nama Allah selalu diingat dan tidak dilupakan sesibuk apapun dan bagaimanapun, Allah selalu didekati dan tidak dijauhi.
Kedua, selalu berusaha untuk masuk kedalam islam secara kaffah, menyeluruh, atau total. Hal ini berarti bahwa Muslim yang sejati itu tidak hanya menyesuaikan diri dalam suatu aspek, tetapi seluruh aspek kehidupannya akan terus diusahakan sesuai dengan ajaran islam. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, dia tidak akan menempuh cara-cara yang tidak islami. Dia tidak akan memenuhi keingan-keinginan setan. Apa yang dipenuhinya adalah keinginan Allah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS: Al-Baqarah:208).
Kenyataan di dalam masyarakat kita yang mayoritas Muslim menunjukkan bahwa ketaatan berpandangan dan berperilaku yang islami umumnya belum terealisasi dengan baik. Misalnya dalam beribadah ritual sesuai dengan syariat Islam, tetapi dalam beribadah social menceraikan keterlibatan Allah Subhanahu Wata’ala.
Demikian pula dalam aspek social, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, absen dari bimbingan, arahan, dan petunjuk Allah. Sehingga, dalam bermuamalah, cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan jangka pendek (al ghoyatu tubarrirul wasail). Tidak ada pertemanan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Ketika sepi, memerlukan Allah, ketika dalam keramaian meninggalkan Allah.Wallahu 'Alam bi showab.
Bukittinggi, 28 Januari 2020
#KompakNulis
#PenaPejuang
#KembalikeSyariah
#DenganPenaMembela