Oleh: NH Aliyah, S.Ikom
Seperti diberitakan berbagai media, hujan deras yang mengguyur Jakarta beberapa hari yang lalu telah membuat sejumlah titik di Ibu Kota terendam air dan ribuan warga Jakarta terpaksa mengungsi. Merespon banjir besar ini, publik menyoroti kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Masyarakat pun mempertanyakan program penanganan banjir Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dianggap gagal mengantisipasi bencana musiman tersebut.
Menurut Ketua Umum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta yang dikutip dari kompas.com, Puput Tridarmaputra, banjir yang berulang kali melanda Ibu Kota negara merupakan potret amburadulnya tata ruang. “Kajian tata ruang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Terbukti perizinan terhadap pembangunan gedung-gedung komersial terus diberikan tanpa adanya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal),” cetus Puput seraya menambahkan bahwa penanganan dan pengendalian banjir hanya dianggap sebagai proyek. 92% wilayah DKI Jakarta diketahui sudah dikonversi menjadi “hutan beton”, dengan kata lain, ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang resapan hanya tersisa 8%. Selain itu, aspek rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sangat nyata terjadi, terutama kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan, bahkan memenuhi aliran sungai kerap dilakukan. Terlihat saat banjir, sampah yang terbawa arus Sungai Ciliwung yang melintasi wilayah Rawajati, Pancoran, Jakata Selatan, menumpuk di kolong flyover Kalibata. Lautan sampah yang tak terhitung jumlahnya itu tersangkut akibat ketinggian air yang menyamai tinggi jembatan di bawah kolong flyover tersebut. (Kompas.com)
Banjir pada faktanya bukanlah hal tabu bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Mereka sudah sangat familiar dengan banjir. Fakta Jakarta kebanjiran tidak hanya terjadi di masa pemimpin daerah yang sekarang saja. Sekitar tahun 1970 peristiwa serupa juga dialami warga Jakarta bahkan diungkapkan lewat sebuah lagu karya almarhum Benyamin Sueb yang berjudul ‘Kompor Meleduk’. Ternyata masalah banjir sudah sangat lama menjadi langganan warga di Jakarta sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu.
Jika kita menilik secara seksama, berbagai program yang dilakukan pemerintah guna mengantisipasi banjir sejauh ini hanya memberikan solusi tambal sulam. Mengingat permasalahan banjir yang belum selesai di negeri ini. Bahkan belakangan ini menjadi hal yang menakutkan karena tak sedikit menelan korban harta dan jiwa. Hal ini seolah menjadi indikasi 'kemurkaan alam' sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-Ruum: 41)
Menilik faktor utama pemicu banjir, yaitu buruknya tata ruang dengan semakin hilangnya ruang terbuka hijau dan rendahnya kepedulian lingkungan, jelas banjir terjadi karena murni kesalahan manusia. Karena sesungguhnya Allah telah menyediakan alam ini dengan kapasitas yang tepat, termasuk dalam menampung air hujan, karena siklus air pun bersifat tetap, tidak berkurang ataupun bertambah. Pun sifat aliran air sudah jamak dipahami, bahwa selalu mengalir menuju tempat yang rendah, maka pada pemukiman dataran rendah harus diupayakan mekanisme penahanan air yang tepat di daerah hulu, agar tidak melimpah menggenangi daerah di bawahnya, dan fungsi penahanan air oleh akar tanaman pun sudah jelas dipahami.
Kerusakan yang terjadi disebabkan karena diterapkannya sistem Kapitalisme yang menjadikan manusia bebas untuk mengumbar keserakahanya dengan memiliki apapun tanpa melihat keseimbangan alam. Maka tentu sistem yang seperti ini tak layak untuk kita terapkan dan menggantinya dengan sistem lain yang dapat mengundang keberkahan sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)
*(Pemerhati Media Sosial)
Tags
Opini