Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)
Jangan kawatirkan rezekimu, karena Allah sudah menjaminnya bagi semua yang hidup. Tapi kawatirkan amalanmu, karena Allah tak menjaminmu masuk surga_ Ibnul Qayyim AlJauziyah
Belum usai kasus gagal bayar yang menimpa nasabah beberapa BUMN yang bergerak dalam bidang asuransi, menyusul terkuak investasi bodong di negeri ini. Kali ini, aplikasi investasi bodong bernama MeMiles berhasil dibongkar kepolisian pada 3 Januari 2020.
Mengutip dari laman liputan6, kasus penipuan ini mencuat setelah Polda Jatim menangkap dua tersangka yang terlibat. Terungkap, hanya dalam delapan bulan investasi bodong dengan menggunakan nama PT Kam and Kam ini berhasil meraup uang dari korban senilai Rp 750 miliar. (liputan6.com, 19/1/2020)
Mengenaskan. Lagi, nasabah yang notabene rakyat jadi korban. Lazim bila kita prihatin. Namun tulisan kali ini tak hendak mengulas korban, tapi mengajak menoleh ke sisi lain. Mengapa dan bagaimana investasi dan asuransi menarik bagi publik. Bahkan tak sedikit yang rela menguras harta meski risiko besar menghantui.
Fulus Berlipat Ganda, Daya Tarik Utama
Beda tapi serupa. Ya, meski nama tak sama, Memiles maupun asuransi dan produk yang sejenis bersama menjual mimpi jadi kaya raya.
Memiles, investasi yang menyeret beberapa nama artis ini punya modus tak jauh-jauh dari fulus. Mulai dari menjanjikan uang hingga hadiah fantastis dan tidak masuk akal kepada nasabah. Misal, dengan berinvestasi hanya ratusan ribu, nasabah bisa langsung membawa pulang televisi, lemari es, pendingin ruangan, dan lainnya. (kata-kata.co.id, 10/1/2020)
11-12 dengan produk asuransi. Gagal bayar pada kasus Jiwasraya terjadi sejak JS Saving Plan diluncurkan. Produk yang ditawarkan melalui bancassurance itu mengiming-imingi peserta dengan guaranted return sebesar 9-13% per tahun selama 2013-2018 dengan periode pencairan setiap tahun. (cnbcindonesia, 19/12/2019)
Luar biasa, siapa tak tergiur? Begitu menggoda hingga seolah mampu menutupi risiko yang rawan menimpa. Jujur, gaya hidup materialistis sudah jauh mendominasi hidup kita. Segala hal diukur dari sudut pandang fisik alias materi harta. Uang kini bahkan tak segan jadi yang terdepan.
Status seseorang di tengah masyarakat pun tak jarang ditentukan oleh harta benda yang dimiliki. Budaya hedonis merajalela. Konsumtif menggila. Siap menggilas siapa saja. Bagi yang tak tahan dengan godaan tersebut, bersiaplah terjerat oleh investasi bodong atau justru asuransi dan yang sejenis.
Belakangan terlihat bagaimana manusia berlomba-lomba memburu dan menimbun harta. Begitu hebat hingga tak sedikit yang sampai tergerus keyakinannya bahwa rezeki sejatinya dari Sang Pencipta.
Bukan hal aneh sebenarnya, sebab demikianlah hasil karya penerapan ideologi kapitalisme. Persis seperti yang dikatakan Adam Smith, moyang ideologi Barat ini.
Adam Smith berujar, “Manusia adalah homo economicus.” Yaitu makhluk yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya dan selalu berusaha terus menerus memenuhi kebutuhannya. (wikipedia) Bila perlu dengan segala cara. Halal atau haram tak masuk hitungan. Sebab agama sebagai sumber syariat sejak lama hanya jadi pajangan. Tak diizinkan mengatur urusan kehidupan.
Ingatlah Allah, Sang Pencipta
Allah SWT Maha Pencipta juga Maha Pengatur. Ia menurunkan risalah berupa syariat Islam melalui Rasulullah saw.
Menyitir dari wikipedia, syariat Islam secara etimologi berarti "jalan yang dapat di lalui air", maksudnya adalah jalan yang ditempuh manusia untuk menuju Allah. Sehingga syariat Islam mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat.
Hanya saja perlu diingat bahwa syariat adalah konsekuensi dari keimanan. Mematuhi halal haram pun buah dari iman. Seorang yang beriman akan sekuat tenaga berusaha sambil tetap menghindari keharaman karena yakin akan Allah SWT dan janji-Nya. Termasuk dalam urusan rezeki.
Dengan sendirinya ironis jika di benak kita justru selalu tertanam rasa cemas akan masa depan sedang hal itu belum terjadi.
“Bagaimana kalau terjadi kecelakaan?,” “Pendidikan anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan,” “Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar.” Demikian antara lain rasa kawatir yang dieksploitasi lewat promo produk dari jasa investasi dan asuransi.
Padahal sejak awal Allah telah menetapkan sikap tawakal sebagai jalan keluar hakiki dari segala waswas akan rezeki.
Firman Allah Ta’ala,
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (TQS. Ath Tholaq: 2-3)
Dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah,
“Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (upaya) yang diizinkan syariat.”
Hal ini berarti menempuh ikhtiar menjemput rezeki dengan cara yang halal setelah sebelumnya yakin sepenuhnya pada Allah, Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki. Sebab bila sudah ditentukan Allah, jangankan luput, tertukar saja mustahil.
Rasulullah saw. bersabda,
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya.....” (HR. Ibnu Majah)
Alhasil, keyakinan yang kokoh akan rezeki dan pertolongan Allah inilah yang sejak dulu jadi senjata orang-orang yang beriman. Menjadikan Rasulullah saw. dan para sahabat maju pantang mundur memperjuangkan tegaknya Islam. Ditambah lagi telah terbukti, menerapkan syariat kaffah sebagaimana yang ditempuh Rasul Saw, Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah setelahnya mampu membawa Islam pada belasan abad kejayaan.
Sebaliknya ketika Islam diambil hanya pada perkara ibadahnya seperti saat ini nyata membawa umat manusia pada kemalangan demi kemalangan. Apatah lagi jika syariat ditinggalkan seluruhnya? Na'udzubillah tsumma na'udzubillah. Wallaahu a'lam.