Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Kapal asing milik China terpantau memasuki wilayah Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Kapal tersebut terkonfirmasi melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal. Coast Guard China juga dinilai telah melanggar kedaulatan Indonesia di Perairan Natuna. Hal itu merupakan poin hasil rapat antar-kementerian di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Senin (30/12/2019), seperti dirilis pada laman resmi Kemenlu. Merespons hal ini, Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu memanggil Duta Besar China di Jakarta dan menyampaikan protes kerasnya. (www.kompas.com, 31/12/2019)
Sementara itu, jurubicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan coast guard atau kapal penjaga pantai China justru sedang menjalankan tugasnya untuk melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan iklan nelayan China (traditional fishing right). Pernyataan Geng tersebut dikeluarkan dalam konferensi pers pada Selasa (31/12). (www.berita7.id, 2/1/2020)
Sebenernya, ketentuan penguasaan laut oleh negara itu sudah jelas diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut alias UNCLOS. Dalm konvensi itu, negara berhak atas laut territorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), ZEE (200 mil laut) dan landas kontien yang bisa lebih dari 200 mil laut. Lebar masing-masing zona maritim ini diukur dari garis pantai atau garis pangkal. Berita baiknya, semua negara di sekitar Laut Cina Selatan (LCS) sudah mengakui UNCLOS sebagai hukum.
Kalau semua negara di sekitar LCS sudah menganut UNCLOS, kenapa masih ribut soal laut? Situasi di LCS memang rumit karena bentuk geografisnya berupa lautan setengah tertutup yang dikeliling daratan negara. Kalau biasanya kita punya daratan yang dikelilingi air laut, di LCS sebaliknya, laut dikelilingi daratan. Kalau semua negara itu mengajukan haknya atas laut pasti jadi runyam karena klaimnya mengarah ke satu titik yang sama di tengah. Tambahan lagi di tengah itu mereka bersengketa soal kepemilkan pulau/karang.
RRT mengaku sesuai UNCLOS ketika mengklaim laut di LCS, hanya saja mereka menggunakan tafsiran sendiri. RRT tidak menggunakan ukuran jarak seperti yang diatur UNCLOS tapi menggunakan dasar historis. Konon nenek moyang RRT sudah berkegiatan di seluruh kawasan LCS sejak zaman dulu kala makanya sekarang mereka mengklaim hampir keseluruhan LCS. Mereka mengeluarkan peta tahun 1940an yang menunjukkan garis putus-putus dan melingkupi hampir keseluruhan LCS. Garis itu dikenal dengan nine-dash line (NDL) karena terdiri dari sembilan segmen garis putus-putus. RRT berpendapat, klaim ini sudah ada sebelum UNCLOS sehingga UNCLOS tidak bisa mengubah atau menyalahkan tindakan mereka itu.
NDL memang ada sebelum UNCLOS tetapi harus diingat UNCLOS muncul, salah satunya, untuk ‘merapikan’ klaim maritim oleh negara-negara di dunia. Sebelum UNCLOS, negara-negara mengklaim laut secara sporadis dan semaunya, sesuai kekuatan masing-masing. Maka UNCLOS sesungguhnya jadi ‘penyelamat’ dan harus dihormati semuanya. Jadi, semua negara yang mengakui UNCLOS wajib ‘merapikan’ klaim lautnya agar sesuai UNCLOS. Hal ini dicontohkan oleh Filipina. Sebelum ada UNCLOS, klaim laut Filipina barupa kotak sesuai dengan Treaty of Paris 1898 dan itu masuk dalam konstitusi mereka. Begitu mengakui UNCLOS, Filipina menyesuaikan klaim maritim mereka.
Tanpa kebijaksanaan RRT untuk tunduk dan melaksanakan UNCLOS di LCS maka akan terjadi ketidakadilan atau ketidakseimbangan. RRT menganggap adanya tumpang tindih sedangkan menurut Indonesia tidak demikian. Indonesia menggunakan ketentuan UNCLOS sedangkan RRT menggunakan alasan historis. Tentu beda.
Dan semoga saja, ketergantungan Indonesia terhadap hutang Cina, tidak mejadikan lepasnya Natuna dari tangan Indonesia. Demikianlah, sesungguhnya kekhawatiran banyak pihak akan hutang Indonesia, telah membawa Indonesia ke arah – arah penuh bahaya. Sungguh kedaulan bangsa lebih utama dari pembanguan infrastruktur yang belum tentu dinikmati rakyak secara keseluruhannya.
Wallhu a’lam bi ash showab