Oleh : Rengga Lutfiyanti
Setiap menjelang akhir tahun, pembahasan mengenai toleransi selalu hangat dibicarakan di tengah-tengah masyarakat. Dan sampai saat ini masalah toleransi masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Bahkan sekarang telah terjadi pergeseran nilai pada toleransi itu sendiri.
Seperti saat ini, orang yang dianggap toleransi adalah mereka yang mau mengucapkan selamat terhadap hari raya agama lain. Sedangkan ketika ada seseorang yang tidak mau mengucapkan karena memegang teguh akidah mereka, mereka dianggap sebagai seorang yang intoleran. Lantas benarkah demikian yang dimaksud dengan toleransi?
Belum lama ini muncul sebuah pernyataan mengejutkan sekaligus membingungkan. Pernyataan tersebut datang dari Menteri Agama Jenderal (Purn) Fahchrul Razi, yang menegaskan bahwa mengucapkan selamat Natal kepada penganut Nasrani tidak melunturkan akidah seorang Muslim. Ketua Komisi Infokom MUI Pusat Masduki Baidlowi mengatakan, ada pendapat yang menyatakan ucapan selamat Natal dari seorang Muslim tidak masalah jika tidak diniatkan secara keimanan (detiknews.com, 20/12/2019). Pertanyaan tersebut merupakan pernyataan yang ngawur. Sebab pernyataan tersebut telah menyalahi akidah Islam.
Narasi intoleransi sebenarnya adalah agenda dari Barat yang ingin memecah belah umat Islam. Dan hal ini didasarkan pada kebencian mereka terhadap Islam, sehingga ingin menjauhkan masyarakat dari ajaran Islam kaffah. Islamophobia adalah akar dari kebencian ini, yang kemudian ingin untuk mengubah standar kehidupan kaum muslimin menjadi liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme. Pluralisme sendiri adalah paham yang menganggap semua agama itu benar.
Diterapkannya paham liberalisme dan sekulerisme di tengah-tengah masyarakat, mengakibatkan munculnya kebebasan dalam berpendapat. Serta munculnya sikap mencampuradukkan ajaran agama. Mereka berpendapat sesuka hati mereka tanpa ada dasar yang jelas. Hingga mereka mampu menabrak rambu Illahi. Padahal agama adalah sesuatu yang harus dipegang erat. Yang tidak boleh dipisahkan dari kehidupan ini. Sebab hanya agamalah yang mampu menjadi kontrol dalam berbuat. Karena di dalam agama terdapat peraturan yang kompleks yang mengatur kehidupan manusia. Dan agama itu adalah Islam.
Islam sendiri adalah agama yang toleran. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapapun, baik muslim maupun nonmuslim. Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak orang lain, termasuk non Muslim. Hal ini pun telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. Yaitu kisah tentang Rasulullah yang menyuapi pengemis buta di sudut pasar setiap harinya. Padahal pengemis itu adalah seorang Yahudi. Rasulullah saw juga pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit. Serta masih banyak lagi kisah yang menceritakan tentang interaksi Rasulullah saw. dengan orang nonmuslim.
Selain itu pada masa Kekhalifahan Islam, umat Islam juga hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Meski hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat nonmuslim juga mendapatkan hak-hak yang sama dengan kaum muslim sebagai warga negara. Negara juga menjamin kehidupan serta keamanan mereka. Kaum nonmuslim mendapatkan perlakuan yang sama dengan kaum muslim.
Inilah bentuk toleransi dalam Islam. Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk Islam. Dan tidak pernah pula mengahalangi mereka untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Sehingga bertoleransi tidak harus sampai menabarak rambu Illahi. Sebab Rasulullah saw. pun telah menegaskan bahwa, “bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyeruapai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695). Dan Allah Swt berfirman, “ Untukmu agamamu, untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun : 6).
Wallahu a’lam bishshawab