Oleh: Ummu Syaqieb
Reynhard Sinaga, WNI yang mendapat vonis hukuman penjara seumur hidup dari pengadilan Inggris, pemberitaannya mendadak viral dua hari ke belakang. Pria yang sejatinya tengah mengambil gelar doktor dari Universitas Leeds itu dinyatakan bersalah atas 159 kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria muda. Lembaga kejaksaan Inggris menilai kasus Sinaga sebagai "the most prolific rapist" atau kasus pemerkosaan paling besar dalam sejarah hukum Inggris. (Tirto.id, 7/1/2020).
Menanggapi kasus ini, pihak istana memberi reaksi. Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, menyampaikan bahwasanya Pemerintah Indonesia menghormati proses peradilan terhadap Reynhard. Pihaknya hanya menyayangkan mengapa kasus ini menimpa WNI dan dinilai telah mencoreng wajah bangsa Indonesia yang selama ini dikenal penuh dengan etika ketimuran sopan santun, harga-menghargai.
Kasus kejahatan predator seksual sesungguhnya sudah sering kita jumpai. Terjadi di dalam maupun di luar negeri. Salah satunya, kasus predator seksual yang dilakukan Baekuni alias Babeh sempat menggegerkan masyarakat di tahun 2010 silam. Pria asal Magelang-Jateng tersebut menyodomi setidaknya 14 anak.
Tak jarang, untuk menghilangkan jejak kejahatan, Babeh memutilasi korban. Sayangnya, vonis hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Jakarta 13 Desember 2010, bagai macan di atas kertas. Sampai saat ini, Babeh masih bisa bernafas karena eksekusi belum juga dijalankan.
Kasus kejahatan seksual kini menjadi momok amat menakutkan bagi para orang tua saat melepas anak-anak mereka keluar rumah.
Karena predator seolah terus bermunculan dan mengintai dimana saja, siapa saja. Kondisi ini sekaligus menjadi gambaran betapa rusaknya perilaku manusia, akibat penerapan sistem Kapitalisme-Sekular yang diterapkan dalam kehidupan hari ini.
Dalam sistem Kapitalisme-Sekular, nilai-nilai kebebasan dijunjung tinggi, atau kita kenal dengan Liberalisme/paham kebebasan. Salah satu yang dijamin dalam paham ini adalah kebebasan individu, termasuk di dalamnya kebebasan berperilaku. Maka, setiap manusia merasa berhak untuk melakukan apapun selama ia inginkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya.
Kebebasan berperilaku ini tanpa penjaga, karena agama yang semestinya menjadi benteng perilaku dijauhkan perannya dalam kehidupan (sekularisme).
Akhirnya, lahirlah kebebasan tanpa batas yang menjadi benih munculnya perilaku menyimpang. Kondisi rusak ini masih diperparah dengan lemahnya penegakkan hukum yang ada di Indonesia, sehingga efek jera tidak tercapai, memicu kejahatan-kejahatan lain terus terjadi.
Selama Kapitalisme-sekular masih menjadi asas kehidupan dan liberalisme menjadi dasar manusia berperilaku, pintu penyimpangan perilaku manusia akan terus terbuka, termasuk penyimpangan seksual akan terus terjadi.
Padahal Allah SWT menurunkan Islam sebagai petunjuk perilaku manusia demi terciptanya keteraturan dan ketentraman hidup. Karenanya, menjauhkan agama dari kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara merupakan kesalahan besar. Karena kondisi tersebut akan terus melahirkan kerusakan-kerusakan, termasuk kerusakan perilaku manusia. []
----
Tags
Opini