Oleh: Rumi*
Saat ini sektor pariwisata telah menjadi ajang bisnis. Terbukti dengan suburnya objek pariwisata yang tumbuh saat ini di berbagai daerah di Indonesia. Dilansir dari muslimahnews.com, menurut Peneliti dan Dosen Ekonomi Syariah, Nida Saadah, mengungkapkan bahwa sektor pariwisata kini sama dengan sektor lain yang berorientasi profit, bebas nilai. Mirisnya, menurut Nida, sektor pariwisata seolah menjadi pilihan yang tersisa bagi negara berkembang yang semua aset sumber daya alamnya dikuasai oleh asing. Tak bisa berbuat apa-apa karena tidak tahu bagaimana cara mengusir penjajah yang tidak mau angkat kaki, "Ironis, ibarat ayam yang mati dilumbung padi."
Lebih jauh berbicara mengenai sektor pariwisata bahkan dianggap sebagai sektor yang sangat potensial untuk menghadapi dampak ekonomi akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina. Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amalia Adininggar Widya mengatakan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara. (monitorday.com).
Pariwisata erat kaitannya dengan tradisi lokal Indonesia. Pengelolaan pariwisata ala peradaban kapitalisme-sekuler mengakibatkan tradisi-tradisi syirik yang menjadi produk pariwisata dibiarkan bahkan dikembangkan. Seperti Tradisi Buang Nahas oleh masyarakat Kampung Talisayan, Kecamatan Talisayan. Prosesi adat ini menjadi bagian dari daya tarik pariwisata di wilayah pesisir Selatan Berau. Dilakukan setiap akhir bulan Safar tahun Hijriyah. Dalam prosesinya, diawali dengan penyiraman air linjuang, yakni air yang telah disiapkan dan dibacakan doa oleh tetua adat kepada sembilan anak wanita, dengan harapan terjauh dari segala bentuk masalah dan bencana. Tradisi ini dilakukan setiap tahunnya di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Berau. Namun, pada tahun 2019 lalu, tradisi ini tidak mendapat restu lagi dari camat setempat, Mansyur. Menurutnya tradisi tersebut tidak sesuai dengan akidah Islam. (berau.prokal.co)
Selain Buang Nahas, tradisi yang sempat viral di media sosial baru-baru ini adalah puluhan penari pada acara Tari Umbul Kolosal di Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, satu-persatu jatuh pingsan dan beberapa di antaranya mengalami kesurupan. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kab. Sumedang, Dadang Sulaeman, menuturkan bahwa berdasarkan informasi dari petugas kesehatan yang disiagakan di lokasi, jumlah penari umbul yang jatuh pingsan karena dehidrasi ini diperkirakan mencapai 78 orang dari 5.555 orang. (kabar-priangan.com). Kendati demikian, beberapa penari yang mengalami kesurupan juga merupakan fakta yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Hal ini justru menimbulkan prasangka yang tidak baik terhadap tradisi ini.
Sebagai salah satu pemasukan kas negara, sektor pariwisata menjelma menjadi liberalisasi pariwisata yang menghalalkan segala cara demi keuntungan semata. Tradisi-tradisi syirik dibiarkan, bahkan ketika segelintir orang menyadari bahwa tradisi tersebut tidak sesuai dengan akidah Islam, mereka berusaha mengemasnya menjadi lebih islami.
Ritual tolak bala tidak bisa dikatakan sebagai fenomena kultural semata, karena dalam perspektif Islam, hal itu bertentangan dengan akidah. Selain itu, ritual tolak bala justru menjadi syariat agama-agama di luar Islam, seperti Konghucu, Budha, dan sebagainya. Dengan demikian, mempraktekkan ritual tolak bala, sama saja dengan menjalankan syariat agama non Islam yang paganis alias berhalais.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Menjadikan tradisi-tradisi syirik tersebut dengan berbagai atribut Islam, sama saja dengan mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Hal ini tentu saja dapat melemahkan akidah sebagai kekuatan umat. Dengan narasi yang dibuat sedemikian rupa bahwa tradisi tersebut adalah tradisi turun temurun, warisan luhur nenek moyang atau sebagai budaya bangsa yang harus dilestarikan, membuat masyarakat awam kebingungan dan tidak bisa berpikir jernih. Padahal benang merahnya adalah muatan lokal boleh saja, sejauh tidak bertentangan dengan akidah.
Dampak selanjutnya dari liberalisasi pariwisata saat ini adalah semakin mengokohkan kembali penjajahan di dalam negeri. Bahkan narasi yang dibuat saat ini bahwa sektor pariwisata dianggap mampu menghadapi perang dagang antara AS dan Cina.
Liberalisasi pariwisata ala peradaban kapitalisme-sekuler berbeda sekali dengan peradaban Islam dahulu. Dalam peradaban Islam, pariwisata dikelola Negara Khilafah dengan tujuan dakwah dan propaganda yang bertujuan untuk membangun dan mengokohkan keimanan hamba-Nya. Jelas tergambar bahwa pariwisata pada peradaban Islam bukanlah ajang bisnis. Sebab negara sudah memiliki kas keuangan yang berlebih dari sektor pengelolaan sumber daya alam, dari kepemilikan negara, dan zakat.
*(Mahasiswi Kampus Cirebon)
Tags
Opini