Oleh :Ulfatun Ni'mah S.Si
(Pemerhati Kebijakan Publik)
.
Belum selesai kasus PT Asuransi Jiwasraya, penegak hukum kini harus bersiap menangani kasus yang diperkirakan tak kalah besar. Menteri koordinator Bidang Politik, hukum dan keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, ada informasi korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) ( JawaPos.com ,12/01/2020).
Sebelumnya, Mahfud mengungkapkan, dirinya mendapat kabar terkait masalah yang membelit ASABRI. " Yang itu mungkin tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya," ujarnya. Diduga kasus ini berpotensi megakorupsi dan KPK sebagai penegak hukum tindak pidana korupsi diharapkan menangani kasus yang terjadi di tubuh ASABRI.
Harus diakui, korupsi jelas-jelas menggurita, meski KPK telah bergerilya, koruptor tak pernah jera. Koruptor bahkan berani melakukan teror terhadap aparat penyidik. Dari bom molotov hingga air keras, semua pernah terjadi. Mirisnya, tak satupun pelaku teror yang terungkap ke publik.
Dalam sistem kapitalis, pemerintahan yang bersih dan akuntabel memang sukar diwujudkan, ketamakan yang menjadi watak dasar sistem ini mendorong munculnya para koruptor. Di satu sisi, penyelesaian terhadap kasus korupsi tidak terselesaikan dengan tuntas. Malah menghantarkan Indonesia menempati ranking pertama negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia-Pasifik.
Selama ini, hukuman terhadap koruptor sekadar hukuman badan (penjara). Lalu setelah dilepas koruptor akan melakukan tindakannya kembali dengan nilai yang lebih besar lagi.
Pasca peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Senin (9/12/2019). Penerapan hukuman mati bagi narapidana kasus korupsi kembali ramai dibicarakan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman mati berlaku untuk pelaku korupsi terkait bencana alam.
Hukuman mati juga dikenakan pada kasus yang terjadi pada saat negara mengalami krisis moneter atau kepada koruptor yang berulang kali melakukan perbuatannya. Sejauh ini, efektifitas penerapan hukuman mati untuk menekan semakin tingginya angka kasus korupsi belum terbukti. Lantas di mana letak kesalahannya?
Faktor utama penyebab meningkatnya korupsi di negeri ini ada dua. Yang pertama adalah faktor individu yang teracuni paham materialisme. Paham ini menyebar luas di masyarakat, mereka mengukur kebahagiaan dan kesuksesan seseorang dengan berapa banyak harta yang dimiliki.
Yang kedua adalah faktor sistem dan aturan yang diberlakukan di negeri kita, diantaranya adalah sistem hukum/sanksi yang lemah, penegakan hukum yang setengah hati, penggajian yang rendah, juga sistem sosial, dimana masyarakat justru memuja seorang koruptor yang ‘baik hati’, rajin menyumbang pesantren, sekolah dan masjid.
Hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas, yakni dengan penerapan syari’ah, baik dalam skala individual maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Allah berfirman :
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". [QS. Ar Ruum : 41]
Konsep Islam dalam menyelesaikan korupsi yang semakin kronis dapat terlihat dalam beberapa hal antara lain; aturan penggajian yang jelas, larangan suap menyuap, kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaan bagi pejabat, keteladanan pemimpin, dan sistem hukum yang sempurna, dan semua itu dilaksanakan dengan pondasi iman kepada Allah dan hari akhir.
Dalam urusan gaji, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak punya rumah, maka haruslah ia mendapatkan rumah. Bila ia tidak memiliki istri, maka haruslah ia menikah, bila ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengambil pembantu dan bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memiliki hewan tunggangan. Barang siapa yang mengambil selain itu maka ia telah melakukan kecurangan”HR Abu Dawud).
Islam melarang aparat untuk menerima hadiah dari orang yang tidak biasa memberi hadiah sebelum dia menjadi pejabat. Islam mensyariatkan perhitungan kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal, kalau tidak dia tidak bisa membuktikan maka hartanya akan dimasukkan ke Baitul mal, sebagian atau seluruhnya. Ini pernah dilakukan Umar bin Khattab kepada Abu Hurairah dan Khalid bin Walid r.a.
Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah keteladanan pemimpin. Khalifah Umar bin al-Khaththab menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di Padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Inilah konsep kesempurnaan Islam dalam menuntaskan masalah korupsi. Untuk itu diperlukan upaya kita semua untuk mengajak kepada syari'ah dalam setiap aspek kehidupan, tanpa ini, memerangi korupsi hanyalah sebatas mimpi yang tidak terlaksana. Wallahu a' lam bis-showab.