KORUPSI SISTEMIK BUAH DARI SISTEM SEKULER KAPITALISTIK




Oleh: Murni supirman

Pada penghujung tahun 2019 negeri ini banyak dihadapkan dengan polemik yang memalukan dan memilukan.
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para pejabat elit politik membuktikan bahwa sistem ini bermasalah dan rusak. Lemah dari sisi mental, akhlak dan hukum yang diadopsi. 

Terbongkarnya banyak kasus/skandal  korupsi makin membuat kita terperangah hal ini bukan tanpa sebab, semua karena yang melakukan tindak pidana korupsi itu kebanyakan dari partai pemenang pemilu yang justru banyak dari mereka adalah penentu kebijakan-kebijakan di negeri ini, sungguh hal ini mengerikan dan menyakitkan hati umat. 

Contohnya saja kasus korupsi di Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, Suap di KPU yang libatkan partai penguasa juga kasus di Garuda dst. Kebanyakan dana yang digondol maling berdasi adalah milik umat yang tidak memahami apa-apa. 

Yang menjadi sorotan publik adalah sampai dimana batas kemampuan kerja KPK dalam memberantas kasus tersebut sementara, KPK hanya lebih berorientasi dalam penindakan dan sanksi, tidak lebih.
Mungkin inilah salah satu penyebab UU KPK buru-buru direvisi karena dikhawatirkan akan banyak kalangan politisi  yang akan diciduk, hingga KPK saat ini tak ubahnya seperti macan yang kehilangan taringnya, tidak kuasa berbuat apa-apa sebelum mendapatkan persetujuan dari badan pengawas KPK ketika hendak menggeledah seseorang yang diduga melakukan tindakan pidana korupsi atau telah menyuap.
 
Dengan dilakukannya revisi UU KPK, Hal ini justru memperlihatkan bahwa revisi Undang-Undang KPK justru menghambat kerja KPK. Dewan Pengawas, misalnya, mempersulit rantai izin penyidikan yang sebelumnya sudah panjang karena harus melewati direktur penyidikan, deputi penindakan, dan pimpinan KPK. Padahal petugas KPK harus bergerak cepat dalan menciduk koruptor dan menyita barang bukti.(Tempo.co/17012020) 
Lucunya malah pihak yang ingin digeledah diberi jangka waktu satu minggu sebelum KPK melakukan pemeriksaan. Ini jelas ada intervensi dari pihak yang bersangkutan. 

Korupsi di lingkaran kekuasaan adalah penyakit bawaan system sekuler dan mustahil diberantas dengan kerja lembaga semacam KPK. Sebab selain nampak sudah tidak independen, KPK telah dilemahkan posisinya. 

Berbeda dengan sistem Islam dalam hal memberantas korupsi. Posisi Negara sebagai pengurus urusan umat berkewajiban menjaga akidah masyarakatnya melalui sistem manajemen dan kurikulum pembentukan fikrah(pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) hingga upaya ini nantinya melahirkan individu yang taat dan bertakwa. 
Dalam penerapan sistem dan aturan yang bersumber dari al khalik berupa syariat yang paripurna serta regulasi yang diterapkan disegala bidang, tentu akan mencegah perilaku suap apa lagi korupsi. Sebab sistem islam menutup peluang bagi orang-orang untuk menyalahgunakan wewenang bahkan tidak ada ruang untuk memuluskan kepentingan pribadi karena tidak akan ada individu atau lembaga manapun yang bisa diajak bekerja sama selain karena takwanya juga karena semata-mata takut kepada Allah. 

Ketika ada pejabat yang terindikasi melakukan aktifitas tersebut, maka sanksi yang diberikan berupa sanksi yang membuat efek jera dan hal ini berlaku tanpa tebang pilih. 

Seperti pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, pernah terjadi sebuah kasus pencurian yang melibatkan seorang wanita bangsawan Quraisy dari Bani Makhzumiyah. Kasus ini segera merebak menjadi berita utama di kalangan kaum Quraisy.  Namun Rasulullah tetap menghukumnya seraya bersabda;
"Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan binasanya umat-umat sebelum kalian ialah, apabila mereka mendapati ada orang mulia yang mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi apabila mereka mendapati orang lemah diantara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah!, sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya." (Muttafaq 'alaih)

Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak