Korupsi Berkembangbiak, Demokrasi Biangnya




Oleh : Nur Elmiati
Aktivis Dakwah Kampus dan Member Akademi Menulis Kreatif

“Dalam kondisi darurat korupsi, pejabat negara tetap mencuri silih berganti. Sebanyak koruptor yang masuk penjara, sebanyak itu pula regenerasinya menggarong negara.” (Najwa Sihab)

Kutipan dari presenter Najwa Sihab tersebut kiranya sangat pantas untuk menggambarkan bagaimana kasus korupsi yang kian menggurita sejak dulu hingga kini.

Di setiap permulaan tahun banyak doa dan harapan yang dilantunkan rakyat indonesia, berupa kesejahteraan sampai harapan agar Indonesia menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi nyatanya, harapan itu kembali terkikis dengan terbongkarnya mega skandal korupsi yang makin mengerikan dan menyakiti hati rakyat indonesia.

Ada beberapa mega skandal korupsi yang mencuat di awal tahun ini. Pertama, PT Jiwasyara (Persero) diberitakan gagal bayar polis senilai 802 miliar yang jatuh tempo pada 10 Oktober 2018. Pada tahun sebelumnya Direktur Utama Jiwasraya mengakui bahwa hal ini disebabkan adanya  pengelolaan manajemen yang kurang hati-hati. Hingga menyebabkan perseroan menunggak pembayaran polis ratusan miliar. Tanpa disadari kewajiban polis yang harus dibayar akhirnya kian menggunung.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan dalam kurun 2010 sampai 2019. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) pada tahun 2016, BPK mengungkap 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan dan biaya operasional Jiwasraya tahun 2014 hingga 2015 dan pemeriksaan investigatif (pendahuluan) pada 2018. Kepala BPK Agung Firman Sampurna mengatakan Jiwasraya sudah bermasalah sejak 2006.

Dilansir dari detikfinance.com, (19/01/2020), Jiwasraya disebut telah memanipulasi laporan keuangan pada tahun 2006. Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan Rp 6,3 triliun pada 2009.

Bukan hanya BPK yang menilai ada kejanggalan di Jiwasraya, Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyatakan ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 3,29 triliun. Agung Selaku ketua BPK mencatat, Jiwasraya membukukan kerugian Rp 13,7 triliun pasca September 2019. Pada posisi November 2019 Jiwasraya diperkirakan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 27,7 triliun. Kerugian itu karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan Cost Of Fund (COF) yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara massif sejak 2015.

Kedua, belum selesai tuntas kasus yang menjerat PT Asuransi Jiwasraya, kasus yang sama membelit PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). Kasus ini mencuat setelah diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan  Mohammad Mahfud MD. Menurut Mahfud, ada isu korupsi dengan jumlah lebih dari 10 triliun di perusahaan asuransi khusus anggota TNI-Polri. (Kompas.co, 17/01/2020)

Ketiga, kasus korupsi juga menimpa PT Pelindo II. Kasus korupsi ini mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 15 triliun.

Selain itu, kasus korupsi pun menyeret Mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelia. Ia terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas dugaan penerimaan hadiah atau janji pada penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. Kasus ini juga melibatkan Hasto Kristianto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan karena adanya OTT Wahyu Setiawan dan Syaiful Bachri. Dan masih ada beberapa kasus korupsi lainnya seperti kasus proyek fiktif di Kemen PUPR, kasus di Garuda dan lainnya.

Tampaknya korupsi semakin berkembangbiak dari tahun ke tahun. Meskipun para tersangka telah diadili, tetapi masih saja muncul kasus yang serupa. Sehingga belum ada hukum yang mampu membasminya secara merata. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pasca reformasi pun tidak mampu memberantas korupsi. 

Padahal hadirnya KPK salah satunya adalah untuk membasmi tikus-tikus berdasi. Namun anehnya, KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang mempunyai otoritas penuh dalam menangani kasus korupsi, justru diminta membuat surat izin penyelidikan terlebih dahulu sebagai syarat penggeledahan ruangan koruptor. Hal ini menandakan bahwa KPK telah lumpuh dari segi otoritasnya.

Hadirnya KPK dengan kinerja yang hanya berorientasi pada penindakan dan sanksi tidak mampu memberantas korupsi. Bahkan bisa dikatakan KPK hadir hanya sebagai bentuk formal bahwa Indonesia  mempunyai lembaga pemberantasan korupsi.

Maraknya korupsi di lingkaran kekuasaan bukan hanya terletak pada ketidakmampuan KPK memberantas kasus korupsi. Karena permasalahan lembaga hanyalah permasalahan teknik. Sedangkan permasalahan pokoknya adalah diterapkannya sistem demokrasi yang mematok biaya tinggi dalam pencalonan. Sehingga demokrasi sangat memungkinkan dalam menyuburkan budaya korupsi. 

Demokrasi dengan biaya pencalonan yang mahal tentu saja memungkinkan terjadinya korupsi untuk tercapainya kepentingan. Begitu juga dengan korupsi, hanya akan berdampingan dengan sistem demokrasi, bak air laut dan garam yang mustahil dipisahkan. Korupsi merupakan penyakit bawaan dari demokrasi, tidak ada dikotomi, justru telah terjadi simbiosis mutualisme di antara keduanya. Demokrasi butuh korupsi, korupsi pun butuh demokrasi.

Melihat demokrasi dan korupsi yang saling berkolaborasi  dengan memainkan irama-irama memilukan, perihal ini menjadi bukti nyata bahwa korupsi akan  terus berkembangbiak dengan menelurkan regenerasi koruptor, karena demokrasi biangnya.

Selain menelurkan regenerasi koruptor, demokrasi yang  berakidah sekuler telah menghipnotis otak mesum sebagian pejabat. Jangankan untuk takut pada rakyat, Allah pun tidak ditakutinya. Ini akibat dari paham sekulerisme telah mengakar pada akal pikirannya.

Apabila demokrasi terus dipertahankan apalagi dipertuhankan, maka para pejabat berotak tikus akan masif bertambah anggotanya. Mungkin tidak akan terhitung lagi jumlahnya dan nominal uang rakyat yang dikorupsi akan lebih fantastis dari sebelumnya. Bagaikan bola salju yang terus bergulir semakin membesar.

Sementara itu, korupsi yang semakin menggurita bukan hanya berimbas pada kerugian negara, tetapi juga berimbas pada nasib rakyat Indonesia secara keseluruhan. Rakyatlah yang harus menanggung resiko dan derita akibat rakusnya para pejabat yang tak punya malu.

Lantas, kapan korupsi mandul di Indonesia? Sejatinya korupsi mustahil akan berhenti melahirkan regenerasi baru jika hanya dipasang KB dan spiral pada hukum demokrasi. Bukankah KB dan spiral hukum demokrasi akan sangat memungkinkan untuk bisa dicabut kembali? Jika bertanya langkah apa yang tepat untuk memandulkan korupsi, maka jawabannya adalah tinggalkan demokrasi lalu SIBK (Sistem Islam Bersemi Kembali) yaitu dalam bingkai Negara Khilafah.

Islam adalah agama yang paripurna, tidak ada satu pun yang terlepas dari aturan Islam baik itu sederhana maupun kompleks. Melirik pada kebijakan Islam dalam menangani korupsi, sangat terlihat  betapa syariat Islam demikian bersahaja nan anggun diterapkan. Sistem Islam mampu memberantas korupsi dengan lahirnya individu takwa, sebab keimanan dan ketakwaan kepada Sang Khalik sebagai kontrol internal para pejabat, politisi penyelenggara hingga rakyat jelata. Selain itu sistem khilafah akan mengontrol masyarakat, kelompok, partai politik, organisasi massa ataupun terhadap siapapun yang melakukan penyimpangan. Dan penegakkan hukum-hukumnya dengan institusi yang bernama khilafah.

Waallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak