Kemana Mencari Keadilan?



Oleh: Nadira Nur
(Pegiat Dakwah Muslimah)

ZA, seorang pelajar di Kabupaten Malang yang bernasib (juga) malang karena harus berhadapan dengan pidana.  Kasusnya terjadi ketika dia dan V (perempuan) menghadapi para begal yang mau merampas motor dan HP-nya, dan ternyata juga “tertarik” dengan teman perempuan ZA. Pemuda yang masih berseragam abu-abu alias masih duduk di sekolah menengah atas ini “terpaksa” membunuh sang begal dan ujungnya dikenai 4 pasal sekaligus. Salah satunya pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman kurungan seumur hidup. (timesindonesia.co.id). Wah, cukup berat ini.  Padahal banyak pihak berpendapat dia cuma membela diri.  

Ketika akhirnya tak sampai mendapatkan sanksi penjara, hanya  pembinaan selama satu tahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)  yang juga Ponpes  Darul Aitam Kecamatan Wajak, pihak keluarga pun menerima keputusan tersebut dengan legowo. Karena berharap sang anak mendapatkan hal positif seperti memperdalam ilmu agama  dan memulihkan mentalnya. (okezone.com).  Beberapa pihak menduga, karena kasus ZA viral, maka dia tak jadi mendapat sanksi berat. Ya bisa jadi.

Seperti yang menimpa ZA, kasus korban menjadi tersangka juga terjadi di Baubau.  Walaupun tak sampai membunuh begal yang mencoba merampas harta miliknya. A dan R, pelajar SMA kelas 1 Baubau juga dijadikan tersangka atas penganiayaan pada pelaku kriminal. Bahkan kedua pelajar ini sudah dititpkan di Lapas sejak tanggal 18 Januari 2020 sehingga tak bisa mengikuti proses belajar di sekolah. (bumisultra.com). Miris !


Masyarakat Makin Tak Percaya Hukum?

Peristiwa yang menimpa korban begal yang akhirnya jadi tersangka, bukan perkara yang langka. Kasus begini terus berulang. Maka tak salah kalau masyarakat mempertanyakan di mana letak keadilan?  Apa yang terjadi di Baubau menggerakkan massa untuk demo.  Ratusan massa atas nama Aliansi Saliwu Bersatu Masyarakat Lipu Katobengke melakukan aksi dengan mendatangi  Polres Baubau untuk menuntut keadilan.  Bahkan anggota DPR kota Baubau, La Madi ikut geram soal penetapan kedua pelajar yang jadi tersangka penganiayaan.

Apalagi bagi pihak keluarga dan orang terdekat para korban begal -yang bernasib sial – karena  justru jadi tersangka ini.  Mereka semua menyayangkan tak dipertimbangkannya soal trigger terjadinya penganiayaan atau bahkan pembunuhan para pelaku kriminal.  Mengapa justru seolah aparat berada di pihak para penjahat.  Sedangkan korban justru tersudut dan terancam masa depannya karena harus mendapat sanksi. Baik sanksi sosial atau pun sampai di bui. 

Pemberitan media turut membuat kasus-kasus model ini menjadi perhatian publik. Seorang netizen mengomentari kasus ZA dengan mengatakan “ Polisi....a****g. Kalau polisi tembak  begal sampai mati. Polisi gak dipenjara. Tp kalo orang biasa bunuh begal, knapa kok ditangkap.  Apakah ini namanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ........” (detik.com).  Postingan  di grup Facebook komunitas itu dengan tagar #bebaskan_ZA sontak viral dan terciduk dan terdeteksi Tim Cyber Crime Polres suatu kota kabupaten.. Ujungnya, si pemilik akun dipanggil ke Mapolres.

Inilah fakta yang terjadi di negri +62 yang tidak bisa disembunyikan lagi. Semakin nampak kebobrokan hukum sekuler. Dimana ia tidak mampu memberi rasa keadilan dan memberi solusi yang tuntas atas tindak kriminal. Alih-alih mendapat keadilan, kita lebih sering dipertontonkan suasana ketimpangan.  Mungkin sekedar mengingatkan bagaimana perbedaan sikap kepada ustadz Abu Bakar Baasyir yang sudah sepuh dengan  tersangka koruptor Annas Maamun yang mendapat grasi dengan alasan sepuh. Bahkan ICW menyatakan tidak kaget dengan sikap kepala negara tersebut, yang menurut mereka tak punya komitmen untuk memberantas korupsi! (kompas.com/november 2019).

Sempat tersiar istilah makelar kasus di masa lalu, sekarang dipopulerkan juga istilah industri hukum. Makelar kasus (markus) diartikan sebagai upaya intervensi untuk menghasilkan tindakan, keputusan  dan atau perlakuan pejabat penegak hukum  yang menyimpang dari ketentuan hukum. (antikorupsi.org/2010). Sedangkan industri hukum, seperti yang pernah dilontarkan Prof. Mahfud MD (kompas.com/2019), maknanya adalah penegakan hukum yang tidak berdasarkan rasa keadilan.  Yang disindir beliau tidak lain yakni kepolisian, kejaksaan dan hakim, di mana masih ada praktek memutar balik kenyataan. Orang yang bersalah dianggap sebaliknya, dan yang benar malah dituduh bersalah.  Menurut Prof. Suteki, bila sudah demikian, maka ketika berhadapan dengan kasus, seolah itu adalah hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Mungkin quote “ membela yang benar” akan diplesetkan menjadi “membela yang bayar”.(muslimahnews.com/2020)

Memang sulit ketika berhadapan dengan hukum juga pengadilan.  Sedangkan tersangka (yang justru awalnya adalah korban begal) bisa jadi “buta” hukum dan kasus model begini memang tak termasuk kasus “basah”.  Beda dengan kasus korupsi atau narkoba para selebriti, yang tak bisa dipungkiri, para tersangkanya -kemungkinan besar- berdompet tebal.  Sehingga prinsip “equality “ di hadapan hukum dan presumption of innocence (praduga tak bersalah) begitu mudah didapatkan. Inilah yang–diduga- menjadi penyebab pembedaan perlakuan oleh penegak hukum.

Memang kuncinya Negara hukum, harus punya sistem hukum yang kokoh yang mampu menutup segala kemungkinan ketidak adilan. Maka peran para aparat yang bertakwa, yang tidak berani melenceng dari hukum sangat dibutuhkan. Jadi perlu sistem hukum pidana yang mampu memecahkan dan menekan kasus kriminalitas dan person para aparat yang sholih.  Dan –maaf- itu terlalu sulit terwujud dalam sebuah negara sekuler, yang telah meminggirkan agama dari kancah kehidupan. Sehingga berharap keadilan, itu mungkin bagaikan pungguk merindukan bulan.


Islam, Sistem Terbaik untuk Umat Manusia

Sungguh Islam telah menyediakan solusi atas permasalahan manusia dalam setiap aspek kehidupan. Sebagai sebuah sistem kehidupan maka sistem Islam pun mampu mencegah tindakan kejahatan (kriminalitas) dengan menutup pemicunya (preventif) dan memberi efek jera (kuratif), dengan pemberlakuan nidzomul Uqubat (sistem pidana dalam Islam), yang meliputi hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat.  Misalnya, Hudud adalah hukuman bagi prilaku kriminal seperti zina, mencuri, dan berbagai tindak pidana yang terkatagori melanggar hak Allah, yang hukumnya sudah ditetapkan dalam nash.  Untuk zina maka sanksi bagi yang belum menikah di-jilid (dicambuk), sedang bagi yang sudah pernah menikah dirajam sampai mati. Ini sudah menjadi ketetapan yang tak bisa ditawar. 

Kejam? Bisa jadi.  Tapi bayangkan jika hukum ini ditegakkan tentu perzinaan, atau pencabulan tak semarak sekarang. Apalagi kasus perzinaan bisa berakhir tragis dengan pembunuhan atau aborsi. Maka fungsi hukum harus mampu mencegah  prilaku kriminal, dengan hukum yang menjerakan.  Orang akan berpikir ribuan kali untuk bertindak jahat.  Sila bandingkan dengan kasus zina sekarang yang tak kena delik kriminal jika suka sama suka, kecuali bagi yang sudah menikah dan dilapor pasangan sahnya.

Islam pun juga memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan, apalagi jika dia seorang hakim pemutus sanksi bagi tertuduh.  Firman Allah Swt:  

Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (TQS. An-Nisa: 58).

 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benarpenegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebihtahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan.(TQS. An Nisaa : 135)

Dalam sebuah riwayat digambarkan suatu hari orang-orang Quraisy merasa bingung kasus seorang wanita dari suku Makhzumah yang mencuri. Lalu ada upaya melobi agar hukuman diringankan bagi tersangka. Lalu apa kata Rasulullah Saw?  Beliau berdiri dan berkhutbah “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa, disebabkan bila ada orang yang mulia mencuri mereka biarkan.  Tetapi bila yang mencuri orang yang lemah, maka mereka tegakkan hukuman baginya.  Demi Allah Swt. Kalau seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan dalam sebuah riwayat, Rasul  Saw bersabda:  “Seorang hakim dilarang memutuskan antara dua orang ketika sedang marah.(HR. Bukhari).  

Yang menegaskan pentingnya seorang aparat, apalagi hakim untuk memutuskan perkara dalam keadaan berpikir jernih dan bijak.  Tak terbawa emosi atau memihak, dan tanpa memberi kesempatan bagi kedua pihak yang bersengketa untuk menyampaikan masalahnya.

Sungguh keadilan yang dirindu, semua tak akan terwujud tanpa penerapan Syariat Islam secara kaafah, dalam naungan institusi Khilafah. Masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang saling menjaga kesucian, menghormati dan menghargai sesama manusia, hakim dan penguasanya adil.  Dan kalau ada tindak kriminal seperti begal, perkosaan atau pembunuhan maka sanksi tegas akan menjerakan pelaku, sehingga kriminalitas tak sempat marak di masyarakat. Di sisi lain bagi pelaku, dosa kejahatan yang dilakukan akan diampuni karena mendapat sanksi di dunia.  Sungguh tak ada yang merasa terzalimi dengan syariah, apalagi jika menyadari sanksi akhirat jauh lebih menyakitkan. Sehingga tak ada keraguan bahwa  penerapan Syariat Islam  akan membawa rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam, bukan hanya keadilan bagi korban, juga bagi pelaku kejahatan. Keadilan yang bukan cuma di angan, namun ada dalam kenyataan. Inshaa Allah. []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak