Oleh : Fatimah Arjuna ( Aktivis Dakwah Kampus)
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata “intelektual” diartikan sebagai “cerdas; berakal; dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan”, dan “(yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendikiawan”. Kata ini berasal dari “intelek” yang berarti “Psi daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berfikir”, dan “(kaum) terpelajar; cendikia”.
Intelektual muslim adalah orang Islam terpelajar, memiliki kecerdasan, dan dengan kecerdasannya itu mereka gunakan untuk tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat, terutama kaum muslimin. Intelektual Muslim yang kita temukan penuh dengan fun, foshion, food. Apakah Intelektual muslim yang seperti ini yang akan membuat perubahan.
Menurut Yusuf Al-Qardawi dalam Kitab Aina Al-Khalal, hampir seratus persen kerusakan umat diakibatkan oleh lemahnya memanfaatkan potensi/kemampuan yang ada pada dirinya sendiri. Kemampuan intelektual umat yang tidak dimaksimumkan potensinya juga menjadi salah satu dari titik kelemahan (al-khalal) umat ini. Padahal berulang kali sejumlah ayat Alquran menyindir kaum muslimin untuk menggunakan potensi akal, seperti afala ta’qilun, afala tatafakkarun, ya Ulil Albab dan sejenisnya.
Sejarah para intelektual muslim yang pernah mengharumkan Islam merupakan teladan yang sangat berharga bagi generasi intelektual muslim sesudahnya. Lihatlah betapa seorang yang ahli fiqih pada saat yang sama dia ahli kedokteran, astronomi, filsafat dan beberapa keahlian lainnya. Kemampuan ini rata-rata dimiliki oleh intelektual muslim pada masa silam. Islam gemilang 13 abad tidak jauh dari pejuang para intelektual muslim.
Tetapi sebaliknya apa yang terjadi sekarang adalah keadaan yang sangat memprihatinkan sekaligus menyedihkan. Para intelektual muslim, bagaikan “Burung Beo” yang hanya senang meniru. Untuk tujuan pencerahan, sejatinya para intelektual muslim, baik yang ada di dalam maupun di luar kampus, hendaknya berkontribusi pikiran dengan tulisan mereka (dakwah al-qalam) dalam bentuk buku maupun artikel yang bisa dimuat di media-media cetak (koran).
Kelemahan intelektual muslim yang perlu diperhatikan adalah lemahnya self correction. Dengan menyitir kata-kata Umar Bin Khattab, sebagai dalil bagaimana self correction ini harus dilakukan setiap muslim: “Hitunglah diri kalian, sebelum kalian dihitung, dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum kalian ditimbang.” Maka hendaklah kalangan intelektual selalu mengadakan self correction pada dirinya, mengevaluasi dan meluruskannya jika ada yang melenceng, serta bersedia dikritik meskipun pahit. “Semoga Allah merahmati orang yang berani menunjuki aku akan cacat diriku,” tegas Umar bin Khattab lagi.
Penyakit lain yang melekat pada intelektual muslim adalah kurangnya studi dan perencanaan yang benar. Terkesan apa yang dikerjakan berdasarkan feeling dan perasaan yang sangat subjektif. Lemahnya intelektual muslim dalam membuat studi dan perencanaannya, membuat aktivitas dakwah terkesan sembrono tanpa adanya perhitungan.
Berlebih-lebihan, dalam artian terlalu bangga dengan kejayaan yang telah dicapai, juga merupakan penyakit yang mengental pada sebagian intelektual muslim. Padahal sikap berlebih-lebihan dalam setiap sikap kehidupan manusia hal yang paling tidak disukai Allah. Karena umat Islam seharusnya menjadi ummatun washatan, yang memandang sesuatu dengan jernih dan tanpa pretensi.
Menggugah Intelektual Muslim
Kelemahan-kelemahan intelektual Islam di atas tidak harus membuat para intelektual muslim terjebak dalam pesimisme. Namun itu semua memberi informasi yang berharga bagi kaum intelektual muslim itu sendiri untuk lebih merapatkan saf, bahu-membahu dalam taqwa, untuk menyongsong masa depan yang lebih gemilang. Karena bagaimanapun kontribusi yang telah diberikan oleh intelektual muslim untuk umat manusia tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja.
Meskipun intelektual muslim bekerja di bawah naungan situasi dan keadaan yang sulit, namun tidak seorang pun yang bisa menyangkal derma bakti yang telah diberikan oleh para intelektual kepada umat Islam di seluruh negara Islam lainnya baik pada lapangan pikiran, perasaan, tingkah laku maupun pendidikan terutama setelah kaum penjajah berhasil menghancurkan sistem khilafah yang mempersatukan keutuhannya, dan berhasil mewariskan pikiran barat kepada para intelektualnya.
Sebagai intelektual muslim perlu juga mengetahui dan mempelajari apa yang sedang dikejar oleh masyarakat modern sekarang, seperti dalam dunia komputer dan senjata nuklir, luar angkasa dan tekhnologi canggih lainnya. Sekarang ini terjadi hal sebaliknya, mereka (kelompok di luar Islam) larut dalam dunia yang setiap hari menambah hal-hal yang baru seolah-olah suatu lompatan dalam ilmu dan teknologi. Sementara para intelektual muslim masih bertikai antara sesamanya dan hidup dalam alam mimpi dan senda gurau, sedang umat lain bekerja keras.
Ingat, tidak seorang pun pengamat yang adil yang dapat mengatakan bahwa peran intelektual muslim dalam dakwah telah membeku dan mengalami ketuaan.
Kaum intelektual mempunyai peranan penting dalam proses transformasi sosial. Kaum intelektual adalah kelompok yang menempatkan nalar sebagai kemampuan utamanya. Dalam bahasa al-Quran mereka disebut Ulul Albab. Merekalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Di dalamnya diimbangi dengan zikir kepada Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur (AlLâhu al-Khâliq al-Mudabbir). Yang paling penting, ada pada diri mereka kesediaan untuk mengamalkan ilmu nereka untuk kebaikan umat.
Intelektual muslim sejati adalah mereka yang berani melakukan penolakan keras atas setiap kecenderungan destruktif dalam masyarakat. Tidak sekadar berdiam diri di atas menara gading atau memosisikan diri sebagai resi. Tugas intelektual Muslim tidak semata menganyam kata, menelurkan gagasan, tetapi juga harus berupaya mengubah realitas yang bersifat mungkar, serta mengubah kata-kata dan gagasan menjadi kenyataan.Wallahu 'Alam bi showab.
Bukittinggi 24 Januari 2020
#Penapejuang
#Denganpenamembela