Oleh Surfida, S.Pd.I (Muslimah Peduli Umat)
No Free Lunch, tidak ada makan siang gratis. Ya semua makanan yang dipesan berbayar. Begitu juga dukungan suara yang diberikan salah satu Ormas kepada Capres terpilih. Ormas tersebut pada saat kampanye, selalu mengkampanyekan capres terpilih. Namun, si ormas harus gigit jari, pasalnya saat Presiden terpilih bagi-bagi kue empuk kekuasaan, anggota ormasnya tidak kebagian jatah. Karena tidak kebagian jatah itulah, ketua ormas tersebut mengungkit suara yang mereka sumbangkan dulu. Mereka sudah capek-capek tetapi tidak dapat apa-apa.
Melalui Video berdurasi 32 menit 2 detik yang diunggah di channel Youtube, NU Channel, sehari setelah wisuda mahasiswa Unusia. Di bagian akhir video, Said Aqil mengatakan, "Ketika Pilpres suara kita dimanfaatkan. Tapi ketika selesai, kita ditinggal.( https://politik.rmol.id). Karena kicauan KH. Said Aqil Siradj tersebut, sontak membuat warga NU kaget, ternyata Ketua PBNU sudah menjadikan NU sebagai "kendaraan dinas" pemerintah. Ungkap Rizal Ramli, orang terdekat Gusdur.
Selain mengungkit presiden terpilih, Ketua PBNU juga menagih janji Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang akan memberikan kredit murah sebesar Rp 1,5 Triliun. Janji ini kata Said tertuang dalam nota kesepahaman antara PBNU dan Kementerian Keuangan. "Pernah kami MoU dengan Menteri Sri Mulyani, katanya akan menggelontorkan kredit murah Rp. 1,5 Triliun. Ila hadza yaum, sampai satu persatu belum terlaksana. Ini biar tahu anda semua, seperti apa pemerintah ini." Ucap Said. (https://www.suara.com).
Seandainya Presiden terpilih saat membagi kekuasaan, anggota atau ketua PBNU mendapat bagian, pasti KH. Said Aqil Siradj tidak akan membuka suara terkait ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat. Beliau juga tidak akan menagih janji ke Kemenkeu. Mungkin mereka lupa atau ada yang merayu agar PBNU tak berikan jabatan sehingga ketuanya dengan lantang bersuara.
Demokrasi Ingkar Janji
Demokrasi adalah anak dari sistem Kapitalisme yang mengagungkan kebebasan. Demokrasi mempunyai ritual yang dilaksanakan lima tahun sekali. Ritual ini dilaksanakan untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota, DPD, DPR, DPRD. Siapa saja boleh mengikuti ajang tersebut, asalkan mempunyai uang untuk mendaftar di partai yang dinginkan dan memiliki pendukung. Bahkan mantan napi pun boleh mengikuti perhelatan ini. Bagi orang yang ingin menduduki sebuah jabatan, ia akan berusaha untuk memenangkan perhelatan tersebut.
Untuk memenangkan Perhelatan ini, yang diutamakan bukan hanya kecerdasan seseorang atau kemampuan dan keadilan ia saat memimpin nanti. Tetapi kekuatan uang dan janji manis untuk menggaet para pemilih juga patut diperhitungkan, misalnya menggaet ormas. Dan ini sudah menjadi rahasia umum bahwa ormas selalu menjadi rebutan partai atau kontestan pemilu, untuk meraup suara memenangkan sang kontestan. Di tengah arus politik sekuler yang transaksional, sang kontestan memberi sejumlah janji dan menawarkan ‘imbalan’ atas dukungan tersebut, sehingga membuat ormas atau tokoh tergiur dengan janji manis.
Setelah sang kontestan terpilih, para pendukung pun dilupakan. Kontestan terpilih hanya menggaet yang memberikan dana besar, sedangkan yang hanya menyumbang suara akan ditinggalkan. Seandainya di kasi hanya sekedarnya saja agar tidak protes.
Seperti pengakuan ketua ormas PBNU ini. Mereka dijanji dengan jabatan, bahkan uang senilai Rp1,5 Triliun tetapi lagi-lagi jabatan itu hanyalah mimpi belaka. Bahkan mereka pun rela berseberangan dengan sesama umat Islam hanya karena beda pilihan. Jika sudah seperti itu, semakin menegaskan bahwa rezim sekuler demokrasi berkarakter ingkar janji dan hanya memanfaatkan rakyat dan ormas sebagai mesin pengeruk suara dan pendorong mobil mogoknya. Karena semua kemenangan distandarisasi suara terbanyak, bukan kebenaran. Sebagaimana yang terjadi pada pemilu baru-baru ini. Dalam sistem Demokrasi juga, kemenangan itu bergantung pada siapa yang menghitung suara rakyat. Bisa saja yang masuk dalam panitia penghitung suara akan memenangkan suara yang memesan dengan uang tunai.
Maka dari itu, jangan terlalu percaya janji manis dari para calon dalam sistem saat ini, mereka hanya mengutamakan dirinya saja bukan rakyatnya. Apalagi posisinya sebgai ormas, ketika ormas tersebut mendapatkan suntikan dana, maka mereka akan diam terhadap kemungkaran. Saat ada kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat mereka akan diam, bahkan berusaha agar kebijakan tersebut seakan-akan tidak bertentangan dengan Islam.
Ormas Dalam Sistem Islam
Dalam Islam, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para calon pemimpin, jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka secara otomatis ia tidak bisa mencalonkan diri atau tidak boleh dipilih lagi meskipun mempunyai uang yang banyak. Adapun syarat - syarat yaitu laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, memiliki kemampuan dan beragama Islam. Jika tidak mampu memenuhi syarat tersebut, maka ia gugur untuk menjadi pemimpin. Sedangkan yang memenuhi kriteria, ia akan menjadi pemimpin. Jika calon lebih dari satu, maka para calon tidak diperbolehkan mengumbar janji atau menyogok agar umat memilih dirinya, karena dalam sistem Islam seorang Khalifah saat memimpin semata-mata menjalankan perintah Allah SWT bukan untuk memperkaya diri, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Sedangakan partai atau ormas yang ada dalam sistem Islam, kehadirannya bukan untuk pendongkrak suara sang calon. Ia hadir untuk mengorekasi pemimpin (Khalifah) ketika pemimpin keliru dalam menetapkan kebijakan.
Oleh karena itu, ormas yang saat ini menjadi pendongkrak suara pemerintah harus menyadari kekeliruan yang sudah terjadi. Dan hendaknya menjadikan I’tibar (pelajaran) bahwa ormas tidak boleh beralih dari tanggung jawab amar makruf nahi mungkar (QS Ali Imran 104): "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." Dan muhasabah lil hukkam sesuai misi kehadirannya di tengah masyarakat. Semua dilakukan tanpa imbalan dari penguasa, tidak berkompromi dengan kezalimannya dan selalu teguh berpegang pada prinsip syariat dengan hanya mengharap ridha Allah SWT. Amal ini lah yang saat ini menjadi kebutuhan hakiki umat, bukan dana dan suntikan modal yang justru membuat umat tidak menyadari pertentangan rezim dengan sistem kepemimpinan Islam.
Saat ada yang mengingatkan bahwa amal yang mereka lakukan salah, maka orang yang menegur tersebut di cap sebagai radikal atau anti Pancasila. Dan jika ada ormas yang mengorekasi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, ormas tersebut langsung di cap radikal bahkan cepat- cepat membuat UU dan membubarkannya. Oleh karena itu marilah kita perjuangkan agar negara menjadi negara yang menerapkan aturan Islam, sehingga bebas dari pemimpin yang mengumbar janji manis dan sogok menyogok. Ketika negara ini menrapkan Isam secara menyeluruh, maka akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera.
“WALLAHU’ALAMBISHOWAB”
Tags
Opini