Oleh: Nurati (Aktivis Dakwah)
Tahun 2019 telah berakhir, sebagian besar penduduk rakyat Indonesiapun menyambut dengan meriah. Suka cita dengan dentuman kembang api dan disertai hidangan lezat menjadi pelengkap dalam menanti datangnya tahun 2020. Namun sangat disayangkan ada yang terlupakan bahkan mereka tidak manyadari atas apa yang menyelimuti kehidupan di tahun 2019, nestapa lara belum jua beranjak meski 2019 telah berlalu dalam hitungan jam. Pemilu serentak telah usai, uforianya pun telah lama berlalu. Pemimpin baru negeri telah sah dilantik pada Oktober lalu, jajaran menteri dan stafsus pun telah di amanahi tugas besar untuk menggagas kemajuan di era baru kepemimpinan kali ini. Meninggalkan nestapa lara yang membekas di hati umat. Kegagalan rezim membawa kesejahteraan masih membawa umat jauh dari hidup sejahtera. Sederet kebijakan yang diputuskan bak kado pahit yang ditujukan kepada rakyat, yang pada akhirnya hanya dapat membuat rakyat terus menjerit.
Peraturan terkait Tol misalnya, berdasarkan Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh inflasi kota tempat tol berada. Hal itu berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1219/KPTS/M/2019 tanggal 27 Desember 2019 tentang Penyesuaian Tarif Tol Pada Jalan Tol Cikopo-Palimanan. Penyesuaian itu mulai berlaku pada 3 Januari 2020, pukul 00.00 WIB.
Selain itu, berdasarkan rilis LMS yang diterima CNBC Indonesia, untuk golongan I naik menjadi Rp 107.500 dari Rp 102.000. Sedangkan golongan II naik menjadi Rp 177.000 dari Rp 153.000. Selanjutnya tarif sejumlah ruas tol juga akan mengalami kenaikan, misalnya Tol Dalam Kota Jakarta, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa, dan Surabaya-Gempol.(CNBC 29 Desember 2019)
Tak cukup sampai disitu, Iuran BPJS Kesehatanpun dinaikkan pada awal tahun 2020 dengan beragam iuran. Penerima Bantuan Iuran (PBI), naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa. Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI, semula besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga, di mana 3% ditanggung oleh pemerintah dan 2% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan, diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas sebesar Rp 12 juta, di mana 4% ditanggung oleh pemerintah dan 1% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan. Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU), semula 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 8 juta, di mana 4% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% ditanggung oleh pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 12 juta, di mana 4% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% ditanggung oleh pekerja. Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/Peserta Mandiri yang terdiri dari kelas 3: naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa, kelas 2: naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa, kelas 1: naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per jiwa(CNBC 29 Desember 2019)
Bahkan Tarif parkir di Jakarta dan Tiket Damri pun ikut melambung. Dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017, tarif parkir diatur untuk mobil minimal Rp 3 ribu/jam dan maksimal Rp 12 ribu/jam, sedangkan untuk motor minimal Rp 2 ribu/jam dan maksimal Rp 6 ribu/jam. Kenaikan tarif DAMRI berkisar Rp 10.000-15.000 untuk setiap rute. Adapun rute termahal adalah rute Sukabumi-Bandara Soetta yang dipatok Rp 115.000, atau naik dibanding sebelumnya Rp 100.000. ( CNBC 29 Desember 2019) .
Inilah bukti cinta pengusa kepada rakyat yang sangat di cintainya. Namun sayang cintanya bukanlah cinta murni melainkan cinta palsu berbalut nafsu. Lantas, masihkah kita harus terus berharap kesejahtraan disistem sekuler ini?. Sungguh itu semua ibarat panggang jauh dari api. Kemaslahatan dalam sistem sekuler kapitalisme hanya akan menjadi mimpi di siang bolong bagi umat, sebab mereka tak akan mampu merealisasikan sejuta mimpi dari 264 juta penduduk Indonesia yang mendamba kehidupan dengan perlindungan dan pengaturan urusan publik oleh Negara.
Pemimpin dalam kaitannya dengan umat adalah “Raa’in” pengurus urusan rakyat, termasuk pengurusan hajat hidup publik, dari perencanaan hingga pelaksanaan teknis. Kemudian pemimpin sebagai “junnah” pelindung sekaligus sebagai pembebas manusia dari berbagai bentuk dan agenda penjajahan. Terdapat sejumlah ketentuan syariat yang berkaitan dengan kedua fungsi tersebut, yang terpenting diantaranya adalah bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan pemenuhan hajat hidup publik dari perencanaan hingga pelaksanaan teknis. Ini semua dapat terealisasi dan pernah teralisasi selama hampir 13 abad menaungi dunia dengan luas kekuasaan hampir 2/3 dunia, diemban oleh sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Yakni sistem yang didesain Allah SWT, untuk mampu menjalankan syariat islam secara keseluruhan dan begitu sempurna. Serta tidak ada satu pun aturan, konsep dan gagasan dibawah naungan Khilafah kecuali terpancar dari akidah Islam, bersumber dari wahyu, yang berasal dari Allah Swt .
Wallahu a'lam