Oleh : Amma Nurhidayah
Akhir tahun 2019, publik dihebohkan dengan kasus besar yang menimpa salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri asuransi. PT Asuransi Jiwasraya (persero) mengalami gagal bayar sebesar 13 T dan meminta talangan negara 30 T lebih untuk menyehatkan diri. Skandal ini bisa dianggap kasus kerugian negara terbesar kedua setelah kasus BLBI di rezim sebelumnya.
Disinyalir oleh detikfinance.com, kasus ini dikarenakan masalah defisit keuangan perseroan yang merupakan kesalahan direksi lama yang dinilai sudah merupakan perampokan terstruktur. (https://finance.detik.com/). Bahkan terdapat tuduhan kasus jiwasraya terlibat dalam pembiayaan kampanye paslon 01 di pilpres 2019 silam. “keuangan jiwasraya harus diaudit termasuk melibatkan PPATK,” ungkap Muslim dalam LawJustice.co.id. Namun tuduhan ini disangkal oleh Dirut Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko, saat dihubungi IpotNews, Jumat (20/12/2019).
Sedangkan pengakuan Dirut Jiwasraya menambahkan latarbelakang lain yakni BUMNnya memang sudah lama tidak sehat. Dipilih cara sangat berisiko (unprudent) untuk mengatasinya. Yakni dengan menjual ‘JS Saving Plan’ asuransi- investasi (bancassurance) berbunga sangat tinggi ke masyarakat dan Jiwasraya menanam modalnya dibursa saham, bahkan dengan membeli saham gorengan (saham perusahaan yg ‘digoreng’ seolah sangat menguntungkan). Berujung terjadi skema Ponzi yakni premi yg dibayar pelanggan asuransi dipakai membayar keuntungan/bunga tinggi para nasabah bancassurance. Pada gilirannya, gagal bayar polis asuransi.
Kasus ini diperburuk oleh BUMN seringkali menjadi tumpuan sponsorship utk beragam proyek individu di lingkaran kekuasaan. Perusahaan asuransi Jiwasraya sempat menjadi sponsor klub sepak bola Inggris, Manchester City selama 4 tahun dari 2014 hingga 2018.
Jika dikumpulkan, kasus jiwasraya ini memang sangat padat permasalahannya. Ditambah gurita kapitalisme yang sangat mencengkram, mulai dari skema pengelolaan BUMN model korporasi, keterlibatan lingkar kekuasaan untuk memanfaatkan BUMN bagi kepentingan kursi dan partai hingga cara-cara mencari untung yang sarat riba dan maisir/ gambling berujung krisis/kebangkrutan.
Akibatnya, Negara mencari jalan keluar berupa memberikan dana talangan. Tentu saja ini merupakan perampokan besar-besaran terhadap Negara secara legal, diaman uang Negara merupakan uang Rakyat. Ditambah yang menikmati hasil hanyalah segelintir kaum kapitalis, pemilik bank, elit BUMN dan para penguasa yang duduk dikursi jabatan. Tentunya, lagi-lagi rakyat yang buntung, dengan beban kewajiban pajak yang tinggi, kenaikan berbagai macam jenis kebutuhan pokok,bahkan rakyat yang ikut serta dalam asuransi jiwasraya.
Harusnya Skandal ini menyadarkan masyarakat tentang buruknya penerapan system kapitalisme. Tidak ada sedikitpun kebaikan dan maslahat dari system ini bagi rakyat. Hanya mereka para elit politik yang haus akan kekuasaan yang berkolaborasi dengan para kapitalisme yang menginginkan system ini dipertahankan. Bagaimana kita sebagai umat islam? Apakah masih menginginkan hidup dalam system buruk dan terpuruk ini?