Oleh: Pri Afifah
Komunitas Generasi Peradaban Islam dan Member Akademi Menulis Kreatif
Ironi, di negeri yang penduduknya beragama Islam terbesar di dunia, selalu menjadi korban tuduhan intoleran bagi penduduknya yang menolak mengucapkan selamat Natal. Ucapan selamat natal dianggap sebagai suatu penghormatan bagi pemeluk agama lain. Tidak ada kaitannya dengan akidah umat Islam.
Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menyatakan bahwa dalam dimensi ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), mengucapkan selamat natal tidak mengganggu akidah umat Islam. (TEMPO.CO/22/12/2019).
Hal ini diperkuat dengan pendapat Menteri Agama Fakhrul Razi yang mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal tidak akan melunturkan akidah seorang muslim. Ia juga menjelaskan bahwa siapapun boleh berpendapat jika tidak boleh mengucapkan selamat Natal. Namun, pendapat itu tidak boleh dipaksakan kepada orang lain. (detiknews/20/12/2019).
Tidak hanya mengucapkan Natal, di Semarang para santri juga turut meramaikan misa Natal tahun ini. Tabuhan rebana ikut memeriahkan misa Natal, yang dilakukan oleh para santri dari Roudlotul Solihin di gereja Katolik Mater Dei. Dalam misa itu, tabuhan rebana mengiringi puluhan santri yang melantunkan lagu berjudul Nandur Rukun yang menceritakan kerukunan antar-umat beragama dan persatuan Indonesia. (Republika.co.id 25/12/2019).
Seharusnya dalam negeri Islam terbesar, masalah ini tidak perlu berulang. Pasalnya sudah jelas, bahwa ketika seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada seorang Nasrani, seakan-akan ia menyatakan sutuju bahwa ada tuhan selain Allah yaitu Yesus yang mereka sembah. Mengakui bahwa hari Natal adalah hari kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam. Serta meyakini bahwa Nabi Isa adalah Tuhan mereka. Berarti ada Tuhan selain Allah yaitu Nabi IIsa. Bukankah hal itu sama saja mengakui kekufuran mereka?
Islam mengajarkan toleransi kepada umat lain dengan cara membiarkan ia beribadah di tempat ibadahnya. Bukan ikut menjaga gereja atau meramaikan dengan tabuhan rebana. Bukan karena mengatasnamakan persaudaraan kebangsaan lalu umat Islam ikut larut dalam perayaan Natal. Bukan pula karena atas nama keberagaman kemudian umat Islam menjadi bagian perayaan tersebut.
Islam punya cara yang tegas dalam memandang keberagaman atau pluralitas. Nyatanya di Indonesia masyarakatnya adalah masyarakat yang plural. Sehingga, kita perlu memahami apakah pluralitas itu sama dengan pluralisme.
Pluralitas adalah paham atas keberagaman untuk dapat hidup secara toleran di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Baik kemajemukan budayanya, agamanya, bahasa, politik dan sebagainya.
Sedangkan pluralisme agama adalah suatu paham yang memandang bahwa semua agama sama, dan setiap kebenaran agama adalah relatif. Oleh karena itu, setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah. Menurut paham ini, suatu agama tidak boleh dijadikan aturan dengan mengurusi negara dalam masyarakat yang plural. Sebab ini adalah tindakan melanggar hak asasi manusia.
Islam memandang bahwa hanya Islam agama yang benar. Seorang muslim dilarang mencari kebenaran dalam agama lain.
“Siapa saja yang mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (TQS. Ali Imran {3}: 85).
Berdasarkan firman Allah Swt. tersebut, maka jelaslah agama yang benar adalah Islam, bukan agama yang lain. Namun, bagi penganut agama lain menganggap agamanya benar, itu adalah hak mereka dan itu sangat wajar. Namun, bagi penganut agama Islam harus tetap berpegang teguh dengan prinsip Islam.
Selama 13 abad, khilafah diterapkan dalam masyarakat yang plural. Bahkan ketika Rasulullah Saw. menegakkan negara Islam pertama di Madinah. Saat itu masyarakatnya juga plural. Namun, keanekaragaman agama dan keyakinan tidak menjadi masalah. Sebab, dalam Islam warga negara yang non-muslim disebut kafir dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah yang berarti kewajiban untuk memenuhi perjanjian.
Islam menganggap semua orang yang tinggal dalam negara khilafah sebagai warga negara Islam. Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan kafir dzimmi.
Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, harta benda mereka. Maka wajar pada saat itu masyarakat hidup rukun dan damai. Meski mereka diatur oleh agama tertentu yaitu syariat Islam dalam bingkai khilafah.
Sejarawan T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh warga non-muslim di bawah pemerintahan Khalifah Utsmaniyah:
“Perlakuan pada warga Kristen oleh Khilafah Ottoman selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk kepada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik, kaum Protestan Silesian pun sangat menghormati pemerintahan Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk kepada hukum Islam”.
Hanya dengan menerapkan syariah Islam yang kafah dalam bingkai Khilafah. Kehidupan antar umat beragama akan rukun dan harmoni. Bukan dengan toleransi yang diajarkan oleh barat.
Wallhu a'lam bishshawab