Indonesia Sarang Koruptor, Buah Politik Demokrasi-Sekularisme



Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Remaja)

“Tikus-tikus tak kenal kenyang. Rakus-rakus bukan kepalang. Otak tikus memang bukan otak udang. Kucing datang, tikus menghilang. Kucing-kucing yang kerjanya molor, tak ingat tikus kantor datang meneror. Cerdik, licik, tikus bertingkah tengik. Mungkin karena sang kucing pura-pura mendelik.” Terngiang penggalan lagu Iwan Fals yang seakan mewakili dinamika korupsi yang menggila dan sepak terjang para koruptor di negeri ini.

Belum selesai kasus PT Asuransi Jiwasraya, kini penegak hukum harus bersiap menangani kasus yang diperkirakan tak kalah besar. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, ada informasi korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). 

Sebelumnya, Mahfud mengungkapkan, dirinya mendapat kabar terkait masalah yang membelit ASABRI. “Yang itu mungkin tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya,” ujarnya.

Mahfud mengatakan, ASABRI bertalian langsung dengan prajurit TNI dan anggota Polri yang setiap hari bekerja di lapangan. Dia pun memastikan, bila ada indikasi pelanggran hukum dalam masalah yang memebelit ASABRI, pihaknya langsung menyerahkan kepada penegak hukum. KPK sebagai penegak hukum tindak pidana korupsi diharapkan menangani kasus itu. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan kasus ini juga ditangani instansi penegak hukum lain. Misalnya Kejaksaan Agung yang saat ini menggarap kasus Jiwasraya (http://www.jawapos.com, 12/1/2020).

Sekularisme Ladang Subur Praktik Korupsi

Tindak korupsi telah lama menjadi bagian dari kehidupan politik bangsa ini. Praktiknya pada tingkat pemerintahan dan birokrasi telah mengakar sebelum era kemerdekaan. Akhirnya, praktik rasuah ini meningkat selama masa kepresidenan Soeharto (orde baru) dari tahun 1967 hingga 1998 di era reformasi, sehingga pemberantasan korupsi pun menjadi amanah dari era reformasi hingga kini, karena rakyat menghendaki pemberantasan KKN pada masa orde baru. Langkah-langkah pemerintah dalam memberantas korupsi di tahun-tahun berikutnya sampai sekarang pun memiliki efektifitas yang beragam. Walaupun demikian, hingga hari ini korupsi sudah menjadi penyakit akut dan tiap tahun tidak pernah absen terjadi. 

Dikutip dari databoks.katadata.co.id, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), aparat penegak hukum sebagai ujung tombak dalam upaya pemberantasan korupsi telah menangani 454 kasus sepanjang 2018. Rata-rata kasus dugaan korupsi yang ditangani penegak hukum periode 2015-2018 sebanyak 392 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 1.153 orang dan kerugian negara sebesar Rp.4,17 triliun per tahun. Adapun penindakan terbanyak dicatat pada 2017, yakni mencapai 576 kasus dengan aktor sebagai tersangka 1.298 orang. 

Di tahun 2019, Polri merilis hasil kinerja penanganan tindak pidana korupsi. Kapolri Jenderal Idham Azis menyampaikan, dari sejumlah kasus korupsi yang diungkap, Polri menyematkan uang negara sebesar Rp.454 miliar dengan total sebanyak 768 kasus terselesaikan selama 2019. Lebih lanjut, untuk Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang tahun 2019, Idham menyebut tercatat telah dilakukan 16.704 kegiatan OTT dengan 23.254 tersangka. Jumlah penindakan ini meningkat 134 persen dibandingkan 2018 (http://m.liputan6.com, 29/12/2019).

Dan akhir-akhir ini kita kembali disuguhkan dengan drama yang tak kunjung usai ini. Skandal Jiwasraya, dimana kasus dugaan korupsi bermula dari kegagalan Jiwasraya membayar klaim polis JS Saving Plan pada Oktober 2018 sebesar 802 miliar. Kejaksaan Agung menyebut kerugian negara akibat dugaan korupsi pengelolaan dana investasi Jiwasraya sekitar Rp.13,7 triliun pada Agustus 2019. Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan Jiwasraya melakukan rekayasa keuangan dalam menutupi kerugian perusahaan sejak tahun 2006 (http://m.katadata.co.id, 15/1/2020).

Di sisi lain, bola panas kasus korupsi di perusahaan pelat merah juga sedang menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Belum usai kasus korupsi yang menjerat Jiwasraya, kabar dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) mencuat ke publik. Menko Polhukam Mahfud MD bahkan menyebut angka korupsi di ASABRI tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya yang menyentuh angka di atas Rp.10 triliun (http://kompas.com, 11/1/2020). Bahkan, dilansir dari laman berbeda, CNNIndonesia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tengah melakukan proses pengumpulan informasi dan data terkait kasus dugaan korupsi di tubuh PT ASABRI, sejauh ini menurut anggota BPK Harry Azhar Azis, pihaknya menaksir kerugian negara mencapai di kisaran Rp.10Rp.16 triliun.

Kasus berikutnya, dilansir dari www.republika.co- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka setelah terjaring operasi tangkap tangan pada Rabu (8/1) siang. Wahyu diduga menerima suap terkait penetapan anggota DPR-RI dari fraksi PDIP. Selain Menetapkan Wahyu sebagai tersangka, KPK juga menetapkan seorang politikus PDIP dan dua orang lainnya sebagai tersangka. Tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka ini diantaranya politikus PDIP Harun Masiku dan Saeful, serta orang kepercayaan Wahyu yang juga Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu, Agutiani Tio Fridelina. Wahyu dan Agustiani ditetapkan sebagai penerima suap, sedangkan Harun dan Saeful sebagai pemberi suap.

Sunggguh memprihatinkan dan  mengiris hati melihat kasus korupsi yang hari ini bertebaran dimana-mana. Pasalnya, sejak reformasi, Indonesia makin demokratis. Sayangnya, proses demokratisasi ini tak signifikan dengan proses pemberantasan korupsi. Bukannya korupsi hilang, justru tambah tak karuan. Jumlah yang dikorupsi pun bukan lagi jutaan tapi triliunan. Cita-cita reformasi 1998 untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) nyaris kandas. Reformasi yang didengungkan dahulu, tak ada efeknya karena seakan tak mereformasi hawa nafsu para pejabat yang korupsi. Realita hari ini, buah dari reformasi ideologi kapitalis-sekularisme yang telah menggerogoti negeri ini, sehingga persoalan yang dihadapi tidak pernah bisa terselesaikan, bagaikan lingkaran setan. Meskipun bangsa ini telah melakukan beberapa kali pergantian pemimpin. 

Sungguh miris, di tengah kesulitan yang dihadapi rakyat dan menumpuknya hutang negara, para wakil rakyat menjadi pencuri di balik topeng wakil rakyat. Lihat saja, bagaimana janji para calon wakil rakyat ketika mencalonkan diri sebagai perwakilan dan pelindung rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, setelah menjabat tidak ada satu janji pun terealisasi yang berpihak kepada rakyat. 

Inilah sesungguhnya wajah demokrasi. Demokrasi memang rusak dan merusak. Fakta menunjukkan bahwa di era demokrasi-sekularisme yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme dirancang untuk menciptakan siklus korupsi yang bertujuan memperkaya kelompok dan pribadi tanpa memikirkan nasib rakyat. Mirisnya, rakyat dipalak atas nama pajak, dijamin atas nama BPJS yang mencekik dan sebagainya. 
Namun, tak dapat dipungkiri saat ini kebanyakan orang tersilaukan dengan demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang terbaik. Padahal demokrasi membawa cacat bawaan sejak kelahirannya. Demokrasi yang masih menjadi anak kandung dari sistem sekuler dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan masyarakat dan negara ini menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Tidak ada pada diri para politisi dan pejabat kesadaran bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya. Bukan rahasia lagi adanya politik transaksional antara partai sebagai kendaraan politik dan kandidat, namun gaji dan tunjangan yang tidak cukup untuk membayar biaya yang harus dikeluarkan membuat para pejabat, dewan kepala daerah dan birokrasi lainnya menjadikan jual-beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemilihan kepala daerah, pemilihan pejabat dan lain sebagainya dijadikan lahan basah untuk praktik korupsi, suap-menyuap dan kongkalikong penguasa.

Bukan kesejahteraan, namun korupsi yang melibatkan para perampok berdasi semakin merata terjadi di negeri ini. Dampaknya pun dapat kita rasakan hari ini. Persoalan kemiskian, utang luar negeri dan sebagainya adalah buah dari keserakahan para perampok berdasi yakni para pelaku korupsi yang mengklaim dirinya demokratis. Pasca reformasi, negara dan rakyatnya hingga saat ini bukannya sejahtera ataupun makmur dirasakan justru sebaliknya mencekik dan terbelakang. Justru yang merasakan semua itu hanya kalagan elit yang berselingkuh dengan para pemilik modal (kapitalis). 

Sekularisme yang menjadi akidah dari ideologi adidaya saat ini yakni kapitalisme sangat rentan terdegradasi oleh korupsi bahkan sebagai kegiatan wajib bagi setiap pemangku kebijakan publik. Sebab sekularisme tidak mengenal konsep dosa atau Tuhan, Allah SWT dalam hal pemerintahan. Ditambah lagi penegakan hukum selama ini tidak menimbulkan efek jera. Harapan besar masyarakat negeri ini sebenarnya ditujukan kepada KPK. Dalam perjalanannya, KPK cukup mampu memberikan angin segar terhadap pemberantasan korupsi, paling tidak dengan terungkapnya beberapa kasus korupsi hingga dipidana oleh pihak yang berwenang tentu saja dengan sanksi yang sangat ringan. Namun, seiring berjalannya waktu bertubi-tubi lembaga ini dihajar oleh berbagai persoalan hingga akhirnya benar-benar hampir tak berpengaruh sama sekali.

Dikutip dari geotimes.co.id, setidaknya ada tiga catatan kebijakan ala demokrasi ditahun 2019 ini bagi pemberantasan korupsi sehingga makin menggila di negeri ini. Pertama, pelemahan terhadap KPK, dengan memberikan wewenang kepada dewan pengawas untuk mengawasi pelaksaan tugas dan wewenang KPK, memberi atau tidak mengizinkan izin penyadapan, penggeledahan dan/ atau penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pagawai KPK, dan masih banyak lagi. Kedua, wajah buruk Mahkamah Agung. Terlihat sebanyak 10 putusan Mahkamah Agung sepanjang 2019 terbukti meringankan hukuman terdakwa atau terpidana korupsi. Hal ini menjadi pukulan telak, sebab sulit membayangkan pemberian efek jera bagi terpidana korupsi akan berhasil jika pada fase akhir justru pengadilanlah yang memberikan keringanan. Ketiga, rendahnya komitmen pemimpin jika berkaca pada periode pertama pemerintahan Jokowi tahun 2014 korupsi sebenarnya masih menjadi salah satu program aksi utama dari janji-janji beliau yang dikemas dalam dokumen setebal 24 halaman yang diberi nama Nawacita. Namun, saat ini keadaan menjadi anomali dengan serangkaian kebijakan yang tidak mengarah kepada komitmen pemberantasan korupsi. Pengabulan permohonan grasi terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabuapaten Kuantan Singingi, Riau, Annas Maamun menjadi salah satu buktinya. Keputusan Jokowi tertanggal 25 Oktober 2019 yang mengabulkan pengurangan hukuman sebanyak satu tahun bagi mantan Gubernur Riau itu melemahkan upaya penegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi ditambah kebijakan Presiden mendukung upaya Revisi UU KPK .

Inilah ironi perpolitikan di era demokrasi. Masyarakat harus menyadari bahwa korupsi ini terus berjalan lancar karena didukung oleh sistem yang salah yang menciptakan kebijakan hukum yang salah pula. Politik yang seharusnya adalah aktivitas untuk mengurusi urusan rakyat, akhirnya hanya angan belaka. Islam hanya diamalkan diaspek individu berupa akidah, akhlak, dan ibadah semata, sementara aktivitas politik pemerintahan dijalankan ala demokrasi  yang tak ada satupun dalilnya dalam al-Qur’an maupun hadist nabi Muhammad SAW.

Demokrasi bukanlah alat untuk mewujudkan sebuah perubahan, justru sebaliknya rakyat menjadi korban dari demokrasi itu sendiri. Realitanya, demokrasi hanya manis dalam teori, namun pahit dalam praktiknya. Rakyat pada akhirnya bak peribahasa kuno “sudah jatuh tertimpa tangga pula.” Walhasil, elit penguasa makin untung, negara dan rakyat makin buntung.

Kembali Kepada Islam Satu-satunya Solusi

Praktik korupsi di negeri ini masih saja menggurita disebabkan solusi yang ditawarkan hanya sekedar melalui kelembagaan dengan sistem pencegahan dan efek jera yang tidak efektif. Karena itu, untuk menuju negeri yang bersih haruslah kembali kepada syariah Islam. Islam dengan kesempurnaan risalahnya yang berasal dari Pencipta manusia dan alam semesta memberi solusi tuntas mencegah dan mengatasi terjadinya tindak korupsi. 

Dalam Sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi adalah ditempuh dengan menggunakan pengawasan yang baik. Islam memiliki tiga pilar dalam penerapannya, yaitu ketaqwaan individu, kontrol sosial dalam masyarakat dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketaqwaan pada diri rakyat. Negara pun berkewajiban menananamkan dan memahamkan nilai-nilai moral, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyatnya. Dengan keimanan dan ketaqwaan tersebut, dengan sendirinya mereka mampu membentengi diri mereka dari sikap mengutamakan hawa nafsu.

Diberlakukan pula seperangkat hukuman pidana yang keras agar menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem Islam menetapkan sanksi hukum ta’zir yang keras dan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku korupsi tersebut. Bentuk sanksi diserahkan pada hasil ij'tihad hakim, dapat berupa penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. 

Disamping itu, negara Khilafah Islamiyah (institusi pelaksana Islam Kaffah) juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan menerapkan sistem penggajian yang layak yang mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder atau bahkan tersiernya. 

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun ynag menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang isteri, jika tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah,” (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya cukup untuk menekan terjadinya tindak pidana korupsi. 

Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, Sistem Islam akan menetapkan mekanisme perhitungan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat yang bertujuan untuk mengecek apakah aparaturnya korupsi atau tidak. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka negara yang akan merampasnya. Sedangkan upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat negara atau pegawai untuk menerima hadiah agar tak ada konflik kepentingan antar pegawai.

Strategi lainnya dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan pengangkatan aparaturnya, selain syarat profesionalitas. Dengan demikian, mereka memiliki self control yang kuat. Negara Khilafah dibangun dengan akidah Islam dan pondasi ketakwaan kepada Allah SWT. Maka dua faktor itu pula yang harus menjadi rujukan dalam memilih dan mengangkat pejabat publik dan aparatur negara. Suasana takwa yang terbangun di dalam negara, dilengkapi dengan kewajiban kontrolsosial oleh masyarakat, disertai dengan ketegasan sanksi oleh negara. Itulah modal besar sistem Islam dalam mencegah serta membasmi tindak pidana korupsi. Hanya dengan penerapan Islam Kaffah oleh institusi negara Khilafahlah yang akan mengakhiri pusaran korupsi yang mengila ini. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak