Indonesia dalam Pusaran Demokrasi



Oleh : Novianti

Hari-hari ini, publik dibuat terkejut dengan rentetan peristiwa perampokan uang rakyat. Mulai dari kasus Jiwasraya yang gagal bayar, dugaan korupsi di Asabri,  korupsi komisionaris KPU. Korupsi yang sangat memprihatinkan karena melibatkan para  pejabat dan uang trilliunan. Uang rakyat seolah mudah dirampok oleh para pencuri berdasi. 
Jiwasraya gagal bayar klaim polis yang mencapai 12.4 triliun.  Ditemukan indikasi adanya  penyimpangan pengelolaan keuangan yang melibatkan internal mulai dari tingkat direksi,  general manager hingga pihak eksternal perusahaan. Korupsi di PT Asabri  tidak kalah fantastisnya.  10 trilliun milik  para prajurit, polisi dan ASN raib  karena  investasi saham yang mengakibatkan kerugian. Lembaga resmi yang mengurus pemilu yaitu KPU juga tidak bersih dari korupsi.  Keterlibatan  komisionaris KPU bukanlah yang pertama. Sebelumnya, beberapa oknum pejabat di lembaga  yang merepresentasi  hasil pemilu sudah pernah terjadi. 
Indonesia  seolah  punya  penyakit turunan  bernama korupsi.  Berdasarkan catatan  KPK, dari tahun 2004 hingga 2019 kasus korupsi terbanyak dilakukan oleh para anggota DPR DPRD. Lalu pejabat publik seperti bupati, walikota  yang  biasanya melibatkan peran swasta (tirto.id, 17/10/2019). Nampak korupsi banyak terjadi di lembaga dan oleh pejabat yang seharusnya mengurus rakyat 
Entah sudah berapa trilliun uang rakyat  dirampok para pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat. Justru mereka tak malu mempertontonkan kemewahan sementara rakyat kian melarat.  Kehidupan dunia sudah melenakan hingga penyakit cinta dunia sudah berkarat.  Berbagai akrobat dan tipuan berbusa busa membuat rakyat bertambah muak.
Mirisnya, meski penangkapan demi penangkapan yang  dilakukan KPK dan sebagiannya sudah diganjar dengan hukuman penjara, namun korupsi dengan berbagai modusnya justru makin merajalela.  Ini tentu menimbulkan pertanyaan, karena terjadi  di negara mayoritas muslim, korupsi begitu menggila.  Hukuman yang sudah diberikan   tidak menimbulkan efek jera.
Hukuman mati bagi para koruptor sebatas wacana dan mustahil diterapkan.  Pejabat yang korupsi berasal dari partai yang berkuasa serta secara berjamaah. DPR, DPRD yang menjadi  gudang para koruptor tidak akan pernah membuat undang undang yang akan merugikan partainya sendiri. Semua bersekutu melindungi praktek kejahatan pencurian milik rakyat..
Dilihat dari kacamata Islam, semua ini tidak aneh karena tiada lain buah dari penerapan sistem sekuler. Korupsi pasti tumbuh subur di dalam sistem  yang perilaku manusia ditimbang berdasarkan akal yang  menurutkan syahwat.  Sekuler  melahirkan keturunan sistem politik, ekonomi, gaya hidup. Sistem demokrasi mengatur pemerintahan, sistem kapitalis mengatur ekonomi, dan sistem liberal mengatur gaya hidup. Sesuai fitrahnya, semuanya  memunculkan praktek kedzaliman.  Penguasa- pengusaha melakukan perselingkuhan untuk menjaga kepentingan masing-masing. Penguasa ingin tetap berkuasa dan memerlukan modal besar mendapat dukungan dari pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan. 
Demokrasi   dijadikan kamuflase melindungi niat jahat. Slogan kedaulatan di tangan rakyat, pejabat bekerja untuk rakyat  jadi jualan setiap pemilu.  Biaya menjadi calon pejabat lewat  pemilu melalui  parpol menguras dana. Tak ayal ujungnya saat menjabat, mengejar target balik modal. Terjadilah main mata pejabat-pengusaha/swasta. Simbiosis mutulisma yang mengokohkan  sistem korporatokrasi. Mengelola negara mirip mengelola perusahaan. Tidak ada istilah melayani rakyat karena orientasinya mengejar keuntungan.  Janji pada rakyat sudah dilupakan. Yang ada bagi-bagi kekuasaan. Semua posisi jabatan jadi bancakan  agar mesin partai politik  terus berjalan. Bukan hal yang bisa ditutupi lagi, partai politik membutuhkan dana yang  begitu besar.
Inilah sebuah tata kelola negara dengan penerapan  sistem terburuk  pada zaman modern ini. Sistem demokrasi  telah menyebarkan mantranya menyihir   manusia sehingga berhalusinasi.  Melalui demokrasi bisa lebih  baik, tak ada pilihan lain selain demokrasi. Bahkan kaum muslimin pun ikutan mengaminkan dan meyakini.  Demokrasi jadi berhala baru yang diagung-agungkan.
Padahal dari sisi asasnya, kedaulatan di tangan rakyat  jelas bertentangan dengan prinsip aqidah islam dimana kedaulan hanya pada hukum syara. Tidak ada celah akal sebagai penimbang. Semua perbuatan harus terikat pada aturan Maha Pencipta.  Kedudukan demokrasi dan islam berada pada kutub yang berlawanan. Seperti minyak dengan air, tak mungkin disatukan.  Demokrasi turunan dari sekuler, tidak pernah menempatkan agama dalam pengurusan manusia. Demokrasi dan sekulerisme akan selalu berdampingan. Keduanya saling menguatkan. Demokrasi  tak mungkin berjalan kecuali dalam sistem sekuler. Dan sistem sekuler akan terus langgeng dalam alam demokrasi. 
Karenanya tak heran, kasus demi kasus yang mengorbankan rakyat akan  terus terjadi. Hukuman demi hukuman akan berlalu dan tak pernah membuat efek jera. Semua pejabat hanya berorientasi pada tahta, harta dan wanita. Sulit bagi orang baik tetap jadi baik dalam sistem yang bobrok ini.  Sampai kapanpun agama tidak akan pernah diberi celah untuk eksis. Agama akan selalu kalah demi  kekuasaan dan keuntungan.
Maka tak heran, di alam demokrasi  partai islam bisa bersekutu dengan partai  "anti' islam untuk meraih kedudukan. Yang awalnya oposisi bisa jadi teman sejalan dalam roda pemerintahan. Tak ada teman dan musuh abadi di alam demokrasi, yang ada adalah kepentingan abadi.  Semua demi kenikmatan duniawi semata.
Dengan fenomena ini,  Indonesia yang selalu dirundung masalah, seharusnya membangkitkan kesadaran pada rakyatnya.  Ada yang salah dalam tata kelola negara ini. Politik  demokrasi sebagai penerapan  ideologi sekuler tak akan pernah membawa perubahan apapun. Memelihara demokrasi sama dengan membunuh  rakyat pelan-pelan. Fakta kebusukannya sudah begitu terang benderang. Kejahatan kemanusiaan makin telanjang dipertontonkan. Lantas atas alasan apa  masih mau  membela demokrasi  bahkan memujanya? 
Kasus megakorupsi yang terkuak  satu-persatu  mestinya menyadarkan betapa buruk sistem di negara ini. Mestinya umat  sadar dan segera berpaling pada alternatif lain. Bagi umat islam tidak ada pilihan kecuali kembali menempatkan hukum Allah sebagai panglima. Hanya  sistem  yang berasal dari Allah yang mampu menyelamatkan Indonesia  dari pusaran  demokrasi. Namun,  karena umat Islam sudah begitu jauh dengan agama, bangunan kehidupan islam yang akan menebar rahmat bagi seluruh manusia dan alam  semesta ini masih terlihat samar samar. 
Karena itulah, untuk bisa  meninggalkan bahkan mencampakkan sistem  demokrasi, hanya bisa dilakukan dengan mempelajari  islam secara kaffah lalu memperjuangkannya sesuai metode Rasululllah. In sya Allah seluruh urusan bisa terselesaikan dan keberkahan akan meliputi negeri ini sesuai  janji Allah. 
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al A’raf : 96).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak