Oleh : Ulfatun Ni'mah (Pemerhati kebijakan publik)
Setiap orang pasti menginginkan hidup sehat. Keadaan tubuh yang sehat, prima, membuat hidup semangat, ceria dan bahagia dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Namun faktanya, kondisi kehidupan yang menuntut serba instan dan cepat, akhirnya membuat banyak orang tidak memperhatikan asupan makanan nutrisi seimbang. Sehingga bukan kesehatan prima yang didapatkan melainkan banyak terjangkit penyakit turunan atau degeneratif yang membahayakan.
Bagi sebagian masyarakat yang telah memahami pola hidup sehat, mengatur pola makan dan gaya hidup sehat cukup menjadi perhatian.
Berbagai program yang dijalankan antara lain : olahraga, tidur dan pola makan teratur. Mengurangi makanan berlemak, mengganti gorengan dengan aneka rebusan, serta beralih hanya mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.
Aneka tawaran pola hidup sehat yang digaungkan oleh praktisi kesehatan juga bersliweran, ada pola hidup sehat ala Hughes, ala Keto dan pola hidup sehat resep dr. Zaidul Akbar, juga memberikan banyak informasi tentang kesehatan.
Belum lagi aneka herbal dan Thibbun Nabawi yang mudah kita dapatkan, tinggal kita memilih sesuai kebutuhan, sehingga kesehatan prima tercapai sesuai dambaan.
Meski demikian, tidak sedikit masyarakat yang enggan menjaga pola makan. Bukan berarti tidak mendambakan kesehatan.
Kenyataannya kondisi ekonomi yang mendesak menuntut hidup serba pas-pasan. Untuk makan sehari-hari saja, berupa nasi, sayur, dengan lauk tempe tahu sudah bersyukur sekali, apalagi harus memilih makanan tinggi nutrisi, ini jauh dari jangkauan. Keuangan tidak memungkinkan.
Belum lagi, tingginya harga bahan pokok pangan yang juga berimbas terhadap berbagai bahan pangan lainnya, ini membuat harus mengencangkan ikat pinggang. Boro-boro makan 'empat sehat lima sempurna', sehari bisa makan saja sudah membuat hati berbunga.
Jadi, bukan berarti tidak melirik program untuk pola hidup sehat atau pola makan sehat yang ditawarkan banyak praktisi, namun kondisi dompet kami rakyat melatar yang tidak mengatasi.
Belum lagi pekerjaan kami, rakyat jelata juga banyak yang tidak berdasi, kami didominasi tukang panggul kuli, tukang becak, petani, buruh pabrik dan buruh cuci. Tenaga kami butuh energi tinggi, makanan kami cukup sepiring nasi, tak terpikir bagi kami makan sehat tinggi nutrisi, untuk menabung saja kami tak pernah bermimpi.
Ditambah lagi, pemaksaan kenaikan tarif BPJS oleh negara. Kesehatan yang seharusnya bagian pelayanan jaminan negara secara cuma-cuma, malah rakyat membayar dengan terpaksa.
Inilah wajah negeri korporatokrasi, kesehatan dianggap barang ekonomi, yang seharusnya tugas negara memberi pelayanan sosial malah kesehatan menjadi barang komersial. Walhasil hidup sudahlah kejepit tambah tercekik.
Islam memandang penjaminan hidup sehat adalah tugas negara. Negara layak membuat rakyatnya bahagia.
Menurut Imam Al-Qudha'iy dalam Musnad ash-Shihab, kebahagiaan dari segala kebahagiaan adalah panjang usia dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Beribadah adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT, karena itu negara wajib memberikan pelayanan kepada rakyatnya dalam hal beribadah, karena ibadah adalah kebutuhan.
Negara wajib memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang sehat, kebutuhan pakaian yang indah, layak dan syar'i, kendaraan yang aman, pangan yang sehat, enak dan halal, kebutuhan pendidikan yang syar'i dan mengantarkan sukses dunia akhirat, ini adalah ibadah.
Negara juga wajib memenuhi kebutuhan keamanan dan kesehatan yang layak dan syar'i. Ini semua adalah ibadah. Walhasil, kebahagiaan hakiki dapat dirasakan umat karena negara sebagai penanggung jawab melaksanakannya dengan benar.
Negara pada dasarnya adalah periayah bagi umatnya (pengatur urusan umatnya). Dan bertanggung jawab sepenuhnya. Rakyat negeri ini akan mendapatkan pelayanan terbaik ketika urusan mereka diatur dengan aturan terbaik. Tidak ada aturan yang lebih baik dibandingkan syariat Islam. Syariat Islam hanya bisa diterapkan secara kaffah dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas akidah Islam. Bukan demokrasi-sekuler yang jelas-jelas memusuhi formalisasi syariah Islam. Wallahu a'lam bish-showab.
Tags
Opini