#Day29Part3
By: Messy
Geger! Pernyataan nyeleneh yang dikeluarkan Mahfud MD sebagai Menkopolhukam bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, pernyataan nyelenehnya sering mencuat didunia maya maupun didunia nyata.
Seperti kritikan terhadap muncul tepuk anak shaleh oleh Pembinaan Pramuka di Yogyakarta merupakan bentuk tindakan yang merendahkan keberagaman dan keberagamaan.
"Itu (tepuk anak shaleh, Islam-Islam Yes, Kafir-Kafir No) menyakitkan sekali, apalagi dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama," Kata dia usai menjadi pembicara dialog kebangsaan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/1/20).
Kini, muncul pertanyaan yang lebih nyeleneh lagi tentang haram meniru sistem pemerintahan Rasulullah. Mahfud MD menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Rasulullah haram hukumnya. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1).
Menurut Mahfud, pemerintahan Nabi Muhammad menggunakan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Semua peran itu berada dalam diri Nabi Muhammad Saw sendiri. Nabi berhak dan boleh memerankan ketiga-tiganya karena dibimbing langsung oleh Allah Swt. (nu.or.id, 25/1/2020)
/Sistem Sekuler Melahirkan Pribadi Sombong/
Pernyataan diatas sungguh menyakitkan hati kaum Muslim. Siapa anda yang berhak mengharamkan meniru sistem pemerintahan Rasulullah. Apakah anda Tuhan, Malaikat, atau Nabi? Jika anda tidak termasuk dalam ketiganya. Lantas kenapa anda begitu berani mengeluarkan pernyataan kontroversial itu?
Terlepas dari siapapun kita dan apapun jabatan yang kita sandang didunia. Kita tak punya hak sama sekali untuk mengeluarkan pernyataan seperti diatas, kecuali kita lebih mulia dari Tuhan, Malaikat dan Nabi. Jika tidak, lebih baik DIAM.
Pernyataan seperti ini hanya keluar dari siapa saja yang terdidik dalam sistem sekulerisme, yaitu sistem yang memisahkan agama dalam kehidupan. Agama hanya mengatur ibadah ritual saja. Sedangkan, dalam aktivitas kehidupan sehari-hari manusia bebas dalam menentukan aturan sendiri secara sesuka hati.
Berlindung dibalik kata "Kebebasan" dan Hak Asasi Manusia (HAM). Siapapun berhak bertindak dan mengeluarkan pernyataan apapun, asalkan tidak merugikan pihak lain.
Dari rahim sistem sekulerisme inilah lahir manusia yang memiliki pribadi sombong, ingin menetapkan aturan sendiri meski betentangan dengan aturan Sang Pencipta. Atau bisa saja ada yang merasa lebih hebat dari Tuhan, Malaikat, atau Nabi?
Sekeliber profesor sekalipun masuk ke dalam rahim sistem sekuler bisa musnah seketika kesucian pemikirannya. Pernyataan yang sama pernah diungkapkan oleh Mahfud MD.
"Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga," ucap Mahfud dilansir dari Republika.co.id pada tanggal (13/10/13)
Lantas masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme-sekularisme hari ini? Yang jelas rusak dan merusak. Kerusakan sistem ini dibuktikan sendiri oleh tokoh yang terjun didalamnya. Jika mereka saja tak percaya dengan sistem hari ini, apalagi kita. Tak cukupkah penderitaan yang kita rasakan hari ini?
Lantas jika bukan sistem pemerintahan Rasulullah yang ditiru? Lalu, sistem pemerintahan manakah yang harus kita ditiru? Apakah sistem pemerintahan warisan Yunani yang rusak? Toh slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sudah dikuburkan bersama ketamakan pelopornya. Lantas, kemana lagi hati kita akan berlabuh?
/Islam, Sebaik-baik Tempat Pengaduan/
Allah memerintahkan kita untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan dari segi berpikir dan bertindak dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk meneladani Rasulullah dalam membangun sistem pemerintahan Islam.
Sebab, Rasulullah hanya menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Allah. Rasulullah tidak berbicara mengikuti akal dan hawa nafsu, melainkan dibimbing oleh wahyu. Berarti Rasulullah diutus dimuka bumi ini sebagai pemberi peringatan, penyampai wahyu dan membawa berita gembira.
Allah berfirman:
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (٣) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (٤)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS An-Najm:3-4)
Sebagai seorang muslim, kita harus taat dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan dibawa oleh Rasulullah. Termasuk dalam sistem pemerintahan, harus mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Rasulullah bersabda:
Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Dalam hadis ini Rasulullah meminta kepada kita untuk berpegang kepada jalan yang pernah ditempuh oleh Rasulullah dan Khulafa'ur Rasyidin dalam perkara kepemimpinan.
Selain itu, ulama empat mahzab juga sepakat dengan kewajiban Khilafah. Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.” (Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).
Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124).
Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).
Apakah kita mengikuti pendapat Mahfud MD atau Rasulullah? Silahkan pilih sendiri dan jawaban kita akan menentukan kualitas keimanan kita.
Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Ali-Imran:31)
Teruslah melangkah selama kita berada dijalan yang diridhai oleh Allah dan Rasulullah. Tak perlu mendengar perkataan siapapun yang menghambat langkah kita. Tetap maju hingga Allah yang akan menghentikan langkah kaki kita. Allahu Akbar.
Bukittinggi, 29 Januari 2020
#kompaknulis
#opey2020bersamarevowriter