Oleh : Nelly, M.Pd
(Pegiat Dakwah, Alumnus Magister Manajemen Pendidikan Islam IAIN Palangka Raya, Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Kemasyarakatan)
Ditengah persoalan bangsa yang carut marut dengan berbagai persoalan, yang belum juga dapat di atasi oleh pemerintah, maka bahasan tentang korupsi juga gak ada habisnya. Kini publik di hebohkan lagi dengan telah resmi ditetapkan sebagai tersangka, usai terjaring dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Dan ini semakin menguatkan kecurigaan berbagai kalangan bahwa dana pesta 5 tahunan 24, 5 Triliun ditengarai tidak digunakan pada tempatnya dan bisa saja kecurangan yang terjadi di pemilu tahun lalu memang benar-benar terjadi. Ini untuk kesekian kalinya kasus korupsi semakin menjadi di negeri demokrasi ini.
Tak bisa di pungkiri, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan penyakit klasik yang tidak kunjung terobati. Meskipun upaya-upaya pemberantasannya sudah di lakukan dengan berbagai cara, namun pada faktanya korupsi di Indonesia malah semakin menggurita. Harapan besar itu pun oleh masyarakat Indonesia sebenarnya di tujukan pada KPK.
Dalam perjalanannya KPK telah menjaring dan menangkap beberapa kasus korupsi. Sekitar 256 orang sebagai tersangka kasus korupsi sepanjang 2018. Sebanyak 256 tersangka itu terjerat sekitar 53 kasus baru, 30 di antaranya merupakan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sebanyak 26 orang di antara para tersangka tersebut, adalah kepala daerah yang terdiri atas dua gubernur, empat wali kota, dan 20 bupati. Namun seiring berjalannya waktu, bertubi-tubi lembaga ini di hajar oleh berbagai persoalan.
Setelah kasus Antazari Azhar, giliran kemudian pimpinan KPK lain yakni Bibit-Candra yang kesandung masalah. Banyak pihak menganggap hal ini adalah upaya pelemahan terhadap KPK, termasuk dengan di sahkannya revisi UU KPK lalu. Kalau kita telaah lebih jauh, sebenarnya keberadaan KPK sebagai lembaga untuk memberantas korupsi tidak serta merta kemudian mampu menghentikan segala tindak tanduk para koruptor, bahkan tidak semua lapisan masyarakat mampu di jangkau oleh KPK, padahal kasus korupsi hampir terjadi di semua lapisan. Sehingga muncul pertanyaan kenapa kasus korupsi di negeri ini makin merajalela dan sulit untuk di berantas hingga keakarnya?
Sistem Kapitalisme Demokrasi Faktor Utama Korupsi Menggurita
Dalam sistem kapitalis demokrasi, tujuan hidupnya adalah manfaat, tak peduli halal dan haram. Selain itu juga proses demokrasi di negeri ini yang membutuhkan biaya kampanye yang sangat mahal untuk membeli partai politik. Rendahnya hukuman terhadap koruptor juga menjadi faktor sulitnya menghilangkan korupsi ditambah lagi korupsi di penegakan hukum. Mulai dari penyelidikan, penuntutan, sampai di penjara sekalipun ada korupsi.
Sebenarnya ada tiga faktor utama penyebab korupsi. Pertama, sistem yang mendorong dan memacu korupsi, itulah sistem politik demokrasi sekuler, yang kedua rendahnya keteladanan. Dan ketiga, tipisnya suasana keimanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Bagaimanapun, lembaga sekelas KPK tentunya tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam memberantas korupsi.
Faktanya hanya sedikit yang mampu terungkap ke permukaan, itupun dalam pelaksanaanya selama ini bisa dibilang masih tebang pilih, ada beberapa pihak yang masih kebal terhadap penyidikan KPK. Lembaga ini memang hanya berfungsi sebagai pemburu dan penangkap koruptor. Pelaku korupsi yang tertangkap hanya sebagian yang kemudian dipidanakan atau paling banter cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan oleh lembaga peradilan.
Bahkan banyak pelaku korupsi kelas kakap yang sekarang ini masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera pun juga tidak berjalan secara efektif. Padahal ini adalah faktor penting dalam memberantas korupsi. Sebenarnya lembaga-lembaga semacam ini sudah sering dibentuk walaupun mungkin sekedar formalitas dan tidak leluasanya kewenangan hukum yang dimiliki.
Kalau kita lihat sebenarnya berbagai usaha dari para petinggi negeri ini telah di usahakan untuk yang namanya “memberantas tindakan korupsi”, dari masanya presiden Soeharto hingga era kepemimpinan Jokowi seperti saat ini, namun korupsi di negeri ini masih saja menggurita, inilah karena disebabkan secara sistemik. Namun, seringkali solusi yang ditawarkan cuma sekedar dengan kelembagaan atau parsial. Seharusnya penyelesainya harus secara konfrehensif dan sistemik sampai menyentuh keakar masalahnya.
Solusi Konfrehensif Masalah Korupsi
Menyelesaikan masalah korupsi tentunya harus menyeluruh, Islam hadir memberikan solusi yang sistematis sampai ke akarnya, oleh karena itu untuk menuju Indonesia yang lebih bersih haruslah dengan syariah Islam. Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan Ketiga, pengawasan oleh negara.
Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada menggairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Diberlakukannya juga seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan saat ini di negeri ini.
Dalam sistem Islam negara khilafah Islamiyah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah". (HR. Abu Dawud).
Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi. Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para wali atau Gubenur dan Amil atau bupati.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah.
Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan". (HR. Abu Dawud).
Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya.
Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, para pejabat dengan gagahnya memakai segala fasilitas dengan hidup bermewah-mewah. Inilah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi, ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-bagian demi sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan yaitu tegaknya syariah Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu a' lam biashowab.
Tags
Opini