Oleh : Milna Hijriani
Negara adalah institusi terbesar yang membawa tanggung jawab terbesar bagi semua yang ada dibawah naungannya, baik itu masyarakatnya sampai pada sumber daya alamnya. Maka tidak dapat dipungkiri, perlulah kecakapan untuk menjadi seorang pemimpin dalam negara, karena dalam Islam tanggung jawab pemimpin negara bukan hanya diperhitungkan didunia, namun perhitungannya lebih mendalam lagi diakhirat kelak.
Indonesia sebagai Negara dengan penduduk yang padat dan sumber daya alam yang melimpah tentu memerlukan sosok pemimpin yang memahami rakyatnya dengan beragam bahasa, agama dan adat istiadatnya pun memahami kondisi tanah nusantara hingga limpahan sumber daya alam ini dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi penduduknya.
Yang terjadi kini, kesejahteraan masyarakat Indonesia jauh panggang dari api. Tentu kita bertanya-tanya, mengapa limpahan sumber daya alam yang telah tersedia tak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini artinya pemerintah telah gagal dalam memutar roda ekonomi. Namun yang lebih mengenaskan adalah bagaimana pemerintah menutupi kegagalannya dengan isu yang terus digoreng panas, yaitu isu radikalisme.
Sebagaimana yang kita ketahui, kabinet baru yang telah ditunjuk presiden Joko Widodo dan wakilnya Ma’ruf Amin memiliki fokus kerja untuk menangkal radikalisme. Lantas apakah radikalisme ini adalah hal urgen yang perlu menjadi perhatian terbesar pemerintah saat ini?
Bila kita lihat, radikalisme yang digadang-gadang mengkhawatirkan terancamnya keutuhan NKRI terus mengarah pada satu golongan saja, yakni Islam. Lihat saja program kerja dari menterian agama Fachrul Razi, deradikalisasi menjadi wacana yang langsung mencuat begitu mantan jenderal bintang empat ini dilantik.
Presiden Jokowi meyakini bahwa dengan pengalaman Menteri Agama yang baru di bidang kemiliteran, dapat mendorong program kerja yang berkaitan dengan deradikalisasi secara lunak, juga berkaitan dengan perdamaian dan toleransi.
Namun banyak tokoh yang justru mencium aroma lain dari langkah yang diambil presiden ini, adalah Rizal Ramli, tokoh nasional yang menyebutkan bahwa isu yang digembar-gemborkan pemerintah adalah isu yang akan menjadi gorengan pemerintahan Joko Widodo dan Maruf Amin dalam awal kepemimpinannya.
“Setahun kedepan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” tulis Rizal Ramli dalam akun Twitternya, Minggu (27/10).
Hal ini dilakukan karena diduga pemerintah harus menutupi perekonomian yang kembali memburuk tahun ini, sebagaimana prediksi beliau bahwa ekonomi Indonesia memang akan merosot pada tahun ini dan pertumbuhannya tidak akan mencapai 5 persen saja.
Adapun rencana menteri keuangan Sri Mulyani untuk menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing atau global bond dikarenakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami deficit sementara kebutuhan Negara membengkak ini, dinilai Rizal Ramli tidak akan ampuh mendongkrak perekonomian Negara.
Inilah hal yang disoroti Rizal Ramli, “Jadi supaya soal-soal ekonomi, kemiskinan soal-soal sosial lain menjadi tidak penting. Radicalism: the beliefs or actions of people who advocate thorough or complete political or social reform,” ujarnya.
Dari sini kita sebagai masyarakat bisa meihat, isu radikalisme bukanlah hal urgen yang seharusya menjadi sorotan pemerintah saat ini, kesejahteraan masyarakat lewat pengelolaan sumber daya alam yang berlimpah tanpa dominasi asing hingga perekonomian membaiklah yang menjadi kebutuhan utama masyarakat saat ini.
Dan islam sebagai pihak yang banyak dicap sebagai kaum radikal, justru adalah agama yang menginginkan kesejahteraan itu, karena Islam adalah rahman lil ‘alamin.
Wallahu a'lam bishshawab