Gonta-ganti Kurikulum Pendidikan, Murid Korban Uji Coba



Oleh : NS. Rahayu

Sudah menjadi kebiasaan perlima tahun di Indonesia bahwa setiap pergantian rezim maka berganti pula jajaran kabinetnya. Dan dapat ditebak maka akan ada kebijakan-kebijakan baru, baik itu mengacu dari godokan kebijakan lama maupun baru.  

Hal ini juga tak luput dari kebijakan Pendidikan yang digagas oleh Menteri Pendidikan yang sekarang dijabat oleh Bapak Nadiem Makarim. Dia meluncurkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yaitu Merdeka Belajar. Menurutnya, langkah ini diambil setelah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Merdeka Belajar menyangkut 4 hal pokok, yaitu USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional), UN (Ujian Nasional), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).

Salah satu yang saat ini menjadi sorotan dikalangan guru dan siswa adalah tentang perubahan format UN. Mulai tahun 2020 akan diterapkan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. UN juga akan dihapus dan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, mulai 2021. Asesmen ini terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan matematika (numerasi) serta penguatan pendidikan karakter. Meski perubahan ini di mulai tahun 2021 namun sudah menjadi polemik ditengah masyarakat khususnya dunia pendidikan. 

Ada kekhawatiran yang timbul dengan gonta-ganti kurikulum pendidikan, karena membuat guru dan murid sebagai kelinci percobaan. Jika kurikum pendidikan lama terbukti gagal maka akan diadopsi lagi sistem yang baru yang juga tidak jelas keberhasilannya. Hal ini justru membuat para guru kelimpungan dalam menyesuaikan program baru tersebut. Muridlah yang paling menjadi korban uji coba kurikulum baru itu.

Sebagaimana yang diberitakan oleh RadarMadiun.co.id :
Pro-kontra perubahan format ujian nasional (UN) menjadi assessment kompetensi minimum dan survei karakter membuat Pemkab Ngawi khawatir. Karena metode baru itu bakal semakin menurunkan minat belajar siswa dan akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan, kata Kepala Dinas Pendidikan Ngawi Abimanyu Senin (16/12). Hal ini disebabkan sejak UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Dia juga menyatakan bahwa kemerdekaan belajar tidak harus diartikan mengubah format UN. Jika UN benar-benar berganti format, kelak peta kualitas pendidikan sulit diketahui. Sebab, setiap sekolah bakal memiliki standar yang berbeda-beda dalam menentukan hasil kelulusan anak didiknya. 

Disisi lain Kepala Dinas Pendidikan Ngawi Abimanyu Selasa (17/12) menyayangkan sarana prasarana yang sudah dipersiapkan lama terkait ketersediaan komputer di sekitar 120 SMP –negeri dan swasta- yang seolah muspro. Pasalnya, ketika persyaratan jumlah komputer minimal satu untuk tiga siswa telah terpenuhi untuk menggelar UNBK, fasilitas itu terancam tidak digunakan lagi.

Sebenarnya jika mau mengamati gonta-ganti aturan pendidikan justru membuat dunia pendidikan limbung dan kebigungan menentukan arah dan tujuan pendidikan yang dilakukan selama ini. Ini memperlihatkan bahwa Negara tidak memiliki konsep dasar pendidikan sekaligus tidak mempunyai ideologi. Karena pendidikan berperan penting dalam menanamkan pemahaman tentang kehidupan yang sesungguhnya dan arah tujuan pencapaian yang jelas.

Bukan hanya peran individu namun juga peran mereka dalam masyarakat dan Negara. Karena sistem pendidikan yang berlaku akan memperlihatkan juga ideologi yang dipraktikkan Negara.
Sekulerisme, Pendidikan Tanpa Tujuan

Tujuan yang tidak jelas atas gonta-ganti kurikulum pendidikan memperlihatkan bahwa saat ini Negara tengah menerapkan sistem Kapitalisme Sekuler (yaitu memisahkan agama dari kehidupan), nampak bahwa kebijakan yang diambil selalu mengekor pada sekulerisme sehingga tetap saja jauh dari nafas agama (Islam), padahal Indonesia mayoritas muslim.

Aturan pendidikan mampu merubah cara pikir dan pola sikap seseorang sekaligus mampu mengarahkan perubahan peradapan lewat pendidikan secara sistemik. Dengan aturan pendidikan yang bergonta-ganti membuat situasi pendidikan labil sehingga tidak akan pernah menghasilkan output (hasil) yang diharapkan yaitu mampu dalam ilmu dunia dan fakih dalam agama.

Pendidikan dalam Islam

Berbeda dengan Islam yang memiliki aturan pendidikan yang jelas dan teliti. Dalam Islam, negara berkewajiban mengurusi kebutuhan warga negaranya termasuk untuk menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi rakyat. 

Rasulullah saw bersabda : Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Sistem pendidikan Islam mengatur kurikulum berlandaskan aqidah Islam, seluruh materi pelajaran  disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut. 

Adapun tujuan pelaksaan pendidikan yaitu membentuk kepribadian Islam, sehingga metode pendidikan dirancang untuk mewujudkan tujuan. Sekaligus membekali dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan.

Dengan metode pendidikan Islam ini maka output (hasil) yang diharapkan dari pendidikan akan tercapai yaitu memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni sekaligus fakih fiiddin (memiliki kemampuan dalam agama).

Sistem pendidikan Islam juga akan menjawab semua problem pendidikan bangsa ini. Semua itu dilaksanakan karena keyakinan akan kesempurnaan aturan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terbaik bagi manusia. Hal ini tidak bisa diwujudkan dalam sistem kapitalis sekuler saat ini.

Hanya sistem Islamlah yang mampu mewujudkannya hingga keberkahannya terwujud dalam pendidikan yang unggul bagi kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Maka menjadi kewajiban seluruh kaum muslim untuk mewujudkan sistem Islam kaffah dalam wadah Khilafah. Wallahu’alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak