Oleh : Binti Adib
Beberapa hari terkhir diberitakan kekejaman rezim Cina terhadap kaum Muslim di Xinjiang timur, etnis Uighur. Masyarakat banyak yang memberikan respon terhadap pemberitaan tersebut. Ucapan keprihatinan terhadap nasib saudaranya di Uighur bertebaran di status facebook, cuitan di tweeter hingga aksi turun ke jalan.
Pemerintah RI memilih diplomasi lunak menyikapi persoalan ini. Tidak mau bertindak lebih. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan pernyataannya soal diplomasi lunak Indonesia terkait masalah muslim Uighur di Xinjiang, China.Diplomasi lunak yang dimaksud Mahfud adalah pemerintah tidak ikut campur secara langsung dalam masalah muslim Uighur di Xinjiang. (KOMPAS.com/25/12/2019). Mahfud menjelaskan, cara kerja diplomasi lunak adalah dengan mempertanyakan masalah Uighur kepada pemerintah China.
Menurut Mahfudz MD ,bahwa Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian menyatakan bahwa etnis Uighur adalah separatis yang mempunyai agenda di luar kerangka negara China. Dia juga menyatakan ,bahwa pemberitaan mengenai tindakan represif pemerintah China terhadap muslim Uighur tidak benar(CNN Indonesia/17/12/2019). Terkait hal ini,fakta akan berbicara. Saksi mata di lapangan cukup banyak. Mungkinkah mereka berdusta?
Mengapa sikap pemimpin negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar memilih diplomasi lunak? Kita sudah lama dicekoki dengan pemikiran kapitalis sekuler. Dalam pandangan sekulerisme,agama dilarang mengatur urusan politik dan kenegaraan. Kita dan saudara kita di Uighur tidak ada hubungan apa-apa. Meskipun kita sesama Muslim kita dibatasi oleh sekat negara yang berbeda. Kita dipaksa melupakan ukhuwah Islamiyah di antara kita.
Diplomasi lunak cukup kah menyelesaikan persoalan Uighur? Diplomasi lunak menurut sebagaian orang dianggap pilihan aman menyikapi persoalan Uighur. Setidaknya meredam emosi kaum muslimin dari pada tidak bersikap sama sekali. Bersikap lebih dari itu tidak berani tentu ada pertimbangan yang menyangkut hubungan diplomatik dua negara.
Pemerintah China mengancam AS bakal “ membayar akibatnya” setelah UU soal Muslim Uighur disahkan(KOMPAS.com/3/12/2019). Undang-undang itu mengecam perlakuan negeri “Panda” terhadap jutaan Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang. Tentu kejadian ini menjadi pertimbangan bagi sebagaian negara untuk bersikap tegas terhadap negeri China.
Hanya saja,diplomasi lunak tidak akan mempengaruhi kebijakan suatu negara dan tidak akan memberi bantuan apa pun terhadap saudara kita yang tengah menderita. Padahal mereka yang menderita ,terdzolimi berteriak minta tolong.
Ada usulan agar melibatkan PBB untuk menyelesaikan masalah muslim Uighur. Dunia Islam tidak mungkin berharap kepada PBB. PBB tidak akan bertindak tanpa mandat dari Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah negara yang menganut ideologi kapitalis sekuler akan bertindak dengan azas manfaat. Akan menampilkan diri sebagai pembela bangsa tertentu jika memberi manfaat baginya.
Satu-satunya harapan umat yang akan menyelesaikan persoalan etnis Muslim Uighur dan persoalan serupa adalah pada negara yang mnganut sistem Islam. Negara ini menerapkan seluruh syariat Islam ,mengabdi pada kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Sistem kenegaraan ini warisan Rosulullah dan para Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya di kenal dengan sistem khilafah.
Khilafah akan bertindak tegas terhadap setiap kedzoliman yang menimpa kaum Muslim,apapun sukunya. Khilafah akan menyampaikan peringatan terhadap negeri yng melakukan penindasan,hingga pengiriman pasukan. Khilafah akan menjadi pelindung,junnah bagi kaum Muslim.