Di balik kontroversi, Muslimah tidak wajib berjilbab



Oleh : Ratna Kurniawati

Akhir-akhir ini publik kembali di hebohkan dengan pernyataan istri mantan presiden Gusdur, Dr (HC) Dra Hj Sinta Nuriyah MHum yang secara tegas menyatakan bahwa tidak semua wanita muslimah harus atau wajib menggunakan jilbab. Pernyataan istri almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini menegaskan hal itu pada saat diwawancarai oleh Deddy Corbuzier di kanal YouTube-nya, Rabu, 15 Januari 2020 kemarin. Selain Sinta, putri bungsunya, Inayah Wulandari Wahid juga ikut pada saat itu. 
“Apakah semua orang Islam itu harus memakai hijab?  Memakai jilbab? Tidak juga, kalau kita mengartikan ayat dalam Alquran ini secara benar,” ujar ibu negara pada tahun 1999 – 2001 ini. Istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gusdur), Sinta Nuriyah bercerita tentang mendiang suaminya. Kata Sinta, jika Gus Dur belum meninggal dunia pasti beliau akan bilang, wanita muslimah tidak diharuskan memakai hijab.
Sinta dan Inayah pun menyadari bakal dicaci maki atau di-bully oleh publik, karena pandangan yang berbeda soal hijab. Tapi, mereka tetap berani karena mengartikan Al Qur’an secara kontekstual bukan tekstual.
“Itu (hijab) kan budaya. Orang menerjemahkan ayat-ayat itu harus memenuhi persyaratan, menguasai alatnya, nahwu sharaf-nya, dari segi budaya bagaimana, semuanya harus ada,” ujarnya. 
Menurut dia, kontroversi pemakaian hijab bagi wanita muslimah tidak jauh dari surga dan neraka. Padahal, neraka dan surga itu milik Allah SWT. Sehingga, manusia tidak bisa menjustifikasi seseorang masuk surga atau neraka.
Warganet pun bereaksi terhadap pernyataan Sinta Nuriyah terkait wanita berhijab tak wajib. Tentu, ada yang kontra tapi ada juga yang pro terhadap pandangannya. Salah satu akun Faizal Muhammad @DANIEL085787 menyebut bahwa Sinta Nuriyah sejak dulu mempropagandakan hijab. "Wanita Muslim tak wajib pake hijab, basi. Hijab bukan adat atau pun mode fashion, hijab adalah busana universal yang harus dikenakan oleh wanita yang telah mengikrarkan keimanannya. An Nur : 31. Al Ahzab : 59," tulis Faizal. Sementara akun Robert B. Weide @incredribbbler menyarankan supaya berhenti membanding-bandingkan pendapat orang atau ulama. "Stop banding-bandingin orang/ulama, lanaa amalanaa wa lakum amalukum. Bu Sinta Nuriyah punya pendapat sendiri, beliau juga yang nanggung konsekuensi, gitu aja kok repot," ujarnya.
Di era sistem kapitalisme, hal ini memang wajar karena dalam sistem ini kebebasan berpendapat sangatlah di junjung tinggi. Mereka bebas berpendapat semaunya sendiri. Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem Islam.
Hijab
Dalam sistem Khilafah, perempuan diwajibkan mengenakan penutup kepala (khimar) dan pakaian panjang (jilbab). Mereka tidak diwajibkan menutupi wajah mereka, meskipun jika ingin, mereka boleh mengenakannya sesuai pendapat fukaha yang mereka ikuti, demikian juga mereka diperbolehkan memakai burqa bila memang berkehendak.
Pakaian syar’i untuk muslimah haruslah berupa jilbab dan kerudung yang keduanya merealisasi penutupan aurat dan tanpa tabarruj. Artinya tidak semua pakaian yang menutup aurat boleh bagi wanita untuk keluar dengan pakaian itu, tetapi haruslah berupa pakaian khusus yang telah di rinci oleh syara’.Dalil yang menunjukkan bahwa asy-Syâri’ telah mewajibkan untuk menutupi kulit sehingga tidak bisa diketahui warnanya adalah sabda Nabi saw:
«لم يَصْلُحْ أن يُرى منها»
“tidak boleh terlihat dari dirinya”. 
Hadits ini merupakan dalil yang jelas bahwa asy-Syâri’ mensyaratkan di dalam sesuatu yang digunakan menutupi aurat agar tidak terlihat aurat yang ada di baliknya. Artinya, harus menutupi kulit, tidak menampakkan apa yang ada di baliknya. Maka wanita wajib menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, yaitu yang tidak dapat menggambarkan apa yang ada di baliknya dan tidak dapat menampakkan apa yang ada di bawahnya.
Mengenai pakaian wanita di kehidupan umum, yakni pakaian wanita untuk dia kenakan di jalanan umum atau di pasar-pasar, sesungguhnya asy-Syâri’ telah mewajibkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian luar yang ia kenakan di atas pakaiannya (pakaian rumahan), pada saat dia keluar untuk ke pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum.  Asy-Syâri’ telah mewajibkan wanita agar dia memiliki mulâ`ah (baju kurung) atau milhafah (mantel) untuk dia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Jika ia tidak memiliki pakaian (mulâ’ah atau milhafah), hendaklah ia meminjamnya dari tetangga, teman, atau kerabatnya.  Jika ia tidak dapat meminjamnya atau tidak ada yang mau meminjaminya, ia tidak boleh keluar rumah tanpa mengenakan pakaian tersebut.  Jika ia keluar tanpa pakaian luar yang ia kenakan di atas pakaian sehari-harinya maka ia berdosa, karena telah meninggalkan salah satu kefardhuan yang telah difardhukan terhadapnya oleh Allah SWT. Ini dari sisi pakaian wanita bagian bawah. Sedangkan pakaian bagian atas maka wanita itu harus memiliki kerudung (khimâr) atau apa saja yang serupa itu atau pakaian yang dapat menggantikannya, yang dapat menutupi seluruh kepala, seluruh leher, dan belahan pakaian di dada.  Dan hendaknya kerudung itu siap atau tersedia untuk dia kenakan keluar ke pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum. Dengan kata lain, itu merupakan pakaian bagian atas untuk di kehidupan umum. Maka jika wanita itu memiliki kedua jenis pakaian ini (pakaian luar berupa jilbab dan khimâr/kerudung), ia boleh keluar dari rumahnya menuju ke pasar atau berjalan di jalanan umum, yakni keluar dari rumah ke kehidupan umum. Jika ia tidak memiliki kedua jenis pakaian ini, ia tidak boleh keluar dalam kondisi apa pun.  Karena perintah untuk mengenakan kedua jenis pakaian tersebut datang bersifat umum. Maka perintah tersebut tetap bersifat umum berlaku dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil satu pun yang mengkhususkannya.
Adapun dalil wajibnya kedua jenis pakaian tersebut untuk dikenakan di kehidupan umum adalah firman Allah SWT mengenai pakaian wanita bagian atas :
﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ﴾
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (TQS an-Nûr [24]: 31)
Dan firman Allah SWT berkaitan dengan pakaian wanita bagian bawah:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ﴾
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzâb [33]]: 59)
Juga apa yang telah diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata :
« أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »
Rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan para wanita yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita-wanita yang sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.  Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum Muslim.  Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada wanita itu” (HR Muslim).
Dalil-dalil ini menunjukkan dengan gamblang tentang pakaian wanita di kehidupan umum.  Allah SWT di dalam kedua ayat diatas, telah mendeskripsikan pakaian tersebut yang telah diwajibkan kepada wanita untuk dikenakan di kehidupan umum, dengan deskripsi yang rinci, lengkap dan menyeluruh.  Mengenai pakaian wanita bagian atas, Allah SWT berfirman:
﴿وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ﴾
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (TQS an-Nûr [24]: 31)
Maksudnya, hendaknya para wanita mengulurkan kain penutup kepalanya ke leher dan dada mereka, untuk menyembunyikan apa yang nampak dari belahan gamis (baju) dan belahan pakaian, berupa leher dan dada. Dan Allah SWT berfirman mengenai pakaian wanita bagian bawah:
﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ﴾
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)
Yakni, hendaknya para wanita mengulurkan pakaian yang mereka kenakan di sebelah luar pakaian keseharian ke seluruh tubuh mereka untuk keluar rumah, berupa milhafah (mantel) atau mulâ’ah (baju kurung/jubah) yang mereka ulurkan sampai ke bawah. Allah SWT berfirman tentang tata cara secara umum pakaian tersebut dikenakan:
﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”. (TQS an-Nûr [24]: 31)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak