Oleh: Neng Ipeh *
Hidup memang tak selalu berjalan mulus. Terkadang, masalah datang untuk menguji kita sebagai manusia. Wajar jika kita merasa khawatir atau cemas akan masalah hidup yang menerpa. Sayangnya bagi sebagian orang, kecemasan itu berlebihan hingga menimbulkan depresi. Pada titik tertentu, depresi ini dapat berujung pada bunuh diri.
Seseorang mengalami gejala depresi atau depresi bukan karena lemah iman, seperti yang banyak masyarakat tudingkan. Namun justru karena lemahnya dukungan sosial, yang malah menganggap orang yang depresi sedang dalam keadaan sakit jiwa, atau menandakan orang kurang iman, kurang bertakwa dan kurang gigih.
Depresi akan menjadi masalah kesehatan jiwa yang besar di Indonesia. Terlebih pada 2020, Indonesia akan mendapatkan "bonus" demografis. Artinya, diprediksi akan ada lebih banyak orang yang mengalami depresi, bahkan memiliki pemikiran bunuh diri.
Di Indonesia, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan RI, dr Fidiansyah, Sp.Kj, menyebut, setiap hari setidaknya ada lima orang yang bunuh diri.
Survei Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan, ada 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini berarti, satu dari sepuluh orang di negara ini mengidap gangguan kesehatan jiwa yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara.
Gangguan kejiwaan yang paling tinggi yakni kecemasan (anxiety disorder). Jumlah pengidapnya lebih dari 8,4 juta jiwa.
Selain itu, ada sekitar 6,6 juta orang yang mengalami depresi. Ada juga 2,1 juta orang mengalami gangguan perilaku. (kompas.com/13/01/2020)
Jika kita perhatikan, tekanan yang menimpa masyarakat dapat berasal dari 4 jalan.
Pertama, diri sendiri. Individu yang memiliki pandangan hidup keliru, cenderung materialis dan sekular, jauh dari tuntunan agama, serta menjadikan harta dan jabatan sebagai tujuan hidupnya akan cenderung mudah mengalami depresi ketika ia tak mendapatkan hasil sesuai keinginannya.
Kedua, keluarga yang tidak harmonis. Alih-alih rumah merupakan surga, justru sebaliknya, “rumahku adalah nerakaku”.
Ketiga, masyarakat yang cenderung individualis, dan apatis terhadap lingkungan sosial sebagai konsekuensi logis dari paham individualisme.
Keempat, negara yang tidak peduli terhadap masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan beban hidup masyarakat lainnya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang membebani rakyat.
Islam memiliki solusi untuk mengatasi depresi sosial dimana solusi tersebut harus ditempuh dengan mengubah penyebab-penyebab tersebut. Jalurnya pun mutlak melalui empat pendekatan secara menyeluruh dan terpadu. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
Pertama, solusi individu. Rasulullah selalu menanamkan pandangan hidup yang sahih dan lurus, yakni pandangan hidup Islam yang didasarkan pada akidah Islam; menanamkan bahwa kebahagiaan hidup adalah diperolehnya ridha Allah, bukan dicapainya hal-hal yang bersifat duniawi dan material, karena semua itu bersifat sementara. Penanaman pikiran dan pemahaman seperti ini dilakukan melalui pembinaan baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Oleh sebab itu, setiap orang harus ‘memaksa’ dirinya untuk terus mengkaji Islam secara tepat; bukan untuk kepuasan intelektual, melainkan untuk diyakini, dihayati, dan diamalkan.
Kedua, solusi keluarga. Allah Subhanahu wata'ala Yang Maha Tahu terhadap karakteristik manusia yang diciptakannya. Dia adalah Zat Yang Maha Lembut yang menurunkan konsep keluarga keluarga yang islami, harmonis, serta jauh dari hal-hal yang dapat merusak pondasi dan pilar-pilar keluarga; sehingga terbentuk keluarga yang ‘sakînah, mawaddah, wa rahmah’. Dalam konteks keluarga ini, hubungan suami-istri dalam rumahtangga bukanlah hubungan antara tuan dan pekerjanya, tetapi hubungan yang saling bersahabat dan saling menolong satu sama lain.
Ketiga, solusi masyarakat. Kehidupan masyarakat, kata Nabi, seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal. Jika ada seseorang yang hendak mengambil air dengan melobangi kapal dan tidak ada orang lain yang mencegahnya, niscaya yang tenggelam adalah seluruh penumpang kapal. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh anggota masyarakat terhadap kehidupan masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, agar masyarakat memiliki daya tahan dalam menghadapi depresi/stress sosial harus ada upaya untuk menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial; menciptakan atmosfir keimanan; serta mengembangkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar.
Keempat, solusi negara/pemerintah. Pemerintah memiliki peran yang cukup besar dalam menciptakan depresi di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah wajib menunaikan kewajibannya untuk menjamin terpenuhinya segala kebutuhan pokok setiap individu masyarakat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan rasa aman.
Selain itu, negara wajib membina masyarakat dengan akidah Islam melalui sistem pendidikan Islam; mengatur media massa hingga tidak menyebarkan budaya hedonistik dan materialistik yang bersumber dari ideologi kapitalisme atau sosialisme; menerapkan hukum-hukum Islam secara total; serta mencampakkan akidah dan sistem kehidupan yang materialis dan sekuler. Hanya dengan sikap tegas dari penguasa untuk melakukan hal tersebut depresi sosial dapat dicegah.
Maka sudah selayaknya kita berusaha untuk mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan penerapan sistem Islam dalam naungan negara Khilafah.
*(Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini