Demokerasi Dan Ilusi berantas Korupsi



Oleh : Elis Sulistiyani
( Komunitas Muslimah Perindu Surga)

Bagaikan sebuah bom waktu, skandal Jiwasraya kini tengah mengguncang tanah air. Mega skandal ini mencengangkan semua kalangan, mengingat kerugian yang dialami negara mencapai Rp 13,7 T. Seperti diungkapkan Jaksa Agung ST Burhanuddin. "Jadi Rp 13,7 triliun hanya perkiraan awal dan diduga ini akan lebih dari itu,". 
Selain itu kini Asabri pun tengah goyah akibat badai korupsi. Hal itu menyusul pernyataan Menteri Koordinator Bidang Poliitik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengatakan ada indikasi korupsi di tubuh Asabri. Meski belum diketahui secara pasti karena sedang dalam kajian, total kerugian negara diyakini mencapai Rp 10 triliun.

Skandal seperti ini seolah terus berulang dan tak berujung, mengingat ini menambah daftar sederet kasus korupsi yang. Seperti kasus Bank Century kerugian Rp 7 T, Pelindo (Rp 6 T), Bupati Kotawaringin Timur ( Rp. 5,8 T), BLBI ( Rp 4,58 T), E-KTP (Rp 2,3 T) dan Hambalang (Rp 706 M). Skandal ini hanya sebgian kecil dari kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. ( kompas.com, 17/01/2020)

Demokrasi Lahan Basah Praktek Korupsi

Sistem demokrasi yang begitu mahal dalam pengisian pejabat publiknya, menuntut para kontestannya untuk merogoh kocek yang dalam. Entah itu dengan menjual aset atau dengan berhutang. Seperti calon kepala desa di Kabupaten Jember, Jawa Timur mengeluarkan dana Rp 130 juta hingga Rp 150 juta. Biaya itu untuk berbagai keperluan, mulai ari pendaftaran, operasional panitia, pengamanan, logistik, dan transportasi pemilih.(tempo.co, 27/02/2013
Hingga akhirnya korupsi menjadi jalan pintas meraup pundi-pundi rupiah. Negeri ini kian kelimpungan mengatasi korupsi yang kian menggurita dan semakin menggila. Hingga  dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 lalu. Namun sederet sanksi ala demokerasi melalui KPK tak jua membuat jera. 
Pengamat ekonomi sendiri sebenarnya sudah menyadari bahwa korupsi yang melanda Indonesia ini sudah begitu sistemik. Seperti disampaikan Arim Nasim, Pengamat Ekonomi UPI Bandung, teori trias politika yang menyebut agar tidak korup maka kekuasaan harus dibagi menjai tiga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Semakin hari semakin menunjukkann kebohongannya. Karena eksekutifnya (presiden), bekerja sama dengan legislatif (DPR) untuk menentukkkan anggota yudikatif (dalam hal ini KPK) sama-sama sepakat untuk melinungi para koruptor kelas kakap. Melegalkan berbagai kejahatan dengan undang-undang untuk kepentingan diri dan kelompoknya, tidak untuk kepentingan rakyat banyak. (Media Umat,edisi 165, 21 Rabiul Awa-4 Rabiul Akhir H/1-14 Januari 2016).  Ambil contoh kasus BLBI, merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 trilyun. Namun kini tak terdengar lagi kelanjutan kasusnya. Jika kasus BLBI ini tak juga kunjung diselesaikan maka tahun 2022 akan berpotensi menjadi daluwarsa (evaluasi_kpk_2015-2019-icw_tii.pdf)

Berantas Korupsi dengan Aturan Illahi
Islam sendiri memandang adalah perbuatan kriminanl yang tidak termasuk kategori mencuri, sehingga tidak ada keharusan potong tangan. Karena Nabi menyatakan, “Bagi orang yang berkhianat (menyalahgunakan wewenang) dan koruptor tidak ada keharusan tangannya dipotong.”  
  Maka Islam memiliki cara untuk mencegah korupsi aparatur negara nya;
Pertama, negara Khilafah memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, skunder hingga tersier mereka. 
Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat. 
 Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka khilafah bisa merampasnya. 
 Keempat, khilafah juga menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi.
 
Seperti pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. 
 
Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu'man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi' bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.   

Maka inilah  saatnya kitapun merindukan dan memperjuangkan kembali hidup dibawah naungan Islam, dengan mengangkat panji Rasulullah yang Agung.
Wallaahu A’lam bishshowab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak