Oleh: Astriani Lydia,S.S
(Ibu Rumah tangga di Bekasi, narasumber beberapa kajian muslimah)
“Curah hujan yang tinggi diperkirakan akan terjadi hingga 12 Januari 2020”. Begitu kata Tri Handoko Seto (Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam keterangannya (Kamis, 9 Januari 2020). Ini berarti masyarakat harus mengantisipasi adanya kemungkinan banjir terjadi kembali.
Pada musibah banjir tahun ini, Kabupaten Bekasi terdampak paling luas mencakup 18 kecamatan. Selanjutnya DKI Jakarta 17 kecamatan, Kabupaten Bogor 13 kecamatan, Kota Bekasi 12 kecamatan, Kota Depok 11 kecamatan, Kota Bogor 6 kecamatan, Kabupaten Lebak 6 kecamatan, dan Kota tangerang Selatan 6 kecamatan (https://tekno.tempo.co tanggal 4 Januari 2020)
Menanggapi bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Lebak, kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, faktor utama terjadinya banjir di Kabupaten Lebak, selain hujan lebat di hulu sungai di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), juga disebabkan rusaknya (gundulnya) hutan di TNGHS akibat penambangan emas illegal. Sejumlah tambang pecah. Tambang yang ditinggalkan ambrol, longsor dan membawa bebatuan lumpur sehingga menyapu kawasan sepanjang daerah Sungai Ciberang.
Untuk wilayah Jakarta, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan bahwa ada lima penyebabnya: Pertama, terbatasnya kapasitas badan sungai akibat dari banyaknya bangunan yang berdiri di bantaran sungai. Kedua, besarnya volume sampah. Ketiga, saluran air banyak yang tersumbat sampah dan lumpur. Keempat, tidak maksimalnya fungsi penampung-penampung air berupa situ, danau, embung serta waduk. Kelima, daerah resapan air yang berkurang.
Banjir memang menjadi salah satu permasalahan tahunan di Indonesia. Jelas ini bukan hanya karena faktor alam semata bahkan juga bukan hanya problem teknis. Tetapi adanya permasalahan sistemik yang lahir dari diberlakukannya sistem kapitalis. Maka dibutuhkan solusi segera dan tuntas. Agar diketahui secara benar apa yang menjadi akar persoalannya.
Ahli Hidrodinamika ITB Muslim Muin menawarkan solusi Gerakan Lumbung Air (Gela). Menurutnya Gela merupakan solusi yang murah dan tidak membutuhkan biaya banyak. Gela merupakan soft engineering yang menjadi keharusan dank arena lahan yang terbatas, normalisasi sungai itu tidak bisa dilakukan. “seberapa normal yang dibilang normal itu?” kata Muslim.
Sementara ahli Meteorologi ITB Armi Susandi dalam diskusi tersebut menawarkan tiga solusi. Pertama, kesiapsiagaan banjir, kedua naturalisasi dan normalisasi sungai dan ketiga Teknologi Modifikasi Cuaca.
Sedangkan ahli perencanaan kota dan wilayah ITB Jehansyah Siregar membenarkan kata budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan bukan airnya yang masuk ke perumahan, tapi perumahannya lah yang masuk daerah air. “itu yang terjadi, jadi Jakarta itu memang daerah air.” Katanya.
Sepakat dengan pernyataan tersebut, saat ini tata kota dan pembangunan infrastruktur diserahkan pada kemauan kaum kapitalis beorientasi memenangkan bisnis dan tidak memperhatikan lingkungan, sementara itu masih terjadi kemiskinan massal yang mempengaruhi pola kehidupan (perumahan di bantar kali, tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan, dst). Khusus untuk Jabodetabek, dimuat pada laman mongabay.com, bahwa Guru Besar Manajemen Lanskap Departemen Institut Pertanian Bogor, Hadi Susilo Arifin,, lima tahun yang lalu sudah mengingatkan tentang penurunan kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Biru (RTB) di kawasan ini, yang akan menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor maupun kekeringan.
Penangan banjir di Indonesia tidak bisa dilakukan secara parsial. Karena penyebab terjadinya banjir bukan hanya satu faktor. Mulai dari pola hidup masyarakat hingga kegiatan pembangunan yang tidak bertanggung jawab turut andil atas terjadinya banjir. Masalah ini harus diselesaikan mulai dari hulu hingga hilir dengan melibatkan seluruh stakeholder terutama pemerintah pusat.
Seharusnya Indonesia meniru kebijakan yang dilakukan oleh Khilafah Islam. Kebijakan yang mencakup sebelum, ketika dan pasca banjir. Sebelum banjir Khilafah akan membangun bendungan-bendungan yang menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Berikutnya, Khilafah akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain), dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut atau jika ada pendanaan yang cukup, Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Khilafah juga akan membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase dan memecah penumpukan volume air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Tak lupa Khilafah membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu.
Berkaitan dengan aspek kebijakan, Khilafah akan membuat master plan tentang pembukaan pemukiman atau kawasan baru. Bagaimana penyediaan daerah serapan airnya, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya, dsb. Ketika semuanya terpenuhi dan tidak membawa kemudhorotan maka akan diberikan izinnya. Tetapi jika membawa kemudhorotan maka Khilafah berhak untuk tidak memberikan izin pendirian bangunan. Khilafah juga memberi sangsi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut. Selain itu, Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (Search And Rescue). Mereka dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah. Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Ada sanksi yang berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup. Dan yang tak kalah penting, Khilafah terus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.
Apabila terjadi bencana, Khilafah akan bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt. (mediaumat.com/www.globalmuslim.web.id)
Walhasil, solusi agar bencana banjir dan bencana – bencana alam lainnya tidak terulang kembali hendaknya para penguasa tidak hanya disibukkan dengan penyikapan yang sekuleristik yang hanya mengandalkan analisis dan keilmuan semata. Tetapi juga harus diimbangi dengan muhasabbah terhadap keimanan dan ketakwaan penguasa dan rakyatnya. Karena bisa jadi terjadinya musibah disebabkan karena kelalaian dalam menaati hukum dan aturan Allah SWT serta banyaknya kemaksiyatan yang terjadi di negeri tersebut. Wallahu’alam bishshowwab.
Tags
Opini