Bungkam Kritikus, Pemerintah Tampakkan Kebusukan Demokrasi


Oleh : Hetik Yuliati, S.Pd (Aktivis Dakwah, Guru)





Penangkapan Ahmad Khozinudin, SH, Ketua LBH Pelita Umat pada jumat 10 Januari 2020 pukul 02.30 oleh Tim Penyidik dari Direktorat Cyber Crime Mabes Polri, dengan status tersangka atas tudingan menebar hoax dan melawan penguasa, berdasarkan ketentuan pasal 14 ayat (2) dan 15, UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana dan/atau pasal 207 KUHP. Ahmad Khozinudin, diduga sebagai Nasrudin Joha alias Nasjo, penulis kritis yang sedang naik daun di media sosial. Meskipun belum ada bukti yang memberatkan Ahmad Khozinudin, namun proses hukum masih berjalan, bahkan seolah dipaksakan.


Sebelumnya pemerintah juga mengkriminalisasi para pengkritik pedasnya di media sosial, contohnya Faisol Abod Batis, yang ditangkap Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Rabu (17/7/2019). Ia disangka melanggar UU ITE menyusul unggahan di akun Instagram pribadinya, yang mengkritik Joko Widodo soal konflik agraria dengan menggunakan data (https://tirto.id/, 18/07/19).


Sebelumnya pemerintah juga melakukan pencabutan perizinan organisasi-organisasi masyarakat yang lantang menentang kebijakan pemerintah yang dinilai dzalim dan tidak pro rakyat, seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam. Kedua organisasi ini memang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah dinilai gagal dan pro terhadap penguasa dan para asing dan aseng.


Maraknya kriminalisasi terhadap para pengkritik kebijakan pemerintah, baik perorangan maupun organisasi masyarakat, menjadikan pemerintah seolah menolak kritik dan tidak ada kemauan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Bahkan tindakan pemerintah ini banyak mengundang kontra dari berbagai pihak yang mempertanyakan tentang: apakah pemerintah anti terhadap kritik?


Sikap keras pemerintah terhadap para pengkritik ini sangat tidak rasional. Bagaimana sebuah negara bisa berkembang dan maju, jika para pengkritik yang bertujuan memperbaiki kerusakan negara justru dikriminalisasi?


Indonesia saat ini, mengadopsi ideologi kapitalis demokrasi yang berasal dari barat. Ideologi ini kontradiktif dengan ideologi Islam, mengedepankan pemikiran manusia yang sifatnya terbatas dan membuang aturan islam yang berasal dari Alquran dan As-Sunnah. Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang dikoar-koarkan para pengadopsi ideologi kapitalis demokrasi sangat jauh dari kenyataan.


Meskipun di dalam negara demokrasi terdapat partai oposisi yang sering kali menentang kebijakan-kebijakan eksekutif, bahkan menggerakkan demonstran untuk menentang kebijakan penguasa, namun pada dasarkan tugas oposisi di dalam sistem demokrasi hanyalah untuk mencegah dan menyedot arus oposan guna memudahkan penetapan undang-undang, menerapkan keputusan-keputusan dan melaksanakan proyek yang telah diadopsi oleh kekuasaan yang mewakili mayoritas rakyat (Muhammad Husain Abdullah, 2002:170).


Berbeda dengan pemerintah dalam sistem Islam, yang selalu mengedepankan kritik dan saran dari umat dalam upaya perbaikan negara islam, bahkan memberikan wadah yang sangat terbuka dalam majelis umat. Mengkritik (muhasabah) yaitu metode syar'i untuk meluruskan kebengkokan penguasa dan mengembalikannya pada jalan kebenaran, apabila penguasa itu menyimpang dari jalan yang lurus yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (Muhammad Husain Abdullah, 2002:170).


Dalam islam, kritik dan saran adalah kewajiban setiap umat, dan ini merupakan tanggung jawab setiap individu maupun kelompok, seperti dalam firman Allah di dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 110, yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”


Jihad dengan menasehati penguasa yang zalim adalah sebuah kemuliaan yang sangat besar, seperti sabda Rasulullah SAW, dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).


Betapa busuknya sistem demokrasi yang hanya mengedepankan manfaat pribadi dan golongan. Alangkah Indahnya jika kita menggunakan sistem Islam, menasehati dan mengkritik dianggap sebagai cinta untuk menyelamatkan pemimpin dari siksa api neraka. Untuk itu mari kita kembali ke Islam dan mengembalikan segala permasalahan ke dalam al-Quran dan as-Sunnah, untuk mendapatkan ridhaNya. Wallahu a’lam Bish-Showab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak