Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Sebuah posisi atau jabatan adalah kursi empuk sekaligus ranjau. Tergantung siapa yang menduduki dan untuk tujuan apa duduk. Dalam hal ini sangat signifikan perbedaan pandangan terkait posisi atau jabatan antara demokrasi ( sistem hari ini) dengan Islam. Dalam demokrasi dimana asasnya adalah sekuler, pemisahan antara agama pengatur politik dan agama sebagai pengatur politik.
Sebagaimana posisi kita sebagai ibu rumah tangga. Ada banyak yang mencibir dan berusaha mengaburkan fungsi dan makna yang lebih dalam terkait ibu rumah tangga, perempuan, istri, dan ibu bagi anak-anaknya. Siapa lagi kalau bukan kaum feminis yang benci keteraturan. Lebih cinta kebebasan. Islam adalah agam yang teratur, makanya mereka berusaha membatasi ruang Islam mengatur umatnya. Dan mengkambing hitamkan syariah sebagai perusak tatanan negara.
Dalam sebuah acara, eorang peserta bertanya, "kita ini hanya ibu rumah tangga biasa saja, bagaimana mungkin kita menegakkan Khilafah? menyampaikannya saja mungkin orang sudah illfeell dengan kita. Apalagi sekarang kata Khilafah sedang booming tapi yang kontradiktif dengan penjelasan ustaza".
Jawab pemateri sungguh lugas, sederhana tapi tepat. Istilah kerennya smooth, short and sharp. Jangan labeli kita dengan ibu rumah tangga saja. Karena label itu sebenarnya dari Allah, Ummu wa Rabbatul bait, itu kan artinya ibu pemilik dan pengatur rumah tangga. Sama seperti Khilafah, jangan ganti dengan istilah lain, karena ia juga yang memberi nama adalah Allah SWT.
Maka yang jadi koreksi ketika menyampaikan adalah diri kita sendiri. Seberapa paham kita dengan istilah Khilafah. Jangan-jangan kita masih bingung dan belum terkerangka sehingga ketika menjelaskanpun orang tidak paham. Sehingga malah berbalik membenci Khilafah.
Islam itu mudah. Islam itu An narr dan An Nur, An narr (api) yang membakar semua kebatilan. Sedang An Nur memberikan cahaya kepada manusia sehingga secara alamiah manusia akan datang mengerumuninya. Maka, tak perlu kita berlebihan menjelaskan keindahan Islam. Cerita apa adanya. Namun perbanyak dan perdalamlah pemahaman kita dengan ilmu sehingga ketika menjelaskan bisa lebih mudah dimengerti.
Kembali kepada status ibu rumah tangga diatas. Jangan katakan ibu rumah tangga biasa saja. Tapi katakan kita adalah manusia. Punya hak yang sama dan diberi taklif yang sama dihadapan syariat. Maka manusiawilah. Artinya sebagai manusia kita gak harus mikir Khilafah itu akan tegak kapan dan dimana, karena itu ranah Qodhanya Allah, tapi pikirkan kontribusi apa yang bisa kita gunakan untuk menggapai janji Allah itu?
Sebab, hadist kembalinya Khilafah tegak di muka bumi ini sebagaimana riwayat Imam Ahmad bergandeng dengan firman Allah dalam Quran surat Ar-Ra'du: 11 bahwa tak akan ada perubahan pada diri suatu kaum kecuali kaum itu merubah dirinya sendiri. Merubah dengan apa? dengan ketakwaan. Dengan keterikatannya kepada syari'at Allah. Berhubungan lagi dengan penjelasan Allah dalam QS Ar Rum : 41, bahwa telah tampak kerusakan di muka bumi dan lautan disebabkan oleh tangan manusia.
Maka taklif itu untuk manusia. Sebab Allah telah beri akal dan potensi hidup. Maka sebagai apapun itu kita wajib menyampaikan Islam. Dan meninggikannya. Terlebih seluruh jasad kita memang tidak ditarik tarif penggunaannya oleh Allah, sepanjang usia kita gratis. Namun Allah meminta pertanggung jawaban untuk apa saja anggota tubuh kita digunakan. Sebab kitapun berdosa jika sudah tahu tentang Islam dan kebenarannya namun enggan menyampaikannya. Kelak diakhirat Allah akan memasangkan belenggu di leher kita.
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia mengetahuinya, namun dia menyembunyikannya, maka dia akan diberi tali kekang dari neraka pada hari kiamat”. (HR. Tirmidzi, no. 2649; Abu Dawud, no. 3658; Ibnu Majah, no. 264; dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani).
Maka, tak ada alasan kita hanya ibu rumah tangga biasa saja, kemudian kita tak menyampaikan Islam dan ajarannya. Namun sebagai apapun baik dengan pena sebagai penulis, pendakwah, guru, insinyur dan lain-lain punya kewajiban yang sama untuk berkontribusi kepada Islam. Sebab itulah tabungan masa depan kita di kehidupan berikutnya yang lebih abadi.
Menyikapi pernyataan suami yang seperti itu tentu bisa dimaklumi. Hari ini apa sih yang gratis. Bahkan amanah saja ada pamrihnya. Sebab hari ini ruh atau semangat yang melingkupi setiap manusia adalah kapitalisme. Untung rugi. Ada seorang bijak yang berkata, hari ini banyak pendidik yang justru merusak pendidikan, ulama merusak agama, pengusaha merusak ekonomi dan penguasa merusak rakyatnya. Dan itu karena kita telah melakukan THE BIG MISTAKE, yaitu mengambil demokrasi sebagai sistem negara dan pengaturan bermasyarakat.
Padahal dalam Islam, tidak semua amal berakhir dengan materi atau untung rugi. Terkadang tak kasad mata. Contoh, kita meminjami saudara kita uang, mungkin secara hitungan uang kita berkurang di dompet. Namun, ternyata akibat taawun yang kita lakukan lillahi taala, Allah menambah rejeki dari pintu yang tidak kita sangka. Bukan uang tapi keberkahan, kesehatan, waktu luang, sahabat lillah dan lain sebagainya.
Inilah yang kadang tak terlihat bagi pemuja kapitalisme, mereka begitu heran melihat seseorang yang rela berlelah-lelah hanya untuk menyampaikan Islam. Dibayar pun tidak, tapi hampir seluruh tenaga, waktu, uang, bahkan nyawanya semua untuk Islam. Jadi, jika hari ini aku hanya sebagai penerima tamu, itu masih kecil..belum seberapa, tapi aku berusaha untuk lillah...
Maka, frame berpikir kita memang harus dicuci bersih dari kapitalisme. Hidup bukan semata bicara untung rugi, tapi Allah Ridha tidak dengan apa yang kita perbuat. Sehingga kita boleh menjadi umat Nabi Muhammad yang dijanjikan telaga Kautsar selama di Padang Mashyar. Maka, kita manusia, manusiawilah!!. Wallahu a' lam bish-showab.