Oleh: Salma Banin, aktivis Mahasiswa, pegiat Pena Langit
Tahun kini telah berganti, evaluasi dan resolusi susul-menyusul seiring dengan tercapainya target atau malah meleset. Euforia tahun baru seringnya diiringi dengan do’a dan harapan akan kehidupan yang lebih baik dari 365 hari sebelumnya. Bagi kami rakyat, momen pergantian tahun tak ubahnya hari-hari biasa di negeri gemah ripah tercinta. Sekalipun banyak wajah ceria terlihat dijalan-jalan raya, sambil berkendara atau berkumpul bersama keluarga atau bercengkrama dengan teman sebaya pada malam yang hangat bersahaja. Sebagian lagi ada yang mengisinya dengan memenuhi nafsu bejar bersama, pergaulan bebas remaja tanpa pengawasan orang tua. Namun tak jarang pula kita temukan peluh keringat bercucuran dimana-mana sebab mencoba meraup sedikit rezeki sebab banyak manusia lebih konsumtif sebab memang sudah menganggarkan untuk liburan.
Potret yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Saat rakyat berpesta pora, para pemangku kebijakan tetap siaga didepan meja, maklum, sejak hari pertama sudah banyak janji yang menuntut untuk ditunaikan. Menurut cnbcindonesia.com (29/12), setidaknya ada empat tarif komoditas dan fasilitas publik yang naik di tahun 2020 ini, yaitu tarif tol, rokok, BPJS dan DAMRI.
Diawali oleh tarif Tol Cipali yang akan naik untuk golongan I menjadi Rp 107.500 dari Rp 102.000. Sedangkan golongan II naik menjadi Rp 177.000 dari Rp 153.000. Setelah ini, akan menyusul Tol Dalam Kota Jakarta, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa, dan Surabaya-Gempol yang mengalami kenaikan. Cukai rokok naik menjadi 23% dan 35% dari harga jual dinaikkan berdasarkan Permenkeu melalui Menkeu Sri Mulyani. Tarif BPJS yang sempat menjadi polemik sepanjang tahun kemarin karna kenaikannya yang mencapai 2x lipat juga dipastikan mulai berlaku tanggal 1 Januari. Terakhir tarif Bus DAMRI kenaikannya berkisar 10.000-15.000 untuk setiap rute.
*Gagal Fokus*
Problema negara ini sudah berlarut, bertambah kusut setiap harinya. Bukan Radikalisme, namun bagaimana menyelesaikan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah. Harapan untuk hidup sejahtera mulai tahun ini seketika pupus ketika melihat tagihan dan tanggungan kehidupan semakin tidak bisa direncanakan. Alih-alih membuka kesempatan kerja bagi rakyat sendiri, pemerintah lebih senang mempermudah peluang untuk tenaga kerja luar negeri. Iming-iming sepuluh juta lapangan kerja baru tampaknya belum menjadi prioritas untuk segera diwujudkan.
Lingkungan kerja yang sarat persaingan, pondasinya ditopang oleh kekuatan dari sektor pendidikan. Ini pun menjadi polemik sebab pemilihan menteri terkait dinilai belum tepat. Latar belakang bisnis dikhawatirkan akan mentransformasi orientasi kebijakannya ke arah itu. Mempersiapkan peserta didik sebagai buruh atau pekerja yang baik sejatinya bukanlah tujuan utama dan satu-satunya dari pendidikan. Pembentukan kepribadian beradab adalah yang lebih dibutuhkan manusia dimanapun dan kapanpun, sebelum mereka mempelajari lebih dalam ilmu pengetahuan yang menjadi passionnya. Lihatlah muda-mudi saat ini, lebih senang mengumbar kenakalan dibanding serius meraih prestasi belajar. Apa sebabnya? Pemerintah tak becus melihat akar permasalahan generasi. Seolah terpenuhinya kebutuhan fisik sudah mampu menjadikan setiap individu sejahtera. Betapa banyak manusia yang gagal mendapatkan tujuan hidupnya hingga sulit sekali menampilkan profil insan bertaqwa lebih bangga memamerkan gaya hidup sekuler dan liberal yang sudah sejak lama banyak menimbulkan korban.
*Akar Masalah*
Keberhasilan sebuah subsistem sangat ditentukan bagaimana paradigma suprasistem menyetirnya. Suprasistem kapitalisme yang dianut Indonesia telah mencapai nadir kerusakannya, kebijakan yang diambil tak lagi menguntungkan penduduk mayoritas, semua berpusat pada kepentingan kapitalis raksasa yang berjasa besar menghantarkan para penguasa duduk disinggasananya. Pun dengan politik pendidikan pesanan industri yang dibawanya, tak akan beranjak dari standar pekerja terampil yang siap pakai, lagi-lagi untuk menguntungkan para pemilik industri. Bagi paham materialisme, tak ada yang lebih penting dari uang, baik agama dan Tuhan sekalipun. Ketaatan pada Sang Pencipta tidak lebih penting dibanding mengejar target dunia, yang sejatinya tak pernah memberi bahagia.
Pandangan Islam tak bisa dijadikan standar bagi pembentukan sistem politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain di negeri ini, sebab sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) adalah keniscayaan yang dibawa bersamaan diterapkannya kapitalisme. Padahal Islam menawarkan konsep komprehensif yang telah menorehkan kegemilangan selama 13 abad lebih dalam naungan suprasistem yang berasal dari Allaah, Pencipta Semesta melalui Rasul-Nya yang mulia dan masih menjadi manusia paling berpengaruh sepanjang sejarah nomor satu sampai detik ini.
Dimasa itu, tidak hanya mampu mencetak generasi penemu (inventors) yang dasar ilmunya masih digunakan dalam pendidikan modern, juga menampilkan sosok-sosok pemimpin tangguh yang hanya takut pada Tuhannya, menihilkan dominasi penjajah seraya bertindak sebagai adidaya yang ditakuti negara-negara kompetitor disekitarnya. Gambaran inilah yang patut dipertimbangkan dan diulik kembali bagaimana penerapannya, sebab negara setara kekhilafahan lah yang dibutuhkan Indonesia bahkan dunia. Dimana manusia dimanusiakan sebagaimana fitrahnya, keadilan merata karna semua komponennya tunduk kepada hukum syara’ sebagai kedaulatannya. Tidak hanya muslim, umat non muslim pun hidup sejahtera didalamnya. Wallaahu’alam.