Banjir Terus Terulang, Salah Siapa?




Oleh: Ghoziyah Almustanirah
(Member AMK, Pemerhati Masalah Publik)

Innalillahi wainna ilaihi rojiun, Indonesia kembali berduka. Baru saja mengawali hari pertama di tahun 2020, di Indonesia khususnya wilayah Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, Jawa Barat, dan Banten mengalami musibah banjir. Tidak terhitung kerugian akibat musibah tahunan ini. Mulai dari harta benda, bangunan, fasilitas umum, bahkan nyawa. Kita ikut berduka dan harus berjuang bersama agar musibah ini segera teratasi. Korban bisa dievakuasi, yang meninggal dunia semua husnul khatimah. Harta benda yang rusak dan hilang semoga diganti dengan yang lebih baik. Semoga saudara-saudara yang ditimpa musibah diberi kesabaran dan semangat kembali, untuk menjalani kehidupan pasca musibah ini, aamiin.

Hujan deras sejak  Selasa, 31 Desember 2019 sore menjadi penyebab utama terjadi banjir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada sekitar 169 titik banjir di Jabodetabek termasuk Banten dan Jawa Barat. (Suaraislam.id, 2/01/2020)

BNPB juga mencatat ada 16 orang yang meninggal dunia. Lebih dari 31.000 orang terpaksa mengungsi akibat terdampak banjir di Jabodetabek. (bbcindonesia.com, 2/1/2020)

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyebutkan, banjir kali ini terjadi akibat penggundulan hutan, penyempitan, dan pendangkalan sungai. (Kompas.com, 02/01/2020)

Sementara banjir bandang di Lebak Banten, terjadi akibat perambahan hutan dan aktivitas penambangan emas ilegal. Kasus ini sedang didalami oleh  pihak kepolisian. Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan hal ini kepada Bantenhits.com, 07/01/2020.

Banjir terus terjadi, lalu apa dan siapa yang salah?

Menurut Fahmi Amhar, Profesor Riset Badan Informasi Geospasial (BIG) mengatakan jika banjir terjadi karena insidental, maka itu hanya masalah teknis. Namun, jika banjir terus berulang dan makin lama semakin meluas. Bahkan menimpa daerah yang biasanya tidak menjadi langganan banjir, maka ini ada masalah sistemik.

Secara sistemik dapat diatasi dengan membuat bendungan baru, menambah pompa air, membuat kanal baru, sumur resapan dan lainnya.

Tapi banjir yang terjadi saat ini bukan hanya masalah teknis atau sistemik semata. Ada tata kelola ruang yang tidak dipenuhi. Kemiskinan adalah alasan utamanya. Kemiskinan memaksa sebagian masyarakat harus  hidup di bantaran kali, di tempat yang tidak seharusnya. Kemiskinan juga yang membuat kesadaran membuang sampah tidak pada tempatnya. Ditambah tidak ada pengaturan yang tegas dalam hal ini. Faktor ekonomi  yang berbasis kapitalis membuat manusia serakah. Pembangunan didasari oleh kepentingan bisnis, sehingga tidak heran jika ada yang  menggunduli hutan. Mengalihfungsikan wilayah yang seharusnya sebagai resapan air menjadi perumahan, pusat pembelanjaan, pusat hiburan, dan  pabrik. 

Sistem kapitalis juga membuat anggaran untuk mengatasi bencana tidak optimal. Sehingga, saat bencana tiba, pemerintah tidak siap. Akhirnya, masyarakat harus berjuang sendiri atau berkelompok karena minimnya bantuan.

Pemerintah juga tidak cakap dalam mengawasi sarana dan prasarana publik. Sehingga, pembangunan tidak mengindahkan AMDAL dan berdampak terhadap masyarakat. Pembangunan fisik yang terus diburu, seolah dipaksakan mengabaikan faktor kemaslahatan. 

Selain itu, banjir ini seharusnya menjadi muhasabah bagi kita baik secara individu, masyarakat, hingga level negara. Secara individu kita harus sadar pola hidup yang baik. Tidak membuang sampah sembarangan, apalagi ke aliran air seperti kali dan sungai. Ketika membangun tempat tinggal atau tempat usaha harus memperhatikan aspek lingkungan juga. Negara juga harus menyiapkan aturan yang jelas dan tegas agar musibah ini tidak terus terulang. Pemerintah harus berani menindak oknum atau perusahaan yang terbukti menyumbang penyebab banjir ini. Oknum atau perusahan yang terbukti menggunduli hutan ditindak tegas dan dibuat jera.

Bangunan yang tidak pada tempatnya harus ditertibkan dengan memindahkan ke tempat yang seharusnya. Tentu dengan cara yang baik dan tidak merugikan pihak manapun.

Lebih dari itu, banjir ini harusnya membuat kita taubatan nasuha. Sebab, semua ini adalah akibat perbuatan kita. Banyaknya kemaksiatan, kezaliman yang terjadi akibat diterapkannya sistem sekularisme-kapitalisme. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan materi sebagai tujuan utama, bukan ridha Allah Swt.

Indonesia telah dianugerahi SDA yang begitu melimpah. Namun, karena salah kelola, bukan kesejahteraan yang kita dapat, tapi kesulitan demi kesulitan hidup. Sumber daya alam yang melimpah dirampok bahkan diserahkan dengan ikhlas kepada asing dan aseng. Negara bukan lagi menjadi pelayan bagi rakyatnya, tapi pedagang yang menghitung untung dan rugi.

Nikmat yang begitu besar harusnya membuat kita bersyukur dengan menjadi manusia yang bertakwa. Namun, hari ini penguasa negeri sedang mengidap islamofobia. Islam yang seharusnya menjadi sumber aturan, malah ditakuti. Islam dan penganutnya justru dikriminalisasi dan  dinistakan. Akhir tahun 2019 pemerintah melalui Kementrian Agama mewacanakan penghapusan ajaran Islam yaitu Khilafah dan Jihad. Sebelumnya juga marak kasus penghinaan terhadap ajaran Islam, bahkan pada panutan kita Nabi Muhammad Saw.

Sistem sekuler membuat negara juga abai dalam menjaga akidah rakyatnya. Sudah menjadi rahasia umum jika di negeri ini terjadi toleransi yang kebablasan. Atas nama toleransi, umat Islam ikut dalam perayaan hari besar non muslim dan tradisinya. Latah mengucapkan selamat Natal bahkan terlibat dalam ritual mereka. Malam tahun baru yang sejatinya adalah bukan dari Islam, justru umat Islam paling semangat merayakannya.

Bukan sekedar perayaan, tapi diwarnai maksiat. Meniup terompet, menyalakan kembang api adalah perbuatan menyerupai non muslim yang terlarang untuk dilakukan. Bahkan, saat malam pergantian tahun tidak sedikit muda-mudi, bahkan yang sudah mempunyai keluarga melakukan maksiat (zina). Ini semua terbukti dari omset penjualan alat kontrasepsi (kondom) yang meningkat drastis, penginapan yang full booking, dan ramainya pusat hiburan malam.

Jangan menganggap banjir hanya sekedar masalah teknis dan faktor alam. Namun, ini adalah teguran dari Sang Pencipta agar manusia kembali ke jalan yang benar.

Allah berfirman dalam surat Ar Rum ayat 41-43 yang berbunyi:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan  mereka. Agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: 'Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah'. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya), pada hari itu mereka terpisah-pisah."

Jadi, hendaknya banjir ini menjadi pelajaran untuk kita secara individu, masyarakat, dan negara. Sehingga, kembali mengikuti aturan Illahi. Sebab, hanya dalam aturan Islam ini keberkahan hidup bisa kita rasakan. Saatnya kita mengubah pola hidup dan membuang pandangan hidup kapitalis demokrasi dan menerapkan Islam secara kafah. Bukan saatnya mencari apa dan siapa yang salah, tapi bagaimana memperbaiki kesalahan tersebut agar tidak lagi dilakukan. Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak