Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)
Mimpi apa Ety semalam? Ya, Ety ( bukan nama sebenarnya) tentu tak menduga sebelumnya jika air mulai menyambangi rumahnya saat dini hari. Tepatnya pukul 02.00 WIB saat semua penghuni lelap tertidur. Ety menyebutkan, banjir merendam kediamannya dalam hitungan menit. Ety terpukul. Terbayang tak satu pun barang dan harta miliknya yang berhasil ia selamatkan. (tribunnews, 2/1/2020)
Malangnya, Ety tak sendiri. Banyak Ety-Ety lainnya yang tak kuasa menjadi korban banjir. Memang musibah sejenis seperti sudah menjadi agenda rutin tiap tahun di Jakarta. Namun setiap kali terjadi selalu menyisakan duka lara bagi warga. Tak sedikit kerugian yang diderita. Mulai dari kehilangan harta benda hingga -maaf- nyawa. Teruntai doa buat mereka yang kini bersedih, semoga diringankan sulitnya, dimudahkan segala sesuatunya. Aamiin.
Banjir Kapitalisme?
Mencermati persoalan banjir di Jakarta, jelas terlihat masalahnya tak sekedar air. Curah hujan yang tinggi memang membuat debit air meluap. Tapi tidakkah hal tersebut terjadi setiap tahun di musim hujan? Apa yang membuat tiap tahunnya tampak semakin parah akibatnya?
Jujur saja, gonta-gantinya pemimpin pun nyatanya tak kunjung menelurkan tuntasnya solusi. Upaya perbaikan secara teknis bukan tak pernah dilakukan. Apa daya, selalu saja banjir berkunjung setiap tahun.
Maka percuma mencari siapa yang salah. Harus disadari soal banjir berarti soal sistemis. Menyangkut orientasi kebijakan yang selama ini dianut. Ke arah kemaslahatan publik atau justru untuk kepentingan individu maupun swasta.
Tak dipungkiri selain air, ideologi kapitalisme sejak lama membanjiri negeri ini. Buahnya jelas terlihat, pembangunan negara dijalankan seperti halnya perusahaan swasta yang profit-oriented. Berupaya sebesarnya untuk mencari keuntungan, bila perlu dengan modal sekecil-kecilnya.
Bukan hanya itu kerusakan yang ditimbulkan oleh penerapan kapitalisme. Lahan yang sebelumnya untuk kepentingan rakyat disulap menjadi area perindustrian, perdagangan dan perkantoran. Lagi-lagi dengan semangat mengejar fulus.
Bagaimana dengan AMDAL? Selamat tinggal. Sebab bila tak demikian, proyek bisa terancam gagal total. Terbukti Kementerian ATR/BPN tengah mengkaji penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (cnbcindonesia, 29/11/2019)
Pembangunan kompleks industri dan gedung perkantoran serta infrastruktur secara brutal -apalagi bila AMDAL jadi dihapuskan - akhirnya menyebabkan rendahnya persentase ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air. Wajar bila rawan banjir.
Solusi teknis sebenarnya tak kurang dilakukan. Kabar terbaru, proyek normalisasi Sungai Ciliwung telah dilaksanakan. Dari rencana pembangunan tanggul normalisasi sepanjang 33,69 Km, apa boleh buat realisasinya baru mencapai 16,19 Km.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah, menjelaskan bahwa mandeknya proyek ini karena terkendala pembebasan lahan. (cnbcindonesia, 3/1/2020)
Ya, tentu saja proyek terkendala.
Pasalnya, sebagian besar tanah di Jakarta sudah berganti aspal dan beton. Membongkarnya akan menimbulkan masalah sosial-ekonomi yang kompleks, cenderung mustahil dilakukan.
Terlebih pulau-pulau sudah keburu direklamasi. Sebelumnya mantan Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti juga heran,
"Saya dengarnya mau bangun bendungan. Tetapi bendungan belum jadi, pulau-pulau reklamasi sudah terjadi. Jadi ya tempat airnya ke mana?" ucap Susi. (detiknews, 4/10/2016)
Selain itu, kepadatan penduduk ikut andil menambah ruwet persoalan. Sebab demografi yang padat otomatis berimbas pada masalah tempat tinggal dan sampah rumah tangga yang dihasilkan. Tampak dari banyaknya warga yang terpaksa tinggal di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) berhubung tak ada pilihan lain.
Tambahan lagi, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan membuat masalah semakin kompleks. Slogan yang sejatinya bersumber dari hadits Rasul Saw, ‘kebersihan bagian dari iman,' seperti telah jadi kenangan. Wajarlah sebab kapitalisme berasas sekularisme alias pemisahan agama dari kehidupan.
Singkatnya, masalah banjir di Jakarta terkategori sistemis-ideologis. Buah dari kapitalisme yang abai pada lingkungan.
Lalu mau sampai kapan problem banjir dapat teratasi dan tak datang kembali?
Bisa, Asal Ada Syaratnya
Saat banjir tahun 2016 lalu, ibu Susi sempat berkomentar mengenai bagaimana seharusnya sikap pemerintah,
“Harusnya menjadi government driven bukan private driven," ujar beliau. (detikNews, 4/10/2016)
Setuju. Private driven identik dengan tunduknya penguasa pada ambisi para kapitalis pemegang modal. Untuk itu tinggalkan kapitalisme yang terbukti hanya menggiring untuk maju tak gentar membela yang bayar. Sebagai gantinya terapkan ideologi dari langit. Apalagi kalau bukan Islam.
Mengapa? Karena Islam menjamin pembangunan harus selalu menjaga kesetimbangan lingkungan. Tak seperti kapitalisme yang sarat dengan berbagai kepentingan.
Firman Allah SWT,
“ Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” “Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu.......” ( TQS Al A'raaf: 56-57)
Dari ayat tersebut jelas, hujan maupun banjir sungguh tak lepas dari kehendak Allah. Hanya saja Allah SWT juga memerintahkan untuk menjaga lingkungan. Mengelola semaksimal mungkin untuk kebaikan publik secara keseluruhan. Tidak untuk diserahkan ke swasta demi lembaran-lembaran senilai uang.
Sejarah mencatat di masa kekhilafahan Islam, banjir pernah beberapa kali melanda Ka'bah, di Masjidil Haram, Mekah.
Saat banjir melanda, pemerintah setempat segera memperbaiki sistem drainase di sekitar Ka'bah. Perbaikan lain juga dilakukan supaya kegiatan beribadah mereka yang beragama Islam tidak terganggu.
Alhasil tata kota dan peradaban dalam Islam dikelola dengan visi jangka panjang. Orientasinya jelas berpihak pada rakyat. Tak sekedar pencitraan. Bukan pula dengan membangun infrastruktur dengan ugal-ugalan.
Satu hal lagi, menerapkan ideologi Islam tak mungkin tanpa tegaknya syariah kaffah sesuai warisan Rasulullah. Ironisnya kini tak jarang yang menganggapnya terpapar radikalisme bahkan dikriminalisasi. Padahal Allah SWT begitu menyayangi manusia, makhluk ciptaan-Nya.
“Allah yang menjadikan bumi itu mudah untuk kalian, maka berjalanlah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian rezeki-Nya dan kepada-Nya lah tempat kembali.” (TQS Al Mulk :15)
Wallaahu a'lam.