Banjir , Efek Pembangunan Kapitalistik



             Oleh : Nurul Afianty, SP
          Pemerhati masalah sosial

Memasuki tahun baru 2020, bertepatan dengan 1 Januari, sebagian masyarakat di negeri ini kembali ditimpa kesedihan, setelah sebelumnya sebagian masyarakat dunia, termasuk Indonesia merayakan gegap gempita pergantian tahun. Curah hujan yang tinggi mengguyur beberapa wilayah di Indonesia. Banjir pun menjadi kado pahit awal tahun yang tak terelakkan.  Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyebut, banjir yang terjadi di sejumlah wilayah akibat penggundulan hutan, penyempitan dan pendangkalan sungai hingga pembangunan yang jor-joran. "Banjir terjadi di mana-mana, tidak usah saling menyalahkan karena ini kesalahan kolektif bersama," kata Dedi melalui sambungan telepon, Kamis (2/1/2020).

Dedi menyebut, banjir juga disebabkan oleh pembangunan properti yang jor-joran, tanpa mengindahkan tanah rawa, sawah dan cekungan danau. Semuanya dibabat habis. Selokan kecil, kata dia, selalu menjadi korban tembok rumah baik berskala kecil maupun berskala besar. Sehingga, saat hujan datang, banjir pun tiba secara bersama. "Seolah kita membenci selokan, membenci sungai, membenci rawa, membenci kebun, membenci sawah dan membenci hutan," tambahnya. Berangkat dari hal itu, Dedi mengajak semua pihak memperbaiki kesalahan, termasuk membenahi tata ruang dan bangunan (Kompas.com, 2 /01/2020).

Sebaliknya, sebagaimana dilansir oleh laman VivaNews.com (jumat, 3/01/2020), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono membantah banjir di beberapa wilayah Jabodetabek karena masifnya pembangunan infrastruktur tanpa mengindahkan lingkungan. Hal ini senada dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang tidak mau menyalahkan pembangunan infrastruktur.  Basuki meyakini masifnya pembangunan infrastruktur tidak mengurangi daerah resapan air. Basuki pun memastikan pembangunan infrastruktur secara keseluruhan, seperti misalnya jalan tol sudah memiliki kajian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).  Sementara itu, terkait AMDAL yang rencananya juga akan disederhanakan melalui Omnibus Law nanti, Basuki menegaskan, itu hanya untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) permukiman.

Berbagai program yang dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi banjir sejauh ini hanya memberikan solusi tambal sulam. Mengingat permasalahan banjir yang belum selesai di negeri ini. Apalagi belakangan ini dampak banjir sangat mengerikan karena telah mengakibatkan korban harta dan jiwa. Serta berulangnya musibah banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Jika kita perhatikan, berarti ada yang kurang tepat secara sistemik dalam pengaturan tata kelola kota. Sehingga, usaha mengatasi banjir secara teknis tidaklah mencukupi, karena masalahnya ada pada sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu Sistem Kapitalisme-Sekuler. Sistem kapitalisme yang menganut ide kebebasan, telah memberi ruang seluas-luasnya bagi siapapun dalam hal berekonomi, termasuk penguasa dan pemilik modal (pengusaha) untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Berbagai kebijakanpun dibuat untuk mendukung dan memberikan kemudahan berinvestasi untuk pembangunan. Pembangunan yang jor-joran yang tidak diiringi dengan analisis dampak pada lingkungan sekitar.  Apalagi di kota-kota dengan merk Metropolitan. Sehingga wajar mengakibatkan banjir yang cakupannya semakin luas karena hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Padatnya jumlah penduduk di ibukota juga berimbas pada banyaknya jumlah sampah yang ada. Kondisi ini semakin diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang belum sadar pentingnya membuang sampah pada tempatnya hingga akhirnya sampah banyak menumpuk di got-got dan sungai-sungai. Ketika turun hujan, sampah-sampah ini menghambat aliran air dan menyebabkan sungai meluap hingga terjadilah banjir. Kemiskinan masyarakat juga menjadi salah satu penyebab. Mereka membangun tempat tinggal di sekitar bantaran sungai.  Yang seharusnya di daerah itu tidak boleh ada pemukiman warga. Kesimpulannya, banjir yang terjadi terus-menerus setiap tahunnya di Jakarta dan sekitarnya tidak akan selesai hanya dengan penyelesaian secara teknis saja. Solusi satu-satunya yaitu dengan mencampakkan kapitalisme. Karena kapitalisme telah terbukti melahirkan banyak kebijakan yang hanya berpihak pada kepentingan penguasa dan pengusaha. Sistem Kapitalisme telah menyebabkan berbagai kerusakan dan bencana.
Islam menjamin pembangunan harus selalu menjaga keseimbangan lingkungan. Hal ini karena prinsip tata kota dalam Islam dikembangkan dengan memberikan daya dukung lingkungan, karena Islam melarang bersikap zalim baik terhadap sesama manusia, hewan dan tumbuhan. Islam juga menetapkan tentang status kepemilikan harta yang terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan umum, negara dan individu. Kepemilikan umum dan negara berupa sumber daya alam seperti ,tambang dan mata air tidak boleh dikuasai atau diserahkan pengelolaannya pada individu, baik lokal maupun asing untuk diprivatisasi. Negara tidak berhak mengubah kepemilikan umum (milik masyarakat) menjadi milik individu, apapun dalihnya, termasuk membiarkan pembangunan pemukiman yang mengancam keberadaan daerah tersebut. Pembangunan pemukiman atau fasilitas publik lain dilakukan dengan mengutamakan faktor sanitasi karena Islam sangat menjunjung tinggi kebersihan, maka saluran pembuangan pun menjadi aspek yang tidak boleh ditinggalkan, termasuk saluran drainase yang memudahkan air mengalir dengan daya tampung yang mencukupi.

Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir. Pada masa khilafah Islam, secara berkala, khilafah mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, khalifah juga melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, atau danau. Khalifah juga membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Tak lupa, Khalifah pun akan cepat tanggap menangani korban-korban bencana alam,  segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khalifah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Kemampuan peradaban Islam dalam mengatasi banjir dan bencana lain bertahan selama berabad-abad. Ini adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada Allah Swt dan ketekunan mereka mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir. Demikianlah sejarah gemilang ketika sistem Islam diterapkan di muka bumi ini. Negara Islam (Khilafah) telah terbukti nyata kemampuannya dalam mengatasi banjir. Maka dari itu, jika kita ingin mengatasi masalah banjir secara tuntas, sudah semestinya kita mengembalikan segala sesuatu hanya kepada sistem Islam saja. Yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. Selanjutnya, bersegera mencampakkan sistem Kapitalisme-sekuler sebagai biang dari segala kerusakan dan bencana. Sebab, berharap pada sistem Kapitalisme-sekuler untuk merealisasikan program-program maslahat bagi rakyat adalah harapan semu. Karena sudut pandang yang digunakannya bukanlah ri’ayah (mengurus) rakyat, tapi ‘deal-deal’ politik dan kepentingan antara penguasa dan pengusaha. 


Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak