Oleh : Siti Aisah, S. Pd
Pendidik Generasi dan Member AMK
Banjir datang bak tamu tak diundang, setiap musim penghujan. Di satu sisi datangnya sebagai pertanda musim tanam bagi para petani. Keberkahan hujan pun dinanti. Namun di sisi lain, hujan menjadi tanda adanya banjir yang melanda. Intensitas hujan yang diperkirakan tinggi membuat warga Patimban khususnya masyarakat Kampung Genteng, Desa Patimban, Kecamatan Pusakanagara, Subang, mereka mulai khawatir rumahnya terendam banjir akibat meluapnya Kali Mataram. Tahun lalu, selama dua bulan rumah mereka terendam banjir, apalagi sekarang Kali Mataram sudah mulai dangkal karena beberapa tahun belum dikeruk atau dinormalisasi. Sehingga Kali Mataram bisa kapan saja meluap. (mediajabar.com, 10/01/2020)
Perlu disadari, banjir yang terjadi saat ini bukanlah banjir yang insidental. Artinya banjir ini selalu terjadi berulang dari tahun ke tahun, dan semakin parah. Andaikan banjir terjadi karena persoalan teknis belaka, atau hanya bersifat insidental. maka solusinya tiada lain pembuatan kanal, pengerukan lumpur atau normalisasi sungai atau tanggul baru. Namun jika persoalan ini terjadi berulang-ulang dan tidak menemukan solusi yang tepat dan cepat, berarti masalah banjir ini adalah masalah sistemik. Maksudnya adalah bencana banjir yang menjadi langganan ini bukan sekadar fenomena alam semata, atau bagian dari ketetapan Allah, akan tetapi karena ulah tangan manusia.
Pada faktanya air itu memerlukan tanah resapan dan daerah aliran. Dan banjir akan terjadi jika hutan-hutan ditebang. Lahan-lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai tanah resapan air berubah fungsi menjadi gedung dan pemukiman, serta pembangunan yang serampangan tanpa mengindahkan AMDAL, saluran air, dan drainase. Maka inilah faktor pemicu banjir datang berulang.
Penyebab semua ini tidak lain karena penguasa memberikan legitimasi. Dilansir oleh antaranews.com, Prof Dr Ing Ir Suprihatin, menyatakan kajian terhadap analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) penting dilakukan sebagai salah satu upaya mengantisipasi bencana termasuk banjir yang selama ini sering diabaikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tak hanya itu, Pakar lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor (IPB) itu pun kembali menegaskan bahwa Amdal tidak hanya berguna untuk memperkirakan dampak terhadap lingkungan oleh rencana kegiatan proyek tertentu sehingga dapat meminimalisasi terjadinya bencana, tapi juga dapat mengantisipasi jumlah kerugian yang mungkin timbul dari adanya bencana akibat kerusakan lingkungan. (antaranews, 9/1/2020)
Dan dilansir oleh okezone.com, kondisi ini sangat disayangkan, karena tahun 2018 lalu pemerintah melalui Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pengecualian Kewajiban Menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Untuk Usaha Dan/Atau Kegiatan yang Berlokasi didaerah Kabupaten/Kota yang Telah Memiliki Rencana Detail Tata Ruang. (okezone.com, 08/11/2019)
Hal ini memberi peluang besar kepada para investor untuk berbondong-bondong menanamkan investasi di negeri ini. Karena hambatan yang sering dikeluhkan adalah rumitnya birokrasi perizinan sehingga pemerintah berupaya untuk menyederhanakan perizinan melalui penghapusan Amdal. Atas nama penyederhanaan birokrasi dalam mendorong investasi, inilah yang menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini membentuk negara menjadi sebuah perusahaan yang profit-oriented. Artinya negara berupaya menghasilkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Sistem ini pun mengabaikan aspek pelestarian alam, tidak memperhatikan keberlangsungan lingkungan dan kehidupan manusia. Alhasil tata kota semrawut, bencana terjadi di mana-mana. Tak sedikit bencana yang terjadi dikarenakan mengabaikan AMDAL ini, seperti dilansir oleh kompas.com, robohnya gedung Slipi yang diduga kuat karena terdapat genangan air di rooftop gedung, sehingga membuat dinding di samping gedung lapuk hingga roboh. (kompas.com, 6/01/2020)
Alih-alih atas nama pembangunan, sejumlah infrastruktur, dan pembangunan pemukiman yang tak mengindahkan AMDAL akan tetapi sejatinya hanya menguntungkan segelintir orang. Inilah ciri khas dari sistem kapitalisme. Para kapitallah (pemilik modal) yang diuntungkan sedangkan rakyat dirugikan. Faktanya yang terjadi adalah sebaliknya, pembangunan lingkungan sekitar didasarkan pada kebutuhan industri dan perkantoran. Hasilnya, tata kota jadi berantakan. Oleh karena itu peristiwa ini bukanlah qadha atau peristiwa alam biasa.
Islam hadir tidak sekadar menjadi agama ritual akan tetapi mengurusi setiap aspek kehidupan, pun masalah banjir. Terhadap banjir, khilafah akan melakukan langkah pencegahan dengan membangun sistem drainase yang berkualitas dan profesional. Dalam hal kebijakan politik, khilafah juga dengan serius memperhatikan daerah-daerah yang menjadi daerah resapan, daerah cagar alam dengan mengeluarkan undang-undang tentang perizinan membangun bangunan, dan sebagainya. Ketika banjir itu akhirnya terjadi, maka dengan cepat khilafah akan segera bertindak dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt. Pemimpin dalam islam atau bisa disebut khalifah atau penguasa dalam negara islam (khilafah). Tapi jangan dibayangkan sama dengan penguasa-penguasa negeri Muslim hari ini yang hanya sibuk dengan pencitraan dan bermental pedagang dengan rakyatnya. Sehingga kegiatan untuk mengurusi rakyat tidak lagi menjadi hal utama dalam pemerintahannya.
Negara di dalam Islam berfungsi sebagai periayah rakyat, rakyat akan dilayani seluruh hajat hidupnya. Mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Tidak seperti penguasa hari ini yang berfungsi hanya sebagai regulator, bahkan pebisnis. Maka wajar seluruh kebijakannya tidak pro terhadap rakyat. Namun, jika penanganan banjir masih mengadopsi dari sistem kapitalisme maka tidak akan terwujud daerah bebas banjir. Hanya kerusakan yang tersisa. Maka masyarakat harus menyadari bahwa sistem kapitalisme tidak akan mampu mengatasi segala persoalan yang ada di negeri ini. Karena berasas dari pemisahan kehidupan dari agama (sekulerisme).
Tapi ketika Harapan penanganan banjir ini masih pada negara dan penguasa yang masih mengadopsi ekonomi kapitalisme ini adalah mimpi di siang bolong yang hanya akan berujung pada pengharapan yang sia-sia. Cukuplah hari ini pemerintah bekerja tambal-sulam, mengatasi banjir. Saatnya kita bekerja cerdas dengan meninggalkan jauh sistem kapitalisme dan kembali pada sistem islam yang paripurna. Sungguh Indonesia pasti lebih baik dengan khilafah.
Saatnya sistem kapitalisme yang rusak dan merusak ini digantikan dengan sistem terbaik, yaitu sistem Islam yang berada dalam institusi daulah khilafah islamiyah. Karena hanya kepemimpinan dalam Islam yang mampu mengurusi seluruh kebutuhan rakyatnya. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat akan terwujud.
Wallahu ‘alam bishshawab.
Tags
Opini