Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Duka telah mengawali tahun 2020. Sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dikepung banjir pascahujan dengan intensitas tinggi yang terjadi sejak Selasa (31/12/2019).
Berdasarkan laporan peringatan dini prakiraan cuaca dari BMKG, pada penghujung tahun hingga awal tahun 2020, wilayah Jabodetabek memang diperkirakan terkena hujan berintensitas menengah hingga tinggi.
Hingga Kamis (2/12/2019), setidaknya 9 orang meninggal dunia dan lebih dari 19.000 orang mengungsi. Tak terhitung harta benda yang terendam. Bahkan mobil-mobil mewah turut hanyut tersebab derasnya arus banjir.
Di Bekasi, ribuan rumah penduduk di bantaran Sungai bekasi wilayah Jatiasih terendam hingga 1-1,5 meter atau seleher orang dewasa akibat air kiriman dari Bogor.
Di Jakarta, dikabarkan banjir tahun ini adalah banjir terparah di Jakarta selama 30 tahun terakhir. Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti, pada 2016 pernah mengatakan bahwa banjir di Jakarta bukan sesuatu yang aneh bila dilihat dari kacamata lingkungan hidup.
“Kalau kita orang lingkungan hidup dengan (melihat) pembangunan Jakarta ini terutama tata kelola air, kita sih bilang Jakarta banjir ya tidak aneh. Wong the way it’s designed and constructed right now, it’s a flood in program,” kata Susi dalam diskusi tentang reklamasi di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (4/10/2016) silam.
Bukan hanya Jabodetabek, bencana banjir juga melanda pulau Kalimantan persisnya di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Diketahui banjir terjadi akibat sungai Raya Belanti yang meluap pascahujan, hingga menggenangi Jalan Pantai Belanti, Kecamatan Binuang, dan menyebabkan 30 rumah warga yang dihuni 118 jiwa terdampak.
BMKG mengingatkan bahwa kondisi yang lebih parah bisa terjadi, mengingat puncak musim hujan diperkirakan baru akan dimulai pada rentang Februari hingga Maret yang mendatang.
“Cuaca ekstrem dan hujan lebat selama 1 sampai 4 Januari 2020 berpotensi turun di Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono Rahadi Prabowo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (01/01/2020).
Selama periode itu, cuaca ekstrem dan hujan lebat juga berpeluang meliputi wilayah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara Maluku dan Papua.
Selanjutnya, dari 5 sampai 7 Januari 2020, cuaca ekstrem dan hujan lebat diperkirakan meliputi wilayah Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Kalau kita cermati, banjir Jakarta bukanlah insidental dan teknis semata, melainkan soal sistemis-ideologis, yakni terkait ideologi yang diterapkan. Sehingga, usaha mengatasi banjir secara teknis tidaklah mencukupi, karena masalahnya ada pada ideologi yang diterapkan negara, yakni kapitalisme.
Kapitalisme didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Imbasnya, negara dibentuk seperti perusahaan yang harus profit-oriented. Untuk bisa menghasilkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, kapitalisme mengabaikan satu fundamental alam, yakni keberlanjutan lingkungan.
Pembukaan lahan dilakukan tanpa memerhatikan AMDAL, melainkan melalui deal-deal di belakang layar. Tata kota yang dihasilkan pun akhirnya menjadi tidak rasional. Tata kota diserahkan pada mekanisme pasar ala kapitalisme yang praktis mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Pengelolaan kota hanya mengandalkan visi jangka pendek lima tahun sesuai dengan mekanisme demokrasi.
Tidak seperti kapitalisme, Islam menjamin pembangunan harus selalu menjaga kesetimbangan lingkungan. Ekonomi Islam tidak tersentralisasi dan berorientasi pertumbuhan, melainkan berorientasi pada distribusi. Sehingga, aktivitas ekonomi akan merata di seluruh penjuru negeri, yang berimbas pada menurunnya kepadatan kota Jakarta.
Untuk menerapkan ideologi Islam, tentu butuh institusi penerapnya, yakni Khilafah. Tanpa eksistensi Khilafah, mustahil bisa menyelesaikan masalah banjir Jakarta (dan kota-kota satelitnya) secara tuntas. Sayangnya, saat ini Khilafah yang notabene ajaran Islam, terus dimonsterisasi dan dikaburkan realitas fikih dan historisnya oleh rezim penguasa.
Selain itu, sebagai hamba Allah, manusia selayaknya tetap waspada dan menjadikan musibah ini sebagai bahan muhasabah: sudahkah perilaku dan pengaturan seluruh aspek kehidupan –baik pergaulan, ekonomi, bahkan pemerintahan– selaras dengan tuntunan Sang Pencipta Alam Semesta?
Harus disadari, Allah sebetulnya hendak menguji kesabaran manusia (QS al-Baqarah [2]: 155-157) sekaligus peringatan agar manusia terdorong rajin muhasabah (introspeksi diri), betapa manusia sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan kemahakuasaan Allah Swt. (QS ar-Ra’d [13]: 41).
Muhasabah tentu sangat penting. Dengan itu, setiap muslim bisa mengukur sejauh mana ketaatannya pada perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya, serta setiap saat terdorong untuk terus berupaya untuk selalu taat kepada Allah Swt. serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya.
Wallhu a’lam bi ash showab