Oleh: Ummu Sabiya
Kasus perkosaan yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Reynhard Sinaga, di kota Manchester, Inggris, membuat publik internasional tak terkecuali di tanah air dibuat terkejut. Pasalnya, aksi bejat pria kelahiran 19 Februari 1983 itu menelan korban sekitar 159 pria.
Reynhard sendiri telah menerima hukuman seumur hidup atau setara dengan 30 tahun penjara oleh pengadilan Manchester pada Senin (6/1/2020). Tindakan amoral Reynhard Sinaga tersebut memberi rentetan dampak di Indonesia sekaligus mempengaruhi perlakuan publik Manchester terhadap WNI lainnya.
Dilansir melalui REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK. Wali Kota Depok Muhammad Idris geram dan menyayangkan kasus kekerasan seksual sesama jenis yang dilakukan Reynhard Sinaga di Manchester, Inggris.
Agar hal serupa tidak terjadi di Kota Depok, dia menginstruksikan Perangkat Daerah (PD) di ataranya Satpol PP, Dinas Kepebdudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Dinas Sosial dan Dinas Perlidungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) untuk ikut aktif dalam mengatasi persoalan kriminalisasi seksual.
Dia mengatakan peningkatan upaya pencegahan ini guna memperkuat ketahanan keluarga. Perlindungan terhadap anak khususnya, tentu sangat penting agar masyarakat tidak resah.
Idris mengutarakan, tidak hanya razia, pihaknya juga akan membentuk crisis center khusus korban LGBT. Termasuk melakukan pendekatan kepada lembaga-lembaga terkait untuk kerja sama dalam pembinaan warga. (11/1/2020)
Rupanya, kasus Reynhard Sinaga ini memicu beberapa kebijakan pemerintah untuk kembali memperkuat pendidikan keluarga agar dapat mencegah perilaku LGBT tersebut. Namun apakah cukup dengan pendidikan keluarga saja?
Gempuran LGBT
sekularisme memang biang kerusakan kehidupan umat manusia saat ini. Setelah barat berhasil meminggirkan agama ke tepi kehidupan, manusia hidup dengan aturan yang nihil dari nilai spiritual. Asas manfaat menjadi tolak ukur kebaikan di setiap aturan yang dihasilkan. Sementara itu yang menjadi 'Tuhan"nya adalah suara mayoritas dengan label demokrasi.
Sudah puluhan tahun kaum gay dan lesbian ini memperjuangkan hak hidup mereka agar diakui eksistensinya oleh negara. Bergandeng tangan dengan kalangan liberal mereka memperjuangkan apa yang dinamakan SRHR (Sexual and Reproductive Health Right). Salah satu perjuangan mereka yang cukup mendapat perhatian adalah melalui international conference on population and development programme of action atau ICPD di Mesir pada tahun 1994. (ICPD Poa. para 7.2)
Keinginan kaum lgbt ini akhirnya membuahkan hasil. Hingga tahun 2012 tercatat sudah 11 negara yang mengesahkan pernikahan gay, di antaranya, Denmark, Belanda, Belgia, Afrika Selatan, dan Meksiko. Amerika serikat sendiri selalu mengambil posisi membela kaum gay. Pada bulan desember 2011, Barack Obama pernah memerintahkan kepada semua instansi lembaga pemerintahan Amerika di luar negeri untuk memberikan diplomasi, bantuan, dan perlindungan terhadap hak warga negara Amerika yang berasal dari kaum pelangi tersebut. (Tribunnews.com 7/12/2011)
Di tanah air sendiri perjuangan kaum LGBT agar diakui eksistensi dan pernikahannya masih terus berlanjut. Mereka terang-terangan menampakan diri beserta gagasan-gagasannya. Sikap mereka berani lantaran dipayungi oleh HAM dan demokrasi, serta bantuan dari sejumlah media massa liberal. Bahkan, beberapa kali kaum waria ikut serta dalam seleksi penerimaan anggota Komnas HAM. Semua peserta bertujuan agar eksistensi kaum transgender ini dapat diperjuangkan secara hukum.
Tahun 2013 aktivis gay yang juga dosen di FISIP Unair, Dede Oetomo, ikut seleksi penerimaan anggota Komnas HAM. Dede Oetomo memang aktivis gay berat. Pada tahun 1998 dia menerima penghargaan dari International Gay and Lesbian friendly Human Rights Commission, yaitu Felipa de Souza Award.
Belum lagi ungkapan Siti Musdah Mulia, guru besar UIN Ciputat ini, salah satu pejuang lgbt yang berpendapat tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Menurutnya, pengecaman terhadap homoseksual oleh kalangan ulama dan kalangan muslim hanya didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam.
Sadar bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah kaum muslimin akan mengalami penolakan, kaum lgbt memperalat ayat Al-Quran untuk menjustifikasi keberadaan mereka. Menurut mereka tidak ada satupun ayat Al Quran yang mengharamkan eksistensi kaum homoseksual. Pemahaman yang selama ini berkembang, menurut mereka adalah penafsiran yang keliru dan harus direvisi.
Belum lagi para sineas nasional yang mengangkat cerita LGBT ke layar lebar, turut memberi angin segar bagi kaum sodom tersebut untuk menunjukkan eksistensi yang dipayungi oleh kaum liberalis di dalam negeri. Maka, melihat realita ini, kerusakan kaum lgbt bukan sekedar urusan syahwat seksual tapi sudah sampai tataran akidah dan merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Maka tidak cukup dengan sekedar memperkuat pendidikan keluarga agar terhindar dari perilaku LGBT, melainkan butuh campur tangan negara yang memiliki penyelesaian secara komprehensif dan menyeluruh untuk mencegah bahkan memusnahkan biang kerusakan nasab, dan berbagai penyakit berbahaya yang diakibatkan LGBT ini.
Islam Solusi Sempurna
Pencegahan dan pemberantasan LGBT tak bisa dilakukan secara parsial, tapi harus sistemik. Allah SWT menjelaskan bahwa tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya (QS an-Nisa [4]: 1). Karena itu, hubungan yang dibenarkan dalam Islam hanyalah yang ada dalam ikatan pernikahan yang sah secara syar'i. Semua hubungan seksualitas di luar ikatan pernikahan adalah ilegal dan menyimpang. Hal tersebut tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang normal. Selain itu LGBT juga menjadi ancaman terhadap keberadaan umat manusia.
Di dalam Islam, ide dan perilaku LGBT jelas menyimpang dan abnormal. Ide LGBT adalah ide haram. Perilaku LGBT adalah perilaku dosa. Karena itu ide LGBT tidak boleh dilindungi oleh negara dengan dalih apapun. Sebaliknya negara harus menjatuhkan sanksi sesuai hukum Islam untuk menghentikan perbuatan keji kaum LGBT. Pertanyaannya, apakah mungkin negara yang berpaham demokrasi ini bisa menyelesaikan masalah LGBT ini?
Sistem demokrasi tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah LGBT secara tuntas. Sebaliknya, sistem ini akan melegalkan kejahatan itu seperti yang terjadi di banyak negara penganut sistem tersebut.
Melansir dari mediaumat.news 23/1/2018). Menurut pengamat politik Yahya Abdurrahman, pencegahan dan pemberantasan LGBT tak bisa dilakukan secara parsial, tapi harus sistemik. Tidak bisa perubahan dilakukan secara individual/parsial sebab menyangkut banyak faktor yang saling terkait satu sama lain.
Di sinilah, katanya, peran negara menjadi sangat penting. Makanya, dalam pandanganya, solusi bagi masalah LGBT ini tidak ada lain kecuali dengan mengganti sistem ideologinya. Sebab, kasus LGBT tersebut lahir dari kebebasan yang dibawa ideologi kapitalisme liberal. “Satu-satunya jalan ya hanya dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui negara,” tegasnya.
Ia menjelaskan, secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara pun juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.
Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana. Dengan begitu, kata Yahya, rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari tindak kriminal—termasuk LGBT. “Dengan itu pula, rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak,” katanya.
Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan hawa nafsu. Selain itu, negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Masyarakat akan diajarkan bagaimana menyalurkan gharizah nau’ (naluri melangsungkan jenis) dengan benar.
“Penerapan sistem Islam akan meminimalkan seminimal mungkin faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual, pedofilia, sodomi dan perilaku seksual menyimpang lainnya,” paparnya.
Jika masih ada yang melakukannya, maka sistem ‘uqubat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Menurut syariah Islam, pelaku homoseks hukumannya adalah dijatuhkan dari tempat yang tinggi sampai mati.
Walhasil, LGBT akan bisa dicegah dan dihentikan hanya oleh sistem Islam yakni khilafah. Di dalam naungan khilafah, umat akan dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai syariah Islam. Maka, Islam akan tampak aslinya sebagai rahmatan lil ‘alamin.[]