Oleh: Ummu Khansa
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menyebut, banjir yang terjadi di sejumlah wilayah akibat penggundulan hutan, penyempitan dan pendangkalan sungai hingga pembangunan yang jor-joran. Dedi menyebut, banjir juga disebabkan oleh pembangunan properti yang jor-joran, tanpa mengindahkan tanah rawa, sawah dan cekungan danau. Semuanya dibabat dan diembat. Selokan kecil, kata dia, selalu menjadi korban tembok rumah baik berskala kecil maupun berskala besar. Sehingga, saat hujan datang banjir pun tiba secara bersama.(KARAWANG,KOMPAS.com).
Diketahui, banjir bandang menerjang sejumlah daerah di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (31/1/2019) hingga Rabu (1/1/2020). Sebanyak 150 rumah rusak. Sebanyak 150 rumah di Perumahan Cimareme Indah, Blok D RT 04/03, Desa Margajaya, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB), rusak diterjang banjir bandang.
Banjir juga terjadi sejumlah wilayah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sedikitnya ada 11 desa di enam kecamatan yang terendam banjir. Ketiggian air bervariasi antara 30 hingga 150 sentimeter.
Banjir sejatinya memang bencana alam, yang bisa kapan saja datang dengan berbagai faktor, namun apa jadinya jika banjir ini merupakan teguran dari Allah akibat manusia yang tinggal didalamnya ini adalah manusia-manusia yang lalai.
Curah hujan yang tinggi memang didapati di berbagai wilayah yang menyebabkan banjir begitu pula dengan sampah, masalah sampah merupakan masalah biasa yang sudah sering kita dengar sebelum banjir besar ini datang. Apakah ini tanda Allah murka kepada hambanya?.
Melihat aksi manusia merayakan tahun baru itu bisa jadi menjadi murka nya Allah kepada manusia di bumi, petasan dimana-mana, kembang api dimana-mana, bahkan ada yang merayakan pergantian tahun dengan berzina.
Allah sebagai pencipta, dan menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya, bukan untuk bersenang-senang di dunia, Allah beri manusia rezeki untuk masih bisa hidup dipergantian tahun ini namun, tidak ada rasa syukur bagi para manusia. Adanya banjir besar ini harusnya dapat menyadarkan ummat, dan bisa muhasabah diri, bukan hanya mengalahkan sampah dan curah hujan.
Allah tidak serta-merta menurunkan murkanya kepada manusia tanpa alasan, sesungguhnya Allah murka karena perbuatan manusia itu sendiri. Kelalaian yang manusia perbuat bisa jadi turunnya bencana alam yang dirasakan sekarang.
Bobroknya sistem pemerintah sekarang hanya menyalahkan curah hujan dan sampah, yang sudah bosan rakyat mendengarnya. Pemerintah tidak mencari akar masalah sebenarnya dan membuat ummat dalam kemaksiatan.
Sistem pemerintahan Islam merupakan sistem pemerintahan yang benar, yang mengurusi ummat dan meriayah nya, tidak akan ada kemaksiatan jika pemerintah menerapkan sistem Islam, dan membuat ummat sadar akan apa yang mereka perbuat.
Mengenai permasalahan banjir yang belum selesai di negeri ini, terlihat pemerintah tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Mereka malah sibuk memperkaya diri sendiri, dan menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing. Ketika pengelolan diserahkan kepada asing tentu mereka hanya mengambil keuntungannya saja. Tidak peduli lingkungan akan rusak. Sehingga rakyat yang akan merasakan dampaknya. Saat bencana itu terjadi, bantuan kemanusiaan sangat lambat, masih banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan logistik, pakaian, makanan dan tempat tinggal. Kalau ada pun bantuan, untuk mendapatkannya dipersulit. Ini bentuk abainya pemerintah terhadap rakyatnya.
Dalam Islam terjadinya kerusakan di darat dan di laut ini dijelaskan dalam surat Ar-Rum: 41
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Marilah kita membuka mata, hati dan pikiran kita bahwa Islam yang merupakan rahmat untuk seluruh alam mempunyai solusi yang bisa mengatasi banjir dan genangan. Islam dalam naungan negara yaitu Khilafah tentu memiliki kebijakan efektif dan efisien.
Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir sebagaimana di bawa ini:
Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, dan lain sebagainya.
Kedua, Negara Islam membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan yaitu pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya, dengan memperhatikan konsep kepemilikan individu, umum dan swasta.
Ketiga, Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengob atan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Keempat, Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
Kelima, Khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.
Keenam, dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Ketujuh, Khalifah sebagai kepala negara akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Itulah kebijakan Khilafah Islamiyah dalam mengatasi masalah banjir. Kita harus faham selain banjir merupakan qodho (ketetapan dari Allah SWT) tetapi kita harus mengambil pelajaran yang berharga dari bencana yang terjadi.
Pada masa kejayaan Islam, Khilafah mampu menghasilkan insinyur yang mampu menangani masalah banjir:
Insinyur Al-Fargani (abad 9 M) telah membangun at yang disebut milimeter untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, Al- Fargani berhasil mempresiksi banjir sungai Nil, Al-Fargani berhasil memprediksi banjir sungai Nil baik jangka waktu pendek atau jangka panjang.
Peradaban Islam memiliki jasa yang tidak ternilai dalam mengendalikan debit air. Abu Raihan al-Biruni ( 973-1048) mengembangkan teknik untuk mengukur beda tinggi antara gunung dan lembah guna merencanakan irigasi. Abu Zaid Abdi Rahman bin Muhammad bin Khaldun Al-Hadrami menuliskan dalam kitab monumental tentang “Muqaddimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi iklim.
Kemampuan peradaban Islam bertahan berabad-abad, bahkan terhadap berbagai bencana alam termasuk kekeringan dan banjir adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada Allah SWT, dan ketekunan mereka mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir.