Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Bukan Kupang bukan Lento, tapi bapaknya Sidoarjo alias Bupati Saiful Ilah, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Saiful kini diperiksa intensif di Polda Jawa Timur. "Saat ini KPK bekerja sama dengan Polda Jatim. Untuk pemeriksaan awal dilaksanakan di Polda Jatim," kata Ketua KPK Firli Bahuri (detikcom, 8/1/2020).
Firli menuturkan Saiful tak sendirian. Dia terkena OTT bersama beberapa orang. "KPK telah mengamankan seorang kepala daerah dan beberapa pihak lainnya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terkait pengadaan barang dan jasa," tutur Firli.
Tak ayal berita ini membuat ambyar dunia perkupangan. Ketika media memberitakan, video berseliweran dan komen netizen tak terkendalikan. Banyak yang menghujat tak sedikit yang mengumpat. Ya, rakyat tahu, siapa saya yang makan terlalu banyak pasti akan muntah pada akhirnya. Di saat jabatan kurang setahun, Rihlah sang Saiful Ila mesti berhenti di tangan KPK, sebab sebagai pemimpin ia tak lillah, kog bisa?
Apa sih yang gak mungkin kalau kita sudah ngomongin demokrasi? Pemilu aja yang jelas-jelas pemenangnya siapa tapi yang naik tahta siapa. Jelas-jelas BPJS defisit rakyat yang harus sakit sebab tarif melejit, sudah jelas mak-mak cantik mau mengaji eh suruh balik sebab form pendaftaran di Kemenag belum di isi. Apalagi korupsi?
Kasusnya beruntun, pelakunya juga beragam. Di berbagai tempat pula, Saiful Ilah hanya menambah daftar panjang kepala daerah yang korupsi. Dimana rakyat? rakyat sudah diikutsertakan dalam pesta demokrasi kemarin, sekarang tak lagi berharga, akan didaur ulang lima tahun mendatang. Belum sadar juga?
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara terpisah, menyatakan menghormati proses hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kadernya tersebut. “Kami menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Tentu kami menyayangkan hal itu terjadi pada kader PKB,” begitu kata Ketua DPP PKB bidang komunikasi Ahmad Iman.
Diusianya yang sepuh ini, Saiful Ilah menjabat bupati Sidoarjo sebanyak dua kali dan masih tercatat sebagai Ketua PKB Sidoarjo. Juga dikenal tajir melintir. Dia, tercatat memiliki kekayaan senilai lebih dari Rp 60 miliar.
Dan memiliki puluhan aset tanah dan bangunan senilai Rp 32.832.540.100. Harta tidak bergerak itu tersebar di wilayah Sidoarjo dan Pasuruan, Jawa Timur. Saiful Ilah juga memiliki harta bergerak berupa sembilan mobil senilai total Rp 570 juta. Ada pula harta bergerak lainnya senilai Rp 1.444.500.000, surat berharga dengan total Rp 63.500.000 hingga kas dan setara kas senilai Rp 25.554.510.409.
Harta yang tak habis dimakan sampai 7 turunan 14 tanjakan. Pantas saja jika rakyat Sidoarjo mengutuk bahkan mengopinikan tagar sidoarjo syukuran sebab kekayaan orang nomor 1 di Sidoarjo ini melebihi prediksi orang banyak dan tak mungkin didapat dari penghasilan normal seorang pegawai negara. Alias ASN.
Sekali lagi, negeri kita berdiri diatas sebuah sistem yang sangat tidak mendukung setiap individu itu bersikap takwa. Sebab, asas yang diambil adalah sekuler. Aturan berasal dari manusia, sementara agama hanya boleh meringkuk di pojokan. Sebab agama adalah ranah pribadi pilihan individu bukan umum.
Lihat saja bagaimana perekonomian dijalankan, seharusnya tujuan berekonomi adalah untuk mendapat kesejahteraan. Bukan manfaat semata. Tersedia mekanisme pengaturan secara rinci bagaimana mencapai keadaan sejahtera. Kesejahteraan bagi siapa? ya semua lapisan masyarakat. Namun, kini faktanya mengapa penguasa harta berlimpah sementara rakyat masih mengais rejeki dari sampah, stunting jadi booming, pembunuhan, seks bebas, narkoba, kemacetan, sekolah mahal, harga-harga mahal dan lain sebagainya?
Padahal Sidoarjo baik SDA maupun SDMnya melimpah. Beberapa penghargaan disabet di tahun 2019 lalu dibidang pelayanan publik, smart city, kota terbersih dan sebagainya. Kesimpulannya ternyata penghargaan itu bukan sebagai bentuk penghargaan rakyat kepada penguasa, tapi pengusaha kepada penguasa.
Pembangunan tata kelola kota berkiblat pada investasi asing. Kisruh pembangunan RSUD Krian saja berbuntut panjang karena masalah pendanaan penguasa ngotot memakai dana investasi, bukan APBD. Padahal dana SILPAnya lebih dari cukup. Ekonomi kapitalis tak sekalipun memberikan celah bagi kejujuran dan keadilan. Sebab berlaku hukum siapa kuat maka ia berkuasa.
Tertangkapnya Saiful Ilah ini sekaligus membuktikan, partai yang menyebut paling NKRI, paling Pancasilais, ternyata juga korup. Pada faktanya, Pancasila memang hanya dalih untuk menutupi perilaku bejat para penguasa ketika mencuri harta rakyat. Dan ternyata pula, dalam partai tidak ada proses pembinaan yang signifikan, dimana rakyat diposisikan sebagai kesatuan dengan partai. Partai adalah representasi umat dalam hal berpolitik. Sebaliknya, partai justru menjadi sarang korupsi sebab dia adalah mesin uang bagi perpolitikan.
Sudah jadi rahasia umum, bahwa biaya politik di negeri ini sangatlah mahal. Jangankan sekelas pemilihan bupati, kelurahan pun sudah mahfum jika harus ada uang pelicin. Sebab selain guna menarik perhatian konstitue yang nota bener tidak paham siapa calon pemimpinnya juga banyak prosedur yang harus dilalui hingga seseorang itu sah menjadi seorang pemimpin terpilih.
Dalam Quran surat Ali Imron 3: 104 Allah berfirman yang artinya," Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". Satu kelompok yang dimaksud itu adalah partai. Dimana partai bertugas menedukasi umat agar senantiasa menyeru kepada kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang mungkar yang semuanya bersumber dari Al-Qur'an dan As Sunnah.
Disinilah urgensitas sebuah negara yang mampu menjalankan perintah Allah, sebab manusia memiliki keterbatasan. Dengan hanya taat kepada apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilarangnya, kita sudah dijamin masuk surga. Di dunia pun mendapatkan keberkahan. Lantas bagaimana jika kita memiliki pemimpin yang tidak amanah? kita harus kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah. Sebab hari ini hanya keduanya yang mampu menyelesaikan persoalan tanpa persoalan.
Lagi-lagi, semua kerusakan di negeri ini ulah pejabat, bukan karena rakyat malas, apalagi karena keinginan umat pada penerapan syariat Islam secara kaffah. Juga bukan karena radikalisme yang gencar diserukan. Semua hanya topeng belaka, penutup aib penguasa sebab tak mampu mensejahterakan rakyatnya.
Terlebih tuduhan keji terhadap upaya penegakan Khilafah yang hari ini juga sesanter isu Radikalisme. Khilafah hari ini baik secara de fakto dan de yure belum tegak dinegeri manapun, namun mengapa sudah diopinikan bakal merusak dan bertentangan dengan Islam di Indonesia?
Sementara fakta didepan mata begitu mencolok, bukan khilafah, bukan radikalisme, bukan Islam juga bukan syariat biang kerok kemiskinan dan kesengsaraan. Tapi ulah penguasa yang tak bertakwa karena terus menerus menggunakan sistem tak manusiawi yaitu demokrasi. Wallahu a'lam bish -showab.
Tags
Opini