Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Tahun 2020 telah datang menyapa. Banyak resolusi dan harapan dibuat untuk menyambutnya. Namun, betapa berat harapan umat ini sebenarnya digantungkan. Betapa tidak, kondisi Indonesia nampaknya tak pernah berubah.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, bergantinya tahun, tetap membuat umat terus dalam kondisi terpuruk. Bahkan dari tahun ke tahun keadaannya nampak kian parah. Sistem benar-benar telah menjauhkan umat dari berkah.
Pihak penguasa sendiri –seperti biasa– nampak sibuk membangun citra. Melakukan ini itu seolah-olah sedang bekerja keras untuk membahagiakan rakyatnya. Bahkan mereka bangga, saat media Singapura siap menyematkan gelar The Straits Times’ Asian of the Year 2019 pada kepala negaranya.
Namun, apa yang dilihat umat, bertolak belakang adanya. Rakyat justru melihat, selama ini penguasa hanya sibuk tebar pesona, seraya giat membangun kejayaan kroni-kroninya. Bahkan di ujung tahun ini, penguasa nampak tak malu merintis dinasti kuasa bagi anak-anak keturunannya.
Selama ini di mata rakyat, para penguasa tak pernah sungguh-sungguh berdiri di sisi mereka. Alih-alih mengurus dan menjaga mereka, penguasa justru menjadikan rakyat tak ubahnya sapi perahan. Namun di saat sama, mereka berkoar-koar seolah sudah berhasil memuliakan rakyatnya.
Di bidang ekonomi, mereka selalu mengklaim pertumbuhan dan angka kemiskinan terus membaik. Padahal nyatanya semua hanya permainan angka-angka belaka, karena kehidupan rakyat di dunia nyata benar-benar jauh dari kata sejahtera.
Siapa pun bisa melihat, bahwa kondisi ekonomi Indonesia makin berat saja. Utang negara kian menumpuk di tengah kasus korupsi yang kian merajalela.
Bargaining position yang lemah membuat negeri ini pun selalu kalah telak di kancah persaingan bebas yang kadung diteken penguasa dengan polosnya. Kran impor pun jebol, hingga produk asing sukses melibas produsen lokal. Mirisnya, ini terjadi bukan tanpa sengaja. Karena nyatanya, ada mafia di kalangan penguasa.
Pembangunan fisik yang jor-joran pun sama sekali tak disambut gembira rakyatnya. Karena mereka melihat itu semua bukan buat mereka. Bentangan tol dan jalan LRT yang serba mulus, pelabuhan dan bandara yang super canggih, semua mereka lihat hanya sebagai alat penguasa memanjakan para pengusaha dan orang-orang yang berduit saja.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kebijakan zalim yang justru terus memperberat beban dan mempersempit kehidupan rakyat banyak. Mulai dari pajak yang merambah berbagai sektor, tarif BPJS dan TDL yang terus naik, harga BBM/LPG yang kian melangit, biaya pendidikan bermutu yang kian tak terjangkau, harga pangan yang terus meloncat-loncat, serta kebijakan-kebijakan lain yang kian liberal dan antirakyat.
Adapun di bidang politik, penerapan sistem demokrasi pun makin menampakkan wajah buruknya. Perselingkuhan penguasa-pengusaha makin telanjang. Kasus-kasus korupsi berjamaah terus mencuat ke permukaan. Intrik politik, termasuk politik pencitraan dan politik adu domba begitu kental dan lebih parah terasa.
Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, kezaliman demi kezaliman dan kedurhakaan demi kedurhakaan pun terus terjadi. Persekusi ulama dan kriminalisasi ajaran Islam, terutama ide jihad dan Khilafah berlangsung kian masif. Label radikal dan teroris dengan mudah dilekatkan pada mereka yang kerap mengkritisi pemerintah dan lantang menyerukan perubahan ke arah Islam kaffah.
Bahkan perang melawan radikalisme yang notabene perang melawan pergerakan Islam kaffah jelas-jelas menjadi tagline pemerintahan periode dua rezim ini. Nyaris semua kerja kementerian strategis diarahkan untuk menjalankan agenda pesanan ini.
Berbagai program kerja pun dicanangkan agar suara-suara kritis dan seruan-seruan ke arah Islam kaffah ini hilang terbungkam. Ajaran Islam yang dipandang ‘membahayakan’ seperti jihad dan khilafah di buku-buku pelajaran, serius dikaji ulang.
Majelis taklim dan masjid-masjid diawasi. Para da’i diinventarisasi dan diinvestigasi. Para ASN yang kritis dibungkam dan diancam dirumahkan. Bahkan lembaga PAUD pun dicurigai.
Yang lebih berbahaya, rezim pun tak ragu melakukan politik belah bambu. Merangkul sebagian kalangan tokoh umat dengan harta dan kekuasaan, namun ‘menginjak’ dengan mempersekusi, mengalienasi, bahkan mengkriminalisasi sebagian yang lainnya.
Maka, makin bermunculanlah di tahun ini para ulama su’u dan kelompok-kelompok pemicu konflik horizontal yang dipelihara rezim penguasa. Sementara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok Islam yang lurus terus dicitrakan sebagai orang atau kelompok yang berbahaya bagi keutuhan negara dan eksistensi dasar negara pancasila.
Di bidang sosial, betapa banyak fakta yang menunjukkan kegagalan penguasa menjaga masyarakat terutama generasi agar tetap ada pada fitrah kebaikan. Kian maraknya kasus pornografi pornoaksi, narkoba dan miras, meluasnya komunitas LGBT, keguncangan keluarga, kriminalitas, dan lain-lain turut melengkapi potret buram sepanjang tahun 2019.
Jika dicermati secara mendalam, maka semua problematik ini saling berkait satu sama lain. Namun ujung dari semuanya berakar pada satu sebab: penerapan sistem sekuler demokrasi yang menafikan peran Allah Swt. (agama) dalam kehidupan, serta memberikan hak membuat hukum pada akal manusia yang lemah dan terbatas.
Kedurhakaan inilah yang ditengarai memicu bencana demi bencana yang juga mewarnai perjalanan tahun 2019, bahkan di permulaan tahun 2020. Kekeringan, bencana banjir, puting beliung, gempa bumi, dan bencana lain tak kunjung usai memorak-porandakan segalanya. Bahkan di penghujung tahun ini, kelahiran ribuan ular kobra terjadi di mana-mana. Menciptakan teror ketakutan di tengah rakyat banyak.
Sungguh sangat terasa, di tahun-tahun ini kehidupan begitu jauh dari keberkahan. Alam seakan marah karena bangsa ini sudah begitu melewati batas. Hukum Allah dengan berani dicampakkan. Para ulama dan pengemban dakwahnya bahkan dilecehkan.
Semestinya, semua realitas buruk ini mampu memicu keinginan kuat untuk melakukan perubahan, khususnya di tahun 2020 hingga ke depan. Dan perubahan dimaksud tentu bukan sekadar perubahan parsial berupa pergantian rezim semata. Tapi harus mengarah pada perubahan sistem. Tidak lain, perubahan dari sistem jahiliah menuju sistem Islam yang dinaungi wahyu ilahiah.
Wallaahu a’lam bish shawwab.