Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Remaja)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara” (Q.S Al-Hujurat: 10). Dalam al-Qur’an ini, seyogyanya setiap Muslim itu bersaudara, senantiasa menjaga persaudaraan dengan umat Muslim lainnya layaknya kepada saudara kandungnya. Ironisnya, hari ini dunia Islam tenggelam dalam kebungkaman menyaksikan penindasan kepada saudara seimannya yang terjadi di Uighur, Xinjiang.
Dilansir oleh www.tempo.co- Tindakan keras pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uighur telah mendapat kecaman internasional. Namun, beberapa suara yang sebenarnya signifikan, negari-negeri Muslim malah nyaris tak bersuara. PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat Laut China sejak 2017.
Pemerintah negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan Indonesia menghindari mengangkat masalah ini secara terbuka. Pakistan bahkan membela China, dengan mengatakan bahwa media milik negara-negara Barat telah menjadikan laporan-laporan soal situasi di Uighur “sensasional.” Pakar kebijakan Cina Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasanmenjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim.
Dunia Muslim Diam dengan Masalah Uighur?
Tindakan persekusi dan diskriminasi kaum moniritas Muslim Uighur terus menjadi perbincangan hangat di berbagai belahan dunia. Apalagi setelah masalah ini banyak dibahas oleh para pejabat dan pakar pemerintahan dunia serta para publik figur. Diskriminasi Muslim Uighur yang luar biasa dengan ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi yang dimaksudkan mencuci otak kaum Muslim di sana agar beraktivitas sesuai prosedur yang ada, agar tidak lagi beribadah kepada Allah SWT terus terjadi.
Uighur adalah bangsa yang tinggal di daerah Asia Tengah yang berbahasa Turki. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka tinggal di Xinjiang, yang dulunya bernama Turkistan Timur sebelum dicaplok oleh China. Provinsi Xinjiang dengan mayoritas suku Uighur ini terletak di ujung Barat China dan merupakan wilayah terbesar di negeri itu. Muslim Uighur mencakup setengah dari sekitar 26 juta penduduk diwilayah tersebut. Sayangnya, keislaman mereka bertentangan dengan ideologi China yaitu Komunis.
Tabiat asli ideologi Komunis adalah tidak menghendaki adanya agama karena agama dianggap sebagai candu masyarakat. Komunis tidak meyakini adanya Tuhan dan pemerintah China selaku pengemban ideologi ini berusaha menekan Uighur untuk meninggalkan Islam dengan berbagai cara. Melakukan penindasan terhadap kaum Uighur di Xinjiang dengan membuat aturan yang tidak masuk akal seperti melarang laki-laki Muslim memanjangkan jenggot, melarang berpuasa pada bulan Ramadhan, melarang memberi nama bayi dengan nama-nama Islam, melarang anak-anak Muslim Uighur terlibat dalam kegiatan agama, memerintahkan seluruh Muslim Uighur untuk menyerahkan seluruh barang yang bernuansa agama seperti sajadah, menyita mushaf al-Qur’an dengan alasan mengandung konteks ekstrem, memaksa kaum Muslim memakan babi dan meminum alkohol.
Tentu saja tujuan utama mereka adalah menjauhkan sekaligus melepaskan keislaman Muslim Uighur dengan memaksa meninggalkan keyakinan mereka dan memerintahkan untuk berpaham komunis. Yang lebih memprihatinkan adalah otoritas penjara memaksa tahanan setiap hari untuk mengucapkan kalimat kufur yang bernada Atheis. Mereka dipaksa mengatakan bahwa Allah tidak ada dan Islam adalah agama takhayul. Siksaan ditimpakan pada tahanan dengan cara yang paling sadis dan keji hingga mereka melepaskan keimanan dari sanubari.
Ideologi Komunis adalah paham biadab dan tidak berperikemanusiaan, berpaham otoriter yang penuh dengan keserakahan yang luar biasa. Mereka menggunakan tangan besi atas nama negara untuk menghilangkan identitas agama dan menjajah suatu wilayah, khususnya bangsa Uighur. Mereka direndahkan, dihinakan, dilecehkan, dibantai bahkan dimusnahkan. Padahal keinginan Uighur hanya satu, mereka hanya ingin beribadah, mereka hanya ingin bertuhan yaitu kepada Allah SWT, Uighur hanya ingin mempertahankan identitas Islam mereka. Namun, partai Komunis China yang berkuasa menjadikan warga Uighur ditindas secara sistematis dalam menghapus budaya serta agama mereka.
Winger andalan Arsenal, Mesut Oezil mengecam penindasan yang diperbuat pemerintah tiongkok terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, China. Pemain bola Muslim ini menyampaikan kecaman dan kritikannya terhadap seluruh umat Muslim di dunia yang seolah bungkam. Oezil menambahkan bahwa para penindas kaum Uighur telah membakar kitab suci Al-Qur’an, menutup masjid-masjid, melarang sekolah-sekolah Islam dan para pemuka Islam dibunuh. Oezil mengaku heran dengan negara-negara Islam yang terlihat seperti menutup mata meskipun sejumlah negara dan media di Eropa dan Amerika sudah mengabarkan penindasan di Xinjiang selama berbulan-bulan (http://panrita.news, 15/12/2019).
Menyadari hal itu, dunia bersuara. Sayang, para pemimpin negara Muslim enggan melakukan pembelaan. Negara dengan mayoritas Muslim ini pun alih-alih menentang dan melawan pemerintah China yang teramat dzalim itu, justru menjalin hubungan mesra dengannya. Sungguh ironis, negeri yang konon mayoritas penduduknya muslim semestinya memiliki tanggung jawab atas nasib jutaan penduduk seimannya di sana, sayangnya tanggung jawab tersebut terganjal oleh fakta kedekatan bilateral negara-negara ini. Banyaknya kerjasama ekonomi terutama dalam hal investasi menjadikan Indonesia bernyali ciut untuk melakukan pengecaman terhadap negeri tirai bambu ini. Menyedihkan, di tengah duka saudara Muslim di Uighur, Menteri Pertahanan negeri ini, Prabowo Subianto malah bertemu Menhan China untuk meningkatkan kerjasama. Tentu bak petir yang menyambar, hal ini membuat remuk tulang-belulang tubuh kaum muslimin.
Hubungan bilateral Indonesia dan China memang terlihat semakin erat di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terutama kerjasama dalam hal investasi, perdagangan dan pariwisata. Padahal disisi lain, banyak pihak justru mengkhawatirkan ekspansi ekonomi China bisa membuat negara lain terjerumus dalam jerat hutang. Diawal kepemimpinan Jokowi pada 2015 lalu, nilai perdagangan Indonesia-China melejit menjadi US$ 48,2 miliar jika dibandingkan pada 2005 lalu yang hanya mencapai US$ 8,7 miliar. Kini, China menggantikan Jepang sebagai mitra dagang terbesar Indonesia. Di era Jokowi, pememrintah menggandeng China untuk berinvestasi disejumlah proyek infrastruktur besar negara, salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (http://m.cnnindonesia.com, 18/10/2019).
Memang, Indonesia mengaku prihatin mengenai laporan bahwa masih adanya penindasan terhadap minoritas Muslim Uighur di China. Tetapi, Indonesia tetap mengedepankan mekanisme dialog dengan China mengenai hal ini. Sementara ketika disinggung mengenai apakah Indonesia menolak atau mengamini laporan tersebut, dalam hal ini Indonesia tidak dalam posisi membantah juga tidak dalam posisi menerima. Para pemimpin Muslim enggan mengambil sikap untuk menolong mereka dengan berbagai alasan. Itu adalah permasalahan dalam negeri dan negara lain tidak boleh ikut campur, juga permasalahan China-Uighur merupakan urusan dalam negeri negara lain.
Sekat-sekat negara dalam bingkai paham nasionalisme sukses menjadi tipu daya oleh para pembeci Islam. Negeri kaum Muslimin sukses tersekat-sekat dalam batas-batas wilayah. Sungguh sangat disayangkan umat Islam yang seharusnya ketika salah satunya tersakiti, bagian yang lain juga merasakan luka itu. Namun, akibat dari kepentingan kekuasaan, mereka diam terhadap derita saudara seaqidahnya sendiri demi proyek dan rupiah. Negeri Muslim tidak memiliki nyali sama sekali.
Indonesia kalah dengan Gambia, mereka berani menggugat Myanmar terkait persekusi dan pembantaian terhadap saudaranya, etnis Rohingya ke Mahkamah Internasional. Mereka secara terang-terangan memerintahkan Myanmar untuk menghentikan pembuhuhan tanpa dasar dan menghentikan genosida terhadap rakyatnya sendiri. Indonesia sebagai anggota di DK PBB dan mempunyai posisi di OKI (Organisasi Kerjasama Islam) seharusnya sudah melakukan sesuatu, tetapi karena terikat dengan kepentingan nasional, mereka diam seribu bahasa.
Akibat penerapan sistem kapitalisme yang merupakan sistem dimana para pemilik modal yang berkuasa. Seperti halnya China, dengan modal besar yang dimiliki, menjadikan China sebagai penyetir bagi negeri-negeri Muslim di dunia.
Inilah kondisi kaum Muslim di dunia saat ini, nasib serupa juga dialami oleh Muslim Moro-Filipina, Rohingya-Myanmar, Pathani-Thailand, Muslim Palestina, Muslim Suriah, Yaman dan masih banyak lagi negeri Muslim lainnya. Mereka mengalami genosida, penindasan, pelecehan, diskriminasi, kelaparan dan lain sebagainya. Mereka mengalami semua kondisi ini karena mereka adalah Muslim dan dunia seolah diam terhadap hal ini. Tentunya, umat butuh perisai untuk membebaskan kaum Muslim dari penindasan China, Israel dan negara kufur lainnya.
Khilafah, Solusi Penindasan Kaum Muslim
Milik umat Muslim adalah hukum Allah, syariat Islam, Khilafah. Yang dibutuhkan Uighur, Suriah, Palestina, Rohingya dan negeri kaum Muslim diberbagai belahan dunia adalah kehadiran Al-Junnah atau pelindung yang memberi kesejaterahan. Sebab, tanpa kekuatan umat Islam bak macan kehilangan taring. Muslim Uighur dan umat Islam seluruhnya membutuhkan hadirnya kekuatan umat Islam yang diformalisasikan dalam institusi Khilafah. Lembaran historis Islam telah membuktikan itu.
Dahulu, di masa keemasan Islam ada seorang teladan abadi sepanjang masa. Dia adalah Khalifah al-Mu’tasim, Khalifah Bani Abasyiyyah. Ketika seorang wanita dilecehkan dan berteriak, kemudian teriakan itu didengar oleh Khalifah al-Mu’tasim, beliau langsung memerintahkan panglima perang untuk mengumpulkan ribuan pasukan memenuhi panggilan wanita itu. Sebegitu seriusnya Khalifah al-Mu’tasim dalam melindungi kehormatan seorang wanita dan tentunya kehormatan Islam.
Khalifah amat berbeda dengan pemimpin bermental terjajah yang takut bersuara kebenaran akibat tersandera materi dalam mengambil keputusan atas kebenaran. Khalifah mengambil segala keputusan berdasarkan hukum Allah dan keridhaan-Nya.
Hal Ini sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sungguh Imam (Khalifah) laksana perisai kaum Muslim akan berperang dan berlindungdi belakang dia,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Khilafah akan segera merespon untuk mengakhiri segala masalah yang mempengaruhi umat di seluruh dunia. Menghapus seluruh penindasan yang terjadi dimanapun dan menimpa siapapun, senantiasa tidak takut pada siapapun selain kepada Allah Ta’alasemata. Karena itu, dengan tegaknya Khilafah inilah yang akan menyingkirkan para penguasa yang bangga dengan demokrasi dan nasionalismenya yang menciptakan sekat pemisah bagi kaum Muslim dunia. Di bawah naungan negara ini pulalah yang akan menyatukan kaum Muslimin yang beriman juga mampu menaungi seluruh suku, ras, etnis dan agama apapun tanpa adanya diskriminasi. Senantiasa istikamah terhadap janji Allah SWT atas kemenangan Islam dengan terus melawan musuh-musuh Islam mengerahkan bala tentaranya untuk melindungi darah, harta, dan jiwa umat ini.
Syekhnul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “jika mereka menahan seorang Muslim, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk tetap memerangi mereka sampai mereka membebaskan mereka atau mereka dimusnahkan.”
Wallahu a’lam bi shawwab.