Oleh: Syifa Putri
Ummu warabbatul bayt, Kab. Bandung
Aneh tapi nyata, keadaan Indonesia sekarang. Saat ini, tampak begitu massif arus opini tentang intoleransi. Seolah negeri ini darurat intoleransi. Bahkan Kementerian Agama (Kemenag) RI melakukan survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun 2019 dengan rata-rata nasional sebesar 73,83. Penilaian tersebut diukur dari tiga indikator yaitu: toleransi, kesetaraan dan kerjasama di antara umat beragama.
Dari hasil survei, sangat mencengangkan dimana dalam survei ini, Papua Barat menempati rangking paling atas (paling toleran). Adapun Aceh menempati rangking paling bawah (paling intoleran).
Tentu hasil survei ini terasa janggal. Mengapa propinsi dengan kasus pembakaran masjid, pembakaran rumah penduduk dan pertokoan, penganiayaan dan pembunuhan sadis terhadap warga pendatang justru menempati ranking ke-6 teratas? Sebaliknya, mengapa propinsi dengan penduduk mayoritas muslim serta memiliki semangat keislaman yang cukup baik, justru menempati rangking di bawah?
Hal ini seakan-akan menggiring opini, bahwa penduduk yang mayoritas Islam berindikasi intoleran. Karena yang menjadi tolak ukurnya adalah sinkretisme, dimana sinkretisme adalah pencampuradukan keyakinan, paham atau aliran keagamaan. Hal ini terlarang di dalam Islam. Contohnya perayaan Natal bersama, pemakaian simbol-simbol agama lain, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama, dan lain-lain. Sehingga muslim yang enggan melakukannya disebut intoleran dan radikal. Maka toleransi yang seperti itu tidak diajarkan dalam Islam.
Padahal pencampuradukkan ajaran agama merupakan refleksi dari paham pluralisme yang membenarkan semua agama, tentu haram hukumnya dalam Islam. Keharaman pluralisme juga telah difatwakan oleh MUI tahun 2005.
Narasi intoleransi yang dikampanyekan kepada umat Islam tak bisa dilepaskan dari agenda Barat. Dalam pandangan Barat dan para pengikutnya, sikap intoleran muncul karena adanya truth claim (klaim kebenaran) yang ada pada Islam. Hal ini dituding sebagai faktor pemicu fanatisme dan fundamentalisme agama. Untuk itu, menurut mereka, agar umat Islam bisa bersikap toleran, truth claim harus dihapuskan dari Islam. Caranya dengan mengintervensi umat Islam untuk “meyakini kebenaran agama lain” dan mendukung kebebasan beragama (baca: liberalisme beragama). Hanya dengan cara ini, Barat dapat menjauhkan umat Islam dari prinsip akidah dan syariahnya.
Islam sudah mempraktikkan toleransi dengan baik sejak 15 abad yang lalu hingga semua pihak merasakan kerukunan umat beragama dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, umat Islam tak memerlukan paramater, indeks dan ukuran-ukuran yang lain. Cukuplah akidah dan syariah Islam menjadi ukuran dan pegangan hidupnya. Keduanya menjadi kunci kebangkitan Islam. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa dengan berpegang teguh pada akidah dan syariah Islam, umat Islam tampil sebagai umat terbaik yang membawa rahmat bagi seluruh alam. WalLahu’alam bi-Ashsawwab.